Agama Itu Memudahkan

Agama Itu Memudahkan
Agama itu memudahkan dan tidak akan mempersulit. Foto: Pixabay.com 

Kehadiran Islam Adalah Untuk Mempermudah, Bukan Mempersulit “Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang bersikap keras (mempersulit) dalam agama kecuali ia akan dikalahkan (semakin kesulitan). Maka berlaku luruslah, mendekatlah (kepada kebenaran), berilah kabar gembira dan minta tolonglah (kepada Allah) di waktu awal pagi, awal sore dan sesuatu di awal malam.” (Shahih Al-Bukhari: 39 dan An-Nasa`i: 5034).

Ajaran Islam sangatlah komprehensif. Tidak ada ajaran yang lebih sempurna melainkan Islam. Dan ajaran Nabi-Nabi terdahulu, sebelum Nabi Muhammad SAW sampai sekarang telah di manipulasi oleh sebagian kelompok manusia untuk kepentingannya. Sehingga kebanyakan perjanjian antara nabi dan manusia dahulu-pun tidak orisinil.

Kedatangan Islam adalah sebagai agama penyempurna dari ajaran Para Nabi dan Rasul terdahulu melalui lisan Nabi Muhammad SAW agar para manusia masuk dan memiliki pandangan dalam menjalankan dan menyikapi kehidupan di dunia sehingga kehidupannya telah masuk dalam bimbingan Allah SWT. Yakni melalui Al-Qur’an dan As-sunnah yang telah orisinil.

Banyak sekali ayat Al-Qur’an dan As-sunnah yang menjelaskan tentang kebahagiaan atau ganjaran atau pahala atau korelasi orang yang berbuat kebaikan sangatlah banyak dan yang akan dijadikan motivasi bagi seseorang agar bersemangat dalam berbuat kebaikan.

Seyogyanya bagi kaum muslimin agar selalu bergairah dan berlomba-lomba dalam menjalankan kebaikan agar ia mendapatkan pahala yang setimpal dengan apa yang ia perbuat. Karena pada dasarnya sifat manusia adalah mengharap sesuatu, yang sesuatu itu bisa berupa kerelaan Alllah atau pahala. Dari hal yang terkecil-pun pahala dapat diraih.


Kesungguhan dalam menjalankan ibadah bukanlah tolok ukur dari sebuah pahala yang Allah berikan kepada seorang hamba. Bisa jadi ia memperbanyak ibadah digunakan untuk menutupi ibadah yang dirasa kurang khusuk. Maka hemat kami dalam menjalankan ibadah seperti ini kuranglah baik, sebab yang lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah adalah ibadah yang sedikit tapi ia terus-menerus dilakukan. Hal seperti ini senada dengan perkataan Nabi SAW

“اَØ­َبُّ عَÙ…َÙ„ِ اِليَ اللَّÙ‡ِ اَدْÙˆَامُهاَ Ùˆَ اِÙ†ْقاَÙ„َ”

Kecil, sedikit akan tetapi istiqomah adalah tolok ukur bagaimana amalan-amalan ibadah kita di terima dan di setujui oleh Allah. Bagaimana tidak, orang yang mengajak kebaikan saja diberi pahala 10 kebaikan, apalagi yang diajak tadi mau dan melakukannya, maka yang mengajak akan mendapatkan 2 kali lipat dari pahala yang diajak.

Setidaknya dengan adanya pahala maka seorang yang beriman kepada Allah maka ia akan termotivasi untuk menjadi lebih baik lagi dan mampu memperhatikan bagaimana ia akan kembali kepada Allah.

Apakah ia kembali kepadaNya dengan membawa catatan amalan perbuatan dan diterimanya dari tangan kanan atau tangan kiri? atau ia tidak akan membawa apa-apa karena semasa hidupnya ia tidak tau dan tidak mau tau bagaimana ia menjalankan aktivitas hidup di dunia ini.

Dalam hal ini hidupnya adalah semaunya. Setiap aktivitas yang kita lakukan jika diniatkan untuk beriadah kepada Allah akan menjadi pahala, sebab kita berbuat sesuatu karna Allah. Adapun jika kita masih mengharap materi, maka yang kita dapatkan adalah keringat yang tidak ada keberkahan dari Allah serta yang didapat akan cepat habis pula.

Amalan kecil ini yang apabila di jalankan secara konsisten akan mengalahkan timbangan al mizan Timbangan al mizan adalah timbangan amal perbuatan kita selama hidup di duia. Dan siapa sangka bahwa seseorang akan selamat di akhirat itu di sebabkan oleh amalan-amalan kecilnya? bukan amalan-amalan besarnya?.

Padahal secara logika atau rasionalnya akal, hal semacam ini akan bertentangan dikarenakan yang ada tidak sesuai dengan kenyataan. Dan yang harus kita fahami, bagi seorang yang beriman kewahyuan yang berupa ajaran Islam tidaklah semua yang ada di dalamnya dapat di rasionalkan menggunakan akal, sebab akal tidak akan bisa menembus sesuatu yang Allah tetapkan tidak bisa ditembus.

Akan tetapi dengan menggukan keimanan yang merupakan identitas orang beriman. Disebutkan di dalam hadis Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah ia berkata :

“Dua kalimat yang ringan dilisan, namun berat di timbangan, dan disukai oleh Ar-Rahman(Allah SWT) adalah subhanallah wabihamdihi, subhanallah hil adhim”.

Hanya bermodal 2 kalimat ini, yakni subhanallah wabihamdihi, subhanallah hil adhim yang apabila setelah sholat fardhu kita membacanya dikala berdzikir kepada Allah dengan bacaan minimal 10 kali, sedangkan sholat fardhu tersendiri berjumlah 5 kali, maka dapat diambil hitungan 50 kali kita telah mengalahkan timbangan al-mizan di hari pertanggung jawaban kelak.


Ditambah lagi jika kita menganggur atau di jam kosong atau tatkala setelah sholat sunah kita selalu membacanya, maka berapakah kebaikan yang kita dapatkan dalam satu hari ini? dan semuanya itu berawal dari hal-hal terkecil seperti 2 kalimat ini.

Semua dimulai dari yang terkecil. Tindakan seorang dalam proses menuju kebaikan adalah dari yang termudah atau dari yang terkecil. Dari yang terkecil akan menimbulkan dampak yang sangat besar bagi seorang yang berproses dalam kebaikan. Dari yang terkecil pula akan menimbulkan kecintaan yang dapat mengalahkan amalan atau perbuatan-perbuatan yang lebih besar. Sehingga seorang akan termotivasi dan akan tetap di jalan yang baik.

Sebuah contoh misalnya, apabila seorang yang kita dakwahkan untuk melakukan perbuatan yang besar dengan ganjaran yang besar pula, tidak menutup kemungkinan dia di pertengahan jalan akan loyo. Sedangkan jika kita dakwahkan dengan melakukan amalan kecil tapi istiqomah, maka pelakunya akan merasa senang dari apa yang kita dakwahkan.

Tatkala kita sudah mendapatkan hati pelaku dakwah atau audien, maka tahap selanjutnya adalah bagaimana pelaku dakwah bisa melakukan amalan-amalan yang berbobot dan pahalanya juga besar. Menurut hemat kami, yakni dengan mengkolaborasikan amalan kecil dan amalan besar dalam berdakwah.

Sebagai contoh adalah; sebuah masjid mengadakaan kajian di pagi hari setelah sholat subuh sembari menunggu matahari terbit dan di siapkan makan-makan agar audien terpacu untuk berangkat sholat subuh sekaligus mendapatkan pahala seperti ia melaksanakan haji secara sempurna.

Hal semacam ini lah yang seharusnya dilakukan para da’i agar audien bisa mendapatkan amalan-amalan berbobot dengan pahala besar dan juga ia mendapatkan amalan kecil dengan ganjaran yang besar pula, yakni seperti halnya melaksanakan haji.

Penulis : Muhammad Haris Nurdiansyah

Posting Komentar

0 Komentar