Kedih: Primata Endemik Sumatera dan Habitatnya yang Terancam

Kedih dengan cirikhas jambul di kepala. Foto: merahputih.com

Kedih [Presbytis thomasi] adalah primata endemik Sumatera dengan jambul hitam dan abu-abu di kepala yang sulit dilihat.

Sejauh ini, kedih hanya ditemukan di hutan bagian utara Danau Toba [Sumatera Utara], Riau, dan Aceh. Kedih mengandalkan suaranya yang khas dan keras. Tujuannya, memanggil keluarganya untuk berkumpul.

Habitat kedih mulai terancam akibat kebakaran hutan dan alih fungsi lahan ditambah ancaman perburuan. Kedih merupakan jenis satwa dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi.

Jika Anda berjalan di hutan Sumatera, dan beruntung melihat primata dengan jambul hitam dan abu-abu di kepala, itulah kedih [Presbytis thomasi]. Matanya sedikit sayu dan berparas sedih.

Kedih adalah spesies primata yang tergabung dalam famili Cercopitecidae, dari marga Presbytis. Hewan ini endemik Sumatera yang sulit dilihat. Sejauh ini, ia ditemukan di bagian utara Danau Toba [Sumatera Utara], Riau, dan Aceh.

Jenis ini hanya menempati hutan primer dataran rendah, hutan sekunder, dan sesekali mengunjungi perkebunan karet.

Baca Juga: Primata Endemik Sulawesi yang Kini Berstatus Krisis

Sebagai penanda, kedih mengandalkan suaranya yang khas dan keras. Tujuannya, memanggil keluarganya berkumpul. Wilayah jelajah kedih digunakan sebagai tempat mencari makan, berkembang biak, bersembunyi dari predator, serta bersarang.

Dalam satu kelompok, biasanya ada satu pejantan dengan betina dan sejumlah anaknya. Kedih jantan selalu melindungi kelompoknya dari ancaman hewan lain, atau intervensi kedih jantan pesaing.

Makanan utama kedih adalah buah-buahan, daun, serangga kecil, dan bunga cabang. Bagi upaya pelestarian hutan, kedih sangat berperan penting, karena biji yang ia makan dan dikeluarkan dalam bentuk kotoran, akan tumbuh kembali sebagai bentuk upaya meregenerasi pepohonan.

Kedih memiliki ekor lebih panjang dari badannya. Jika panjang badannya sekitar 420-610 milimeter, maka ekornya sekitar 500-850 milimeter. Beratnya antara 5 hingga 8,1 kilogram.

Berkembang biak di hutan larangan

Inilah kedih, primata khas Sumatera yang jarang terlihat. Foto: Mongabay

Berdasarkan penelitian Ade Mukhtar, Defri Yoza, dan Tuti Arlita dari Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Riau, berjudul Pola Perilaku Thomas Langur [Presbytis thomasi, collect 1892] di Sekitar Hutan Larangan Adat Rumbio [2016], diketahui kedih di wilayah ini sekitar 15 kelompok. Dalam satu kelompok terdiri 12-15 individu.

Di hutan larangan seluas 530 hektar itu, kedih melakukan kegiatan di tiga tempat, yaitu di hutan, perkebunan karet, dan permukiman warga. Namun, paling dominan di hutan dan perkebunan karet.

“Ruang hidup habitat kedih ini, daerah jelajahnya sering tumpang tindih,” tulis Ade Mukhtar, dkk.

Banyaknya populasi kedih di hutan larangan karena hutannya masih alami dengan tingkat ketersediaan tumbuhan penghasil makanan cukup baik.

Pada musim panen, kedih sering keluar hutan dan mendatangi kebun warga untuk memetik dan memakan buah-buahan. “Aktivitasnya di pagi hingga sore hari.”

Habitat terganggu

Dalam Jurnal Natural yang ditulis Syaukani, dari Jurusan Biologi, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, berjudul Study of Population and Home Range of Thomas Langur [Presbytis thomasi] at Soraya Research Station, Leuser Ekosistem [2012], ditegaskan bahwa terdapat enam kelompok kedih di wilayah tersebut. Setiap kelompok memiliki anggota sekitar 5-12 individu. Namun, beberapa di antaranya memiliki wilayah jelajah yang tumpang tindih.

“Luas daerah jelajah kedih di Soraya adalah antara 8,48-25,06 hektar. Lebih sempit dari kedih yang hidup di Ketambe [30 hektar] dan hampir sama dengan wilayah jelajah kedih di Bohorok [12,3-15,7 hektar],” tulis Syaukani.

Kondisi Hutan Soraya yang didominasi hutan sekunder, ketersediaan pangan yang terbatas, ditambah tingkat kejarangan pohon diduga menjadi faktor yang membuat jelajah kedih menjadi pendek.

Sedikitnya kedih di Hutan Soraya dan jelajahnya yang dekat tersebut diduga akibat pengrusakan habitat, mulai dari penebangan kayu, pembakaran hutan, hingga perburuan.

Sementara, dalam Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam yang ditulis Ruskhanidar, Hadi S. Alikodra, dkk., berjudul Analisis Populasi Kedih [Presbytis thomasi] di Cagar Alam Pinus Jantho, Aceh Besar, Provinsi Aceh [2020] diterangkan bahwa jumlah kedih di wilayah ini hanya sekitar 7 kelompok.

Setiap kelompok teridiri 4-5 individu. Rinciannya, 2 kelompok di blok rehabilitasi dan 5 kelompok lain di blok perlindungan.

“Dari 184 hektar luas sampel pengamatan, kedih hanya ditemukan pada area 0,67 hektar di tujuh jalur berbeda dari total 23 jalur pengamatan,” tulis Ruskhanidar, dkk.

Kedih ditemukan pada jalur pengamatan di sekitar sumber air, dengan ketinggian di bawah 380 meter. Sedangkan di jalur yang jauh dari air dan di atas 500 meter di atas permukaan laut, primata ini tidak terlihat.

Kedih di cagar alam tersebut memanfaatkan hutan sekunder pada blok rehabilitasi sebagai tempat mencari makan dan sebagai jalur lintasan untuk bergerak menuju blok perlindungan.

Ruskhanidar menegaskan, permasalahan kedih di Cagar Alam Pinus Jantho adalah akibat gangguan kebakaran hutan dan kehadiran pemburu satwa liar.

“Konservasi dapat dilakukan dengan mengintensifkan pengawasan kebakaran hutan serta meningkatkan sarana pendukung kerja terhadap pemburu satwa liar.”

Lembaga Konservasi Dunia [IUCN] memasukkan kendih dalam status Rentan [Vulnerable/VU]. Di Indonesia, kedih merupakan jenis satwa yang kehidupannya dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi.

Sumber: Mongabay

Posting Komentar

0 Komentar