Kerendahan Hati yang Menuntun Jiwa

Ilustrasi. Foto: Merdeka.com

Hanya sebab tauhid rantai kemanusian ini terus ada! Apakah misi suci ini menjadi titik kesatuan yang berujung pada sujud simpuh dihadapanNya? 

Atau menjadi titik pertikaian dan perpecahan?

“Berbeda-beda tetapi tetap satu tujuan.” {Bhineka tunggal ika}

Air yang berada di bumi hanya akan bermuara pada satu tempat terendah. Akan mengalir dan memberi kesuburan pada tanah yang dilewatinya. Dan ia tidak bisa mengalir menanjak dengan congkak, sebab ketinggian merupakan kebalikan sifat dari air.

Himpunan air yang mengalir, memberi jejak kesejahteraan dan ketentraman lingkungan. Keberadaannya yang terus membesar dan meluas menjadi kekuatan yang tak terbendung. Juga menjadi tabungan banyak pihak untuk bisa bertahan di masa sulit.

Semakin banyak air terhimpun maka akan semakin banyak kesejahteraan yang terbentuk secara massif. Nampaknya kesejahteraan memicu banyak himpunan alam di lain wilayah, tergiur ingin ikuti. Sebab kebaikan akan selalu mengundang kebaikan-kebaikan lainnya. Sekumpulan orang baik akan menggoda banyak orang tuk berbuat baik. Solidaritas yang kokoh juga akan mengundah banyak orang untuk lebih solid.

Persatuan dengan tujuan murni, akan membuahkan kekokohan yang tak lekang di hempas badai dan tak lapuk dihantam panas terus-menerus. Kemurnian niat tulus-lah yang menolong sekelompok manusia untuk terus dalam jalan fitrohnya. Tujuan untuk bisa berjalan bersama menapaki dunia yang fana. Sebab seratus orang melangkah satu kali, lebih baik dari pada seseorang melangkah seratus kali. Kemudian sedikit demi sedikit menjadi kekompakan yang didasari oleh kecintaan. Salah seorang ahli hikmah berkata:

ثَمْرَةُ الْقَنَاعَةِ اَلرَّاحَةُ وَثَمْرَةُ التَّوَاضُعِ اَلْمَحَبَّةُ.

“Buah dari qana’ah adalah ringan, dan buah dari tawadhu’ adalah kecintaan.”

Terkadang beberapa persoalan garus dihentikan sejenak guna memberi jalan masuknya mashlahat yang lebih besar. Dapat kita lihat, sebuah kereta melaju dengan kencang, yang membawa mashlahat untuk orang banyak, maka ia dapat memberhentikan jalan raya dengan palang merah-putihnya, agar tidak ada kerusakan dan pihak yang dirugikan.

Kerendahan hati bukan berarti membuat diri kita hina dimata manusia lainnya. Hal ini akan berguna untuk menundukkan ego dan mempertahankan langkah yang dibuat bersama, untuk niat yang mulia memperjuangkan agamaNya.

Apapun profesi yang dimiliki, ketika sudah niat tulus untuk Allah semata, maka akan ada banyak hasil yang diraih melalui banyak lini kehidupan. Sebab di balik kebersamaan dan kesatuan ada banyak kekuatan dan perubahan yang akan didapat.

Begitulah kerendahan hati, juga merupakan tanda akan mengalirnya ilmu ilahi, serta menghentikan laju syahwat dan gemerlap duniawi. Sebab keduanya dapat memicu kesombongan yang harus ditahan terlebih dahulu. Hingga waktu yang tepat Allah beri jalan keduanya untuk didapatkan dengan halal.

Rendah hati merupakan sifat pertama seorang hamba. Hal ini dijelaskan dalam potongan akhir surat al-Furqon, tepatnya dalam ayat 63:

وَعِبادُ الرَّحْمنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْناً

“Para hamba ar-Rahman adalah mereka yang berjalan di atas bumi dengan kerendahan hati.” (al-Furqan 25: 63) dijelaskan dalam tanbih al-Ghafilin yang dimaksud sifat hamba Allah di sini adalah kerendahan hati atau dikenal dengan tawadhu’.

Kerendahan hati merupakan salah satu akhlak mulia, yang menjadi tujuan diutusnya Nabi. Problematika sosial akan terselesaikan oleh akhlak mulia. Perpaduan antara ilmu dan amal. Sebab nilai islam ini harus membumi sehingga manfaatnya dapat dirasakan tak hanya bagi diri sendiri tapi juga oleh banyak manusia.

Syaihk Wahbah Az-Zuhaili menerangkan perihal ayat ini, bahwasa sifat pertama seorang hamba adalah rendah hati. Berikut penuturannya:

هُمُ الَّذِيْنَ يَمْشُوْنَ فِي سَكِيْنَةٍ وَوِقَارٍ، مِنْ غَيْرِ تَجَبُّرٍ وَلَا اسْتِكْبَارٍ، يَطَؤُوْنَ الْأَرْضَ بِرِفْقٍ، وَيُعَامِلُوْنَ النَّاسَ بِلَيِّنٍ، لَا يُرِيْدُوْنَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا، كَمَا قَالَ تَعَالَى حَاكِيًا وَصِيَّةَ لُقْمَانَ لِابْنِهِ: 

“Merekalah orang-orang yang berjalan dengan ketenangan dan kepantasan, tanpa merasa besar hati dan sombong. Mereka-lah orang-orang yang berjalan dengan kasih sayang, berinteraksi pada manusia dengan kelembutan, serta tidak menginginkan adanya derajat yang tinggi dan tidak pula menginginkan kerusakan. Sebagaimana Allah berkisah wasiat Luqman untuk anaknya: ”

وَلا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحاً، إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتالٍ فَخُورٍ.

“Dan jangan-lah kamu berjalan di bumi dalam keadaan sombong! Sesungguhnya Allah itu tidak menyukai setiap insan yang sombong lagi congkak.” [Luqman 31: 18]

Nabi mengajarkan, “Tidaklah harta itu berkutang karena disedekahkan, tidaklah seorang hamba memaafkan seseorang dari kezhaliman, malinkan Allah akan tambah untuknya kemuliaan, dan tidaklah seseorang berlaku rendah hati kecuali Allah tambah kemualian pula untuknya.” {HR. Muslim}

Kerendahan hati dapat menjadi pemicu kesatuan. Sebab dengannya persaudaraan ini bisa kembali terjalin. Menerobos sekat pangkat dan jabatan. Tanpa pandang perbedaan suku, dan warna kulit. Mari menjaga hati, jangan sampai congkak tak memandang dan tak peduli sesama di lingkungan.


Muara Persatuan

Merajut asa,

Meleburkan diri di dalam cinta.

Menghiraukan ego sementara,

Tuk menyatukan persaudaraan.

    Ikatan nurani semua insan.

    Tauhid terpatri dalam-dalam.

    Semua menjadi bersaudara.

    Persaudaraan kokoh di atas keimanan.

Air yang bersumber dari segala penjuru,

dari langit, daratan tinggi, dan gunung,

akan juga turun pada tempat terendah.

Itulah muara kesatuan.

    Kesatuan yang tiada lagi pandang jabatan,

    tiada lagi pandang harta.

    Semua disingkirkan tuk satukan visi.

    Menyongsong tinggi, kibarkan kalimat Ilahi.

Kesatuan yang didamba masa kini.

Perbedaan bukan lagi penghalang.

Bahkan menjadi kekuatan.

Pernak-pernik perjuangan, 

sampai darah penghabisan.

    Fikr Room (Al-Muhsin Metro, 16 Juni 2020)

Refrensi:

Tanbihul Ghafilin, Abu Laits Nashr bin Muhammad al-Hanafi as-samarqandi, (Maktabah al-Iman, Mesir), hal: 141-142.

Tafsir al-Munir, DR. Wahbah az-Zuhaili, (Dar Fikr Mu'ashir, Damaskus), jilid: 19, hal: 105.


Posting Komentar

0 Komentar