Sampah di Perkotaan. Foto: nusantara.rmol.id |
Penanganan sampah perkotaan secara efektif dapat menjadi salah satu indikator berjalannya tata kelola pemerintahan kota yang baik.
Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) rutin diperingati setiap tanggal 21 Februari. Setidaknya, setahun sekali, kita diingatkan ihwal pentingnya untuk makin peduli terhadap dampak sampah yang kita hasilkan selama ini.
Berdasar pada Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SE.1/MENLHK/PSLB3/PLB.0/2/2021 tentang Hari Peduli Sampah Nasional, peringatan HPSN untuk saat ini memiliki sekurangnya tiga tujuan.
Pertama, memperkuat komitmen dan peran aktif pemerintah daerah dalam melaksanakan pengelolaan sampah dengan menjadikan sampah sebagai bahan baku ekonomi. Kedua memperkuat partisipasi publik dalam upaya menjadikan sampah sebagai bahan baku ekonomi melalui gerakan memilah sampah.
Ketiga, memperkuat komitmen dan peran aktif produsen dan pelaku usaha lainnya dalam implementasi bisnis hijau (green business) dengan menjadikan sampah sebagai bahan baku ekonomi.
Dampak Sampah Perkotaan
Sampah adalah masalah kita semua. Setiap orang menghasilkan sampah, setiap hari, sepanjang tahun. Bertambahnya populasi manusia berbanding lurus dengan bertambahnya produksi sampah. Artinya, semakin banyak penduduk sebuah kawasan, maka semakin banyak pula produksi sampah yang dihasilkan.
Khusus di kawasan perkotaan, dampak sampah menjadi ancaman tersendiri bagi kehidupan kawasan perkotaan yang berkelanjutan. Laporan World Bank menyebut jumlah sampah padat yang diproduksi di kawasan perkotaan dewasa ini di seluruh dunia rata-rata mencapai 2,01 miliar ton per tahun.
Baca Juga: Prinsip Leave No Trace Jadi Jawaban Problem Sampah Lingkungan Pariwisata
Dengan asumsi bahwa di masa depan antara 68 hingga 75 persen penduduk dunia akan tinggal kawasan perkotaan, maka jumlah produksi sampah di kawasan perkotaan kemungkinan besar bakal terus melonjak. Tanpa ada upaya sungguh-sungguh dalam pengendalian konsumsi dan tata kelola sampah, maka kota-kota di dunia dapat saja “tenggelam” dalam lautan sampah. Tak terkecuali kota-kota di negeri ini.
Pertumbuhan populasi umumnya dibarengi dengan peningkatan konsumsi. Meningkatnya konsumsi berimbas langsung dengan bertambahnya jumlah sampah yang diproduksi.
Mengingat produksi sampah memiliki kaitan erat dengan tingkat konsumsi kita, pengendalian hasrat konsumtif sesungguhnya bisa ikut berkontribusi menekan jumlah sampah yang kita produksi.
Bukan rahasia lagi, tidak sedikit dari kita yang berbelanja atau membeli barang atau makanan didorong sepenuhnya oleh faktor keinginan belaka. Bukan oleh faktor kebutuhan. Akibatnya, kita cenderung boros dan tak sedikit barang atau makanan yang kita beli itu akhirnya mubazir dan akhirnya menjadi sampah.
Padahal, membiasakan membeli barang atau juga makanan-minuman yang selaras dengan yang kita butuhkan bakal ikut membawa perbaikan signifikan pada kondisi lingkungan kita.
Pada titik inilah apa yang disebut-sebut di Barat sebagai green consumption menjadi sangat krusial untuk kita praktikkan. Green consumption pada intinya terkait erat dengan perilaku konsumen yang pro-lingkungan. Dalam konteks ini, aktivitas konsumsi diupayakan untuk senantiasa mengarah kepada kelestarian lingkungan untuk masa kini dan generasi mendatang.
Membiasakan hanya mengonsumsi barang/makanan yang kita butuhkan, hanyalah salah satu bagian dari penerapan green consumption. Mengonsumsi produk-produk organik, menggunakan energi bersih dan terbarukan, menggunakan transportasi tanpa emisi karbon adalah bagian lainnya dari penerapan green consumption.
Masih tingginya volume sampah yang kita hasilkan selama ini sudah barang tentu menjadi salah satu tantangan tersendiri bagi kita semua. Pada akhirnya, kita semua ditantang bagaimana mengendalikan sebaik-baiknya hasrat komsumtif kita demi ikut berkontribusi bagi perbaikan kualitas lingkungan tempat tinggal kita.
Pengelolaan Sampah Perkotaan
Di sisi lain, tata kelola sampah kawasan perkotaan juga perlu semakin ditingkatkan. Hingga saat ini, metode open dumping dan landfill masih menjadi andalan utama pengelolaan sampah di banyak kawasan perkotaan di negara kita.
Open dumping adalah menempatkan sampah di tempat pemrosesan akhir (TPA) begitu saja, tanpa penanganan lebih lanjut. Adapun landfill yaitu menempatkan sampah di TPA, lantas diratakan serta dipadatkan menggunakan alat berat dan kemudian ditutup dengan tanah. Kedua cara ini dipercaya bisa mengurangi dampak sampah yang semakin tak terkendali.
Metode dumping maupun landfill dianggap tidak ramah lingkungan karena berpotensi menjadi sumber pencemaran terhadap air, tanah serta udara. Selain itu, jika tidak terkontrol dengan baik, kedua metode ini berpotensi menyebabkan ledakan akibat menumpuknya gas metana.
Kasus ledakan akibat penumpukan gas metana pernah terjadi di TPA Cireundeu, Leuwigajah, Kota Cimahi, Jawa Barat, pada 21 Januari 2005. Ledakan akibat penumpukan gas metana itu kemudian memicu longsor hebat yang menyebabkan sekurangnya 157 orang harus kehilangan nyawa.
Metode penanganan dampak sampah lainnya dengan melibatkan metode termal insinerator, yang nantinya dapat menghasilkan energi listrik, juga masih berpotensi menimbulkan pencemaran udara.
Sampah akan terus kita produksi. Solusi penanganannya yang benar-benar ramah lingkungan perlu terus kita upayakan. Inovasi teknologi wajib dimanfaatkan dalam pengelolaan sampah secara ramah lingkungan di negara kita.
Sejauh ini, sudah ada beberapa perusahaan rintisan (start up) di sejumlah kota di Tanah Air yang berfokus dalam hal mengatasi problem sampah perkotaan secara ramah lingkungan dengan melibatkan inovasi teknologi dan juga melibatkan partisipasi publik untuk menjadikan sampah sebagai bahan baku ekonomi. Contohnya, Mall Sampah di Makassar, Gringgo di Denpasar, Angkuts di Pontianak serta Sampah Muda di Semarang.
Para pengelola kota perlu ikut mendorong perusahaan-perusahaan rintisan seperti itu agar kian berkembang dan sekaligus menjalin kerjasama erat dalam ikhtiar menanggulangi sampah perkotaan.
Pengelolaan sampah yang efektif di sebuah kota dapat menjadi salah satu indikator berjalannya tata kelola pemerintahan kota yang baik alias good urban governance.
Dengan kata lain, pengelola kota yang belum/tidak mampu mengelola sampah secara efektif kemungkinan besar belum/tidak mampu pula secara efektif mengelola layanan publik lainnya seperti layanan kesehatan, pendidikan atau pun transportasi. Hal ini bisa diartikan bahwa pengelolaan dampak sampah menjadi indikator tata kelola kota yang baik.
0 Komentar