Pantai Kedonganan, Badung, Bali, di kala senja dengan latar belakang patung GWK. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia |
Limbah sampah laut kini menghantam kampung nelayan di Kedonganan, Badung, Bali. Sentra boga laut yang sudah terbentuk ekosistemnya ini terlihat kotor dan berbau tajam karena tumpukan sampah laut berhari-hari.
Nelayan juga makin sulit karena hasil tangkapan berkurang karena cuaca buruk. Fenomena wabah sampah laut ini makin sulit tertangani, terlebih di tengah pandemi karena pembatasan kegiatan masyarakat, termasuk clean-up karena mengumpulkan banyak orang.
Masalah nelayan kini bertambah. Setelah cuaca buruk, gelombang tinggi, hasil tangkapan menurun, kini ditambah tekanan sampah laut di darat dan tengah laut.
Pantai Kedonganan pada Selasa (2/2/2021) adalah hamparan sampah laut setidaknya dua kali luas lapangan sepak bola. Lebih buruk dibanding Pantai Kuta. Sampah terhampar memenuhi pantai dari kawasan kampung nelayan sampai kawasan restoran seafood tepi pantai.
Selain volume sampahnya yang terlihat lebih tebal dan masif, juga karena Pantai Kedonganan bernasib lebih buruk dibanding Kuta yang dibersihkan tiap hari.
Ironisnya lagi, Kedonganan adalah kampung nelayan, sentra produksi pangan laut. Di sini ada beberapa pasar ikan, pelelangan ikan, warung dan restoran pedagang olahan ikan, dan lainnya. Sebuah ekosistem pangan laut yang sudah terbangun dan dikenal warga.
Anto, seorang nelayan tekun membersihkan jaringnya usai mendarat di pesisir Pantai Kedonganan. Saat ini sedang musim ikan lemuru. Nyaris semua perahu motor nelayan isinya lemuru. Jaring-jaring dihentak-hentakan dengan keras untuk mengeluarkan hasil menjaring.
Aktivitas nelayan di tengah sampah laut di Kedonganan, Badung, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia |
Beberapa ikan yang terbang keluar perahu dengan sigap ditangkap para pencari protolan. Mereka adalah puluhan warga yang mengumpulkan sisa ikan di pesisir pantai atau kapal nelayan.
“Baru dua minggu kami protolan. Hasilnya dijual Rp3000 per satu kilogram,” sahut Puri, seorang perempuan paruh baya yang tekun menatap tumpukan sampah plastik di pantai. Ikan lemuru ada yang terdampar terbawa ombak. Mereka menggelepar di atas tumpukan sampah, dan entah kenapa para pelaku protolan ini bisa menemukannya dengan cepat. Padahal warna ikan hitam keperakan ini tersamarkan dengan warna plastik.
Baca Juga: Berbagai Bencana Alam di Awal Tahun Tanda Krisis Lingkungan
Mengais sampah plastik di tengah tebalnya sampah laut untuk menemukan seekor ikan lemuru adalah pemandangan baru di tengah musim angin barat ini. Warna air laut sangat keruh seperti berlumpur. Bau sampah plastik yang berhari-hari terserak di pantai menambah buruknya kondisi nelayan.
Perahu-perahu nelayan juga terparkir di atas tumpukan sampah plastik. Bersama dengan para pemilah ikan, pedagang ikan di pantai, dan aktivitas perikanan kecil lainnya.
Pasar ikan Kedonganan terlihat masih berdenyut di tengah pandemi ini. Pasar ini tak hanya menjual hasil tangkapan nelayan sekitar, juga tangkapan di luar Bali. Turis mancanegara atau ekspatriat juga terlihat cukup banyak ke sini.
Selain dibawa pulang, juga bisa dibakar di warung-warung penjaja jasa bakar yang makin banyak. Termasuk restoran tepi pantai spesial makan malam pun kini menjajakan jasa bakar, harganya Rp15-20 ribu/kg.
Di pantai yang jadi panorama restoran boga laut ini kini berubah jadi tumpukan sampah laut yang sangat tebal. Warga setempat mengatakan pernah ada beberapa komunitas berusaha membersihkan, namun hanya berhasil mengumpulkan sampah kurang dari 10% dari tutupan.
Protolan lemuru di pantai Kedonganan, Badung, bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia |
Gelombang tinggi dengan mudah mendaratkan sampah lainnya. Sejumlah pemulung nampak bekerja selektif, memilih sampah dengan harga tertinggi saja. Yakni wadah-wadah plastik dengan kemasan putih yang sudah bersih. Jadi tak perlu dicuci lagi atau dipisahkan dari sticker brand-nya.
Puluhan gelondongan kayu yang terbawa laut masih berserak, belum ada yang memulungnya. Mungkin karena ukurannya sangat besar, harus menggunakan alat berat.
Hamparan limbah anorganik ini terlihat seragam, kemasan air mineral gelas mendominasi, lalu kresek, dan kemasan cemilan. Sebagian warna memudar. Bahkan tak sedikit yang sudah jadi serpihan kecil, seperti hasil cincangan mesin. Jenis ini tak akan bisa dibersihkan dengan tangan. Harus mengeruk pasirnya juga.
Sangat menakutkan jika sampah cacahan ini termakan satwa laut. Terlebih bagi satwa laut yang gaya makannya menyapu permukaan seperti Pari Manta dan Paus Sperma.
I Gusti Made Aryana, plt UPT Pos Penimbangan Ikan (PPI) Dinas Perikanan Badung yang mewilayahi TPI Kedonganan dan Tanjung Benoa mengatakan ini sampah kiriman tiap tahun saat musim angin barat. Dimulai akhir tahun pada November dan berakhir Maret, hampir enam bulan.
Durasi waktu lama yang membuat pesisir Selatan Bali kotor dan relawan pembersih pontang panting. Menurut Aryana sudah ada gotong royong dari desa adat dan pihak lain namun tak kuasa mengangkat tumpukan sampah ini tiap hari.
“Pasti ada dampak pada nelayan, kalaupun tak ada sampah, angin dan gelombang tinggi membuat nelayan tak bisa melaut jauh,” ujarnya. Dampak lain adalah kerusakan alat tangkap, karena sampah di pesisir dan tengah laut.
Baca Juga: Menuju Mandiri Pangan Kala Pandemi dengan Urban Farming
Saat musim cuaca buruk ini, nelayan memilih melaut dekat saja, sekitar pesisir Kuta seperti Seminyak dan Canggu. Nelayan memilih lebih berhati-hati, selain hasil tangkapan berkurang, risikonya alat tangkap rusak. Tersangkut atau terisi sampah.
Hasil tangkapan nelayan sudah berkurang sejak hasil bongkar mulai Oktober sampai Desember. Hasilnya sekitar 250-500 kg/hari dari catatan PPI Kedonganan saja dari sekitar 25 orang nelayan yang tercatat. Menurutnya nelayan tak wajib menimbang hasil tangkapan di PPI, karena memiliki pengepul sendiri. “Tak harus melewati PPI, hanya menimbang. Tiap kelompok ada penimbangan, sesuai pengepulnya masing-masing,” jelas Aryana.
Hasilnya ikan lemuru atau anakannya. Sementara tongkol dan kenyar tidak ada. Tangkapan ini diperkirakan mulai Maret ketika kapal-kapal lebih besar melaut.
Memulung kayu sampah laut
Tak banyak dari residu sampah laut yang diambil pemulung, karena sebagian sudah terkoyak-koyak. Salah satu bagian yang dimanfaatkan adalah kayu. Ni Wayan Listriani, 38 tahun kini sibuk membeli hasil kayu-kayu sampah laut dari sejumlah pantai di Bali.
Melalui usahanya, Fortuna Handycraft, yang dirintis 14 tahun lalu, ia terus mengembangkan sejumlah desain kerajinan spesial dari kayu sampah laut. Terutama yang ukurannya seperti ranting pohon. “Sekarang saatnya menyimpan bahan baku, kalau musim kemarau sudah tak ada,” ujarnya.
Di pabriknya banjar Tegallalang, Kabupaten Gianyar, nampak sejumlah pekerja sibuk mengolah. Mulai dari pemilahan, penjemuran, pemotongan, sampai merakitnya. Potongan kayu ini diolah tanpa banyak tambahan cat atau pewarna untuk menonjolkan bentuk aslinya.
Sejumlah bentuk yang dipesan pelanggannya adalah pigura, meja, hiasan sarang burung, sampai hiasan dinding. Limbah kayu laut ini juga bisa jadi seperti lukisan karena dibentuk menyerupai wajah-wajah manusia.
Listriani membeli sekitar Rp5000 per karung. Pekerjanya kini adalah korban pekerja pariwisata yang di-PHK dan ibu rumah tangga.
Kerajinan ini berawal dari seorang turis Perancis yang menginap di rumahnya belasan tahun lalu. Ia memungut kayu dari laut dan membentuk jadi frame. Kerajinan dipajang depan rumahnya dan kemudian direplikasi.
Tantangannya, karena terendam garam dalam jangka lama, kayu bisa mengkarat. Solusinya ia menggunakan steples besar dari material stainles untuk merekatkan potongan kayu satu sama lain.
Sumber: Mongabay/Luh De Suryani
0 Komentar