Mengenal Suku Asmat: Suku Titisan Dewa di Papua. Indonesiakaya.com |
Pada jaman dahulu kala, satu Dewa bernama Fumeripitsy turun ke bumi. Ia menjelajah bumi dan memulai petualangannya dari ufuk barat matahari terbenam. Dalam petualangannya, Sang Dewa harus berhadapan dengan seekor buaya raksasa dan mengalahkannya. Walaupun menang, sang Dewa terluka parah dan terdampar di sebuah tepian sungai.
Dengan kesakitan sang Dewa berusaha bertahan hingga akhirnya ia bertemu seekor burung Flaminggo yang berhati mulia dan merawat Sang Dewa hingga pulih dari lukanya. Setelah sembuh, sang Dewa tinggal di wilayah tersebut dan membuat sebuah rumah serta mengukir dua buah patung yang sangat indah.
Ia juga membuat sebuah genderang yang sangat nyaring bunyinya untuk mengiringinya menari tanpa henti. Gerakan sang Dewa sungguh dahsyat hingga membuat kedua patung yang diukirnya menjadi hidup.
Tak lama kemudian, kedua patung itu pun ikut menari dan bergerak mengikuti sang Dewa. Kedua patung tersebut adalah pasangan manusia pertama yang menjadi nenek moyang suku Asmat.
Penggalan mitologi di atas adalah sebuah kepercayaan yang dimiliki oleh Suku Asmat, salah satu suku yang terbesar di Papua. Mitos ini membuat suku Asmat masih mempercayai bahwa mereka adalah titisan dewa hingga kini.
Tidaklah berlebihan, karena Asmat memang memiliki kebudayaan yang sangat dihormati. Bahkan, suku ini sudah dikenal hingga ke mancanegara, sehingga tidak asing bila ada peneliti-peneliti dari seluruh penjuru dunia sering berkunjung ke kampung suku Asmat. Mereka umumnya tertarik untuk mempelajari kehidupan suku Asmat, sistem kepercayaannya, serta adat istiadat yang begitu unik dari suku Asmat.
Pria Asmat yang berfoto memegang Tifa (alat musik khas Papua). Foto: indonesiakaya.com |
Asal Suku Asmat
Suku Asmat merupakan salah satu suku terbesar dan tertua di Papua. Suku Asmat sendiri sebenarnya terbagi lagi menjadi dua, yaitu suku yang tinggal di pesisir pantai dan suku Asmat yang tinggal di wilayah pedalaman.
Pola hidup, cara berpikir, struktur sosial maupun keseharian kedua kategori Asmat ini sangatlah berbeda.
Sebagai contoh, dari sisi mata pencaharian mereka misalnya, suku Asmat yang berada di wilayah pedalaman, biasanya mempunyai pekerjaan sebagai pemburu dan petani kebun, sedangkan mereka yang tinggal di pesisir lebih memilih menjadi nelayan sebagai mata pencaharian.
Perbedaan kedua populasi ini disebabkan juga oleh kondisi wilayah tempat mereka tinggal dan besarnya pengaruh masyarakat pendatang yang umumnya lebih terbuka daripada kebudayaan Asmat sendiri.
Baca Juga: Reog Ponorogo: Asal-usul, Filosofi, Hingga Kesenian yang Erat dengan Unsur Mistik
Walaupun kedua populasi ini punya banyak perbedaan, namun keduanya memiliki karakteristik yang sama. Misalnya, dari segi ciri-ciri fisik. Suku Asmat memiliki rata-rata ketinggian sekitar 172 cm untuk pria dan 162 cm untuk wanita. Kulit mereka umumnya hitam dengan rambut yang keriting. Ciri fisik ini disebabkan karena suku Asmat masih satu keturunan dengan warga Polynesia.
Wilayah persebaran suku Asmat dimulai dari pesisir pantai laut arafuru hingga pegunungan Jayawijaya. Secara keseluruhan mereka menempati wilayah kabupaten Asmat yang punya kurang lebih 7 kecamatan.
Walau nampaknya dekat, namun jarak antar kampung dan kampung dengan kota kecamatan sangat jauh, bahkan perjalanannya dapat memakan 1 hingga 2 hari dengan berjalan kaki. Hal ini mereka lakukan bukan karena mereka tidak bisa memasukkan kendaraan ke Asmat, namun wilayah Asmat yang berawa-rawa hanya bisa dilewati dengan perahu atau berjalan kaki.
Anak-anak Asmat yang berkumpul di sekitar Jew. Foto: indonesiakaya.com |
Rumah Adat Suku Asmat
Suku Asmat juga memiliki tradisi yang sangat menarik untuk disimak, yaitu Rumah Bujang atau yang biasa dikenal dengan sebutan Jew. Rumah ini adalah bagian penting yang tidak terpisahkan dari kehidupan suku Asmat. Jew menjadi rumah utama tempat mengawali segala kegiatan suku Asmat di tiap desa yang ada.
Begitu pentingnya, hingga dalam mendirikan Jew pun ada upacara khusus yang harus dilakukan. Jew, hanya ditinggali oleh pria-pria yang belum menikah. Sesekali kaum wanita boleh masuk tetapi harus dalam situasi pertemuan besar.
Hal ini juga yang melatarbelakangi kenapa rumah ini disebut sebagai rumah Bujang. Karena hanya boleh dihuni oleh kelompok laki-laki yang belum menikah alias masih bujang.
Jew terdapat di setiap kampung dan menjadi pusat kegiatan yang dilakukan oleh Suku Asmat. Jew menjadi tempat berkumpul bagi pemuda Asmat dalam menginisiasi berbagai hal seperti cara berperang, memukul tifa, mencari bahan makanan, hingga kepercayaan tentang leluhur yang terus diwariskan.
Kerangka Jew dibuat dari kayu asli papua dan rotan yang kuat. Lalu atapnya diberi daun nipah yang sudah dikeringkan serta memanfaatkan kulit-kulit kayu sebagai lantai rumah.
Tiang Jew selalui dilengkapi dengan ukiran kepala perang pada setiap masing-masing kelompok yang sudah meninggal. hal ini dilakukan sebagai pedoman bagi masyarakat Asmat yang harus dipegang dari generasi ke generasi.
Uniknya, Jew tidak memiliki pemisah ruang. Jew hanya punya ruang utama yang langsung menjadi satu dengan tungku dan dapur. Selain itu, Jew juga selalu dibangun menghadap ke arah matahari terbit atapun sejajar dengan sungai yang ada disekitarnya.
Dalam tradisi Asmat, Jew tidak pernah dilihat dari seberapa besar, lebar ataupun panjangnya. Namun Jew dilihat dari bagaimana pemanfaatan yang sesuai seperti apa yang di wariskan oleh leluhur masyarakat Asmat.
Tarian Suku Asmat
Suku Asmat banyak memiliki kesenian tari dan nyanyian. Mereka menampilkan tari-tarian berikut nyanyian ini ketika menyambut tamu, masa panen, dan penghormatan kepada roh para leluhur. Mereka sangat hormat kepada para leluhurnya, hal ini terlihat dari setiap tradisi yang mereka miliki.
Walaupun kini kebudayaan modern sudah banyak berpengaruh pada kehidupan mereka, namun tradisi dan adat Asmat akan sulit untuk dihilangkan. Suku Asmat memiki kebudayaan yang luar biasa dan layak untuk menjadi objek utama yang patut dipelajari lebih jauh saat berkunjung ke Papua.
Bahasa Suku Asmat
Sebagaimana setiap suku pada umumnya, suku Asmat juga memiliki bahasa yang mereka gunakan sehari-hari. Suku Asmat menggunakan bahasa yang oleh para ahli disebut bahasa bagian selatan Papua.
Menariknya,bahasa ini pernah dipelajari oleh C.L Voorhoeve (1965) dan menjadi sebuah film bahasa-bahasa Papua non-Melanesia.
Suku Asmat menggunakan beberapa bahasa yang digunakan sehari-hari seperti bahasa Asmat Sawa, Asmat Bets Mbup, Asmat Safan, Asmat Sirat, dan juga Asmat Unir Sirau.
1. Bahasa Asmat Sawa
Bahasa ini dituturkan oleh masyarakat Kampung Sawa, Kecamatan Sawaerma, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua.
2. Bahasa Asmat Bets Mbup
Bahasa ini dituturkan oleh masyarakat Kampung Atsi, Kecamatan Atsi, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua.
Bahasa Asmat Bets Mbup ini terdiri atas tiga dialek yang digunakan, yaitu bahasa Asmat dialek Bets Mbup, dialek Bisman, dan juga dialek Simay.
3. Bahasa Asmat Safan
Bahasa ini dituturkan oleh etnik Asmat Safan di Kampung Aworket, Kecamatan Safan, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua.
4. Bahasa Asmat Sirat
5. Bahasa Asmat Unir Sinau
Pakaian Adat Suku Asmat
Suku Asmat memiliki pakaian tradisional yang khas. Seluruh bahan yang digunakan untuk membuat pakaian tersebut berasal dari alam. Hal ini membuat pakaian Suku Asmat merupakan representasi dari kedekatan mereka dengan alam raya.
Tidak hanya itu, bentu dan desain pakaian Suku Asmat pun terinspirasi dari alam. Pakaian laki-laki Suku Asmat dibuat menyerupai burung dan binatang lain yang dianggap melambangkan kejantanan. Sementara, rok dan penutup dada kaum perempuan menggunakan daun sagu sehingga menyerupai kecantikan burung kasuari.
Sebenarnya, pakaian laki-laki dan perempuan Suku Asmat tidak terlalu jauh berbeda. Pada bagian kepala, dikenakan penutup yang terbuat dari rajutan daun sagu dan pada sisi bagian atasnya dipenuhi bulu burung kasuari. Bagian bawah dan bagian dada (untuk perempuan) berupa rumbai-rumbai yang dibuat menggunakan daun sagu.
Pakaian adat tersebut belum sempurna jika tidak dilengkapi berbagai aksesori, juga menggunakan berbagai bahan yang tersedia di alam. Aksesori yang biasa dijadikan pelengkap pakaian tradisional Suku Asmat adalah hiasan telinga, hiasan hidung, kalung, gelang, dan tas. Hiasan telinga terbuat dari bulu burung kasuari. Bulu burung kasuari yang digunakan untuk hiasan telinga ukurannya lebih pendek dibanding bulu burung kasuari yang digunakan pada penutup kepala.
Hiasan hidung biasanya hanya dikenakan oleh kaum laki-laki. Hiasan ini terbuat dari taring babi atau bisa dibuat dari batang pohon sagu. Hiasan hidung yang dikenakan kaum laki-laki memiliki dua fungsi: simbol kejantanan dan untuk menakuti musuh. Sementara, aksesori kalung dan gelang dibuat dari kulit kerang, gigi anjing, dan bulu burung cendrawasih.
Esse (sebutan masyarakat Suku Asmat untuk tas) merupakan aksesori yang penting. Selain berfungsi sebagai wadah penyimpan ikan, kayu bakar, serta berbagai hasil ladang, esse juga dipakai ketika diadakan upacara-upacara besar. Orang yang mengenakan esse saat diadakan upacara adat dianggap sebagai orang yang mampu menjamin kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam berbagai upacara adat, masyarakat Suku Asmat biasanya melengkapi penampilan mereka dengan gambar-gambar di tubuh. Gambar yang didominasi warna merah dan putih tersebut konon merupakan lambang perjuangan untuk terus mengarungi kehidupan. Warna merah yang digunakan berasal dari campuran tanah liat dan air, sementara warna putih berasal dari tumbukan kerang.
Senjata Tradisional Suku Asmat
Kesenian Ukir Suku Asmat
Suku Asmat sangat terkenal dengan tradisi dan keseniannya. Mereka dikenal sebagai pengukir handal dan diakui secara internasional. Ukiran asmat sangat banyak jenisnya dan beragam.
Namun, biasanya ukiran yang dihasilkan bercerita tentang sesuatu, seperti kisah leluhur, kehidupan sehari-hari dan rasa cinta mereka terhadap alam. Keunikan ukirannya inilah yang membuat nama suku Asmat begitu mendunia hingga kini.
0 Komentar