Hutan mangrove merupakan organ vital bagi masyarakat pesisir. Foto: Anton Bielousov
Indonesia memiliki luas mangrove sekitar 364.080 hektar. Terdapat tiga jenis mangrove, yaitu mangrove lebat, mangrove sedang, dan mangrove langka. Tujuan pemerintah adalah merestorasi kawasan hutan mangrove yang jarang.
Hingga 60% kerusakan mangrove disebabkan oleh aktivitas manusia. Sisanya karena faktor alam atau efek tidak langsung dari aktivitas manusia, seperti erosi, kenaikan muka air laut, dan badai yang disebabkan oleh perubahan iklim.
Berbagai upaya untuk melaksanakan restorasi mangrove sering dilakukan. Namun, tidak jarang penanaman kembali gagal. Beberapa penyebab kegagalan restorasi mangrove adalah kondisi penggunaan lahan dan masalah perubahan fungsi. Selain itu, pemahaman teknis yang masih kurang, terutama tentang persyaratan ekologis mangrove dan awal tumbuh dan berkembangnya mangrove.
Peringatan Hari Keanekaragaman Hayati Sedunia, yang diperingati setiap tanggal 22 Mei setiap tahun, digunakan sebagai refleksi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat akan keanekaragaman hayati Indonesia yang kaya.
Jaring Nusa, jaringan organisasi masyarakat sipil di Indonesia Timur, bekerjasama dengan Japesda Association dan Jurusan Biologi Universitas Negeri Gorontalo menyelenggarakan webinar bertajuk “Kerusakan dan Pemulihan” Mangrove, Bagaimana Masa Depan Pesisir Kita? dan bird watching di kawasan mangrove Desa Suku Bajo di Torosiaje, Kabupaten Pohuwato.
Mangrove didefinisikan sebagai vegetasi khas pantai yang dipengaruhi oleh tingkat salinitas tertentu. Sedangkan mangrove merupakan hutan yang sering tumbuh pada lumpur aluvial di sepanjang pantai dan di muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
Baca: Dampak Sampah Plastik Bagi Lingkungan, Laut, dan Kesehatan
Menurut peta mangrove nasional yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2021, total luas mangrove di Indonesia sekitar 3.364,080 hektar. Dari luasan itu, terdapat tiga klasifikasi mangrove sesuai persentase tutupan tajuk, yaitu mangrove lebat, mangrove sedang, dan mangrove jarang. Adapun fokus pemerintah dalam melakukan rehabilitasi kawasan mangrove berada di mangrove dengan kondisi tutupan yang jarang.
“Penyebab deforestasi terutama dari kegiatan manusia yaitu mencakup 60 persen luas mangrove yang hilang. Sisanya, disebabkan faktor alami atau dampak tidak langsung dari kegiatan manusia, termasuk erosi, kenaikan permukaan laut, dan badai yang dipicu oleh perubahan iklim,” kata Muhammad Yusuf, Kepala Kelompok Kerja Partisipasi dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove [BRGM], salah seorang pembicara webinar.
Menurut dia, ekosistem mangrove berperan vital dalam mitigasi perubahan iklim. “Negaranegara pemilik mangrove didorong melakukan upaya serius, mempertahankan mangrove tersisa dan memulai program restorasi dengan konsisten.
Abu Bakar Sidik Katili, dosen dan peneliti Jurusan Biologi Universitas Negeri Gorontalo mengatakan, perkembangan mangrove tidak akan berjalan maksimal jika hidrologinya terganggu. Potensi mangrove juga sangat penting terkait perubahan iklim dan pemanasan global.
“Jasa lingkungan mangrove memiliki potensi yang tinggi untuk menyerap karbon. Bahkan, mangrove dapat menyerap karbon dua kali lebih besar dari pohon yang ada di wilayah terestrial,” jelasnya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan rekan-rekannya di kawasan pesisir Kwandang, Kabupaten Gorontalo Utara, total nilai kandungan karbon di atas dan di bawah permukaan hutan mangrove di kawasan tersebut adalah 65.403,43 kg.
Jika 1 ton karbon bernilai US$1 pada saat itu sebesar Rp 12.667 [Oktober 2014], manfaat tambahan mangrove untuk penyimpanan karbon di wilayah tersebut adalah Rp 701.710,64 per hektar.
Baca: Perburuan Satwa Liar di Leuser Sangat Meresahkan
Restorasi Mangrove
Berbagai upaya restorasi mangrove sering dilakukan. Namun, tidak jarang gagal dalam menanam.
Rio Ahmad, direktur Green Forest Organization, mengatakan bahwa dalam konteks restorasi mangrove mengikuti model reboisasi, tingkat keberhasilannya sangat rendah. Sebagai contoh kegagalan, penanaman mangrove di lokasi yang tidak sesuai membuat operasional merugi.
“Sebagian besar upaya telah dilakukan melalui proyek penghijauan yang sangat, sangat sederhana, yaitu memaksa bakau tumbuh di tanah yang datar dan berlumpur. Seringkali di bawah permukaan laut, katanya, di mana bakau tidak bisa tumbuh.
Lebih lanjut, faktor kegagalan rehabilitasi mangrove berkaitan dengan masalah dan kondisi tata guna lahan. Faktor ini membuat sulit untuk menanam pohon di tempat yang tepat.
Secara keseluruhan, Rio menjelaskan apa yang penting untuk dipahami, yaitu sejarah kawasan yang akan direstorasi dan keadaan bentang alamnya, apakah itu kawasan mangrove atau bukan.
"Jenis mangrove yang digunakan untuk pengembangan di dalam dan sekitar kawasan restorasi perlu diketahui."
Ketinggian permukaan setiap jenis mangrove yang sedang berkembang juga harus diperhitungkan serta faktor-faktor yang mengganggu dan menghambat regenerasi alami. Ini semua adalah langkah awal dalam proses rehabilitasi.
“Kesepakatan masyarakat tidak boleh diabaikan ketika menganalisis pemangku kepentingan, gender, hak guna lahan, serta menilai mangrove dan kebutuhan tenaga kerja,” kata Rio.
Nur Ain Lapolo, Direktur Asosiasi Japesda, menjelaskan penurunan mangrove di Provinsi Gorontalo. Dia mencatat bahwa mangrove di Cagar Alam Gorontalo telah berkurang sekitar 6070%.
"Kabupaten Pohuwato merupakan penyumbang utama transformasi mangrove di Gorontalo. Data tahun 2021 menunjukkan hanya tersisa 7.000 hektar mangrove di Provinsi Gorontalo," katanya.
Ia menjelaskan, timnya berhasil melaksanakan konservasi mangrove dengan berbasis masyarakat. pendekatan di desa Torosiaje, sebuah desa suku Bajo di kabupaten Pohuwato.Pendekatan pengelolaan ini melahirkan banyak kegiatan yang berbeda dengan masyarakat.
Misalnya, pengembangan ekowisata berbasis konservasi bekerjasama dengan kelompok sadar lingkungan dengan mengalokasikan kegiatan wisata seperti penanaman mangrove.
“Masyarakat dapat memanfaatkan mangrove sebagai sumber pendapatan alternatif. Kami juga memberikan informasi bahwa ekosistem mangrove saling ketergantungan dengan ekosistem lain seperti terumbu karang dan lamun,” jelasnya.
0 Komentar