Awal tahun ini, bencana datang bertubi-tubi di Indonesia. Dari banjir, longsor, puting beliung sampai gempa bumi. Rincian bencana dari data BNPB per 21 Januari 2020 , banjir 146 kejadian, longsor 35, puting beliung 29, gelombang pasang dan abrasi lima dan gempa bumi masing-masing lima kejadian. Kemudian, kebakaran hutan dan lahan ada satu peristiwa.
Awal tahun ini terjadi banjir dan longsor di beberapa wilayah seperti Sumedang, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Manado, Sulawesi Utara, Jawa Tengah dan Jawa Timur serta Paniai, Papua. Gempa bumi antara lain, di Sulawesi Barat, paling parah, lalu Jayapura, dan Bengkulu.
Di Kalimantan Selatan, banjir pertengahan bulan ini, data BNPB sampai 20 Januari, dampak banjir merenggut 21 jiwa, dengan 403.405 orang terdampak. Ada sekitar 79.636 rumah rusak atau terendam banjir. Pemerintah Kalsel telah menetapkan status bencana tanggap darurat banjir 14-27 Januari 2021.
Edo Rakhman, Koordinator Kampanye Walhi Nasional, curah hujan tak bisa jadi satu-satunya penyebab banjir dan longsor. Ada faktor lain mempengaruhi yang menyebabkan daya rusak luar biasa. Daya dukung ekosistem hutan menurun, kawasan penyangga makin berkurang, jadi faktor «inilah yang menyebabkan banjir, longsor dan menimbulkan banyak korban. Pemerintah harus serius membangun mitigasi bencana dengan program dan kebijakan yang memasukkan adaptasi dan mitigasi dalam kebijakan setiap provinsi, terutama yang rawan bencana.
Sejak awal tahun, beragam bencana menimpa negeri ini dari banjir, tanah longsor, puting beliung, sampai gempa bumi. Sampai 26 Januari 2021, data BNPB menyebutkan, banjir 146 kejadian, longsor 35, puting beliung 29, gelombang pasang dan abrasi lima dan gempa bumi masing-masing lima kejadian. Kemudian, kebakaran hutan dan lahan ada satu peristiwa.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, 166 orang meninggal dunia, 965 luka-luka, satu orang hilang dan 800.000 lebih lain harus mengungsi.
Gempa bermula pada 14 Januari 2021 di kedalaman 10 km barat laut Majene, Sulawesi Barat, dengan kekuatan 5,9 skala richter sekitar pukul 13.30 siang. Esoknya terjadi gempa susulan dengan kekuatan 6,2 SR di arah timur laut Majene dengan kedalaman hampir sama, 10 km. Meski tak berpotensi tsunami masyarakat setempat panik dari lari keluar rumah.
Setidaknya, empat kabupaten terdampak gempa Majene, yakni Majene, Mamuju, Mamasa dan Polewali Mandar. Di Kabupaten Majene, gempa menyebabkan longsor di lima titik.
Gubernur Sulawesi Barat, Ali Baal Masdar, kemudian menetapkan status tanggap darurat selama 14 hari, 15-28 Januari 2020.
Daryono, Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, mengatakan, bila melihat dan fokus pada pantai sebelah barat Sulawesi, terlihat banyak kejadian gempa dan tsunami di masa lalu. Gempa bumi di pantai barat Sulawesi sebagai besar episentrumnya berada di lautan dan beberapa di darat.
Tahun 1820, terjadi gempa disertai tsunami yang memporak porandakan Makassar. Pada 11 April 1976, pernah terjadi gempa 6,3 SR di Polewali Mandar. Gempa disusul tsunami saat itu menyebabkan 13 orang meninggal.
Baca Juga: Menuju Mandiri Pangan Kala Pandemi Dengan Urban Farming
Pada 23 Februari 1969, juga pernah gempa 6,9 SR menyebabkan, tsunami setinggi empat meter menerjang beberapa desa di Kecamatan Malunda dan menyebabkan 64 orang meninggal dunia. Terakhir, pada 1984 gempa 6,7 SR juga terjadi di Majene dan Mamuju.
Daryono mengatakan, kalau melihat data sebelumnya, gempa bumi di Sulbar minim akan ada gempa susulan. Gempa per 17 Januari lalu diikuti 28 kali susulan.
Dalam kunjungan ke Mamuju pada 15 Januari, Presiden Joko Widodo berjanji pemerintah pusat akan memberikan bantuan membangun kembali gedung pemerintahan yang roboh.
Rumah masyarakat rusak juga akan mendapat bantuan, masing-masing Rp50 juta untuk rusak berat, Rp25 juta rusak sedang dan Rp10 juta rusak ringan.
Banjir, longsor, sampai awan panas
Awal tahun ini juga terjadi banjir dan longsor di beberapa wilayah seperti Sumedang, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Manado, Sulawesi Utara, Jawa Tengah dan Jawa Timur serta Paniai, Papua.
Hujan deras dengan intensitas tinggi dan struktur tanah yang labil mengakibatkan tanah longsor pada 9 Januari di Desa Cihanjuang, Sumedang, Jawa Barat. Longsor menimbun rumah dan warga, 40 orang meninggal, 25 luka-luka dan lebih 1.000 warga mengungsi.
“Situasi di Desa Cihanjuang perlu terus diwaspadai karena Badan Geologi masih ada retakan di beberapa titik longsor,” kata Deden Ridwansyah, Kepala Kantor SAR Bandung.
Penanganan darurat masih dilakukan karena status tanggap darurat 9-29 Januari 2021.
Di Kalimantan Selatan, banjir pertengahan bulan ini, data BNPB sampai 20 Januari, dampak banjir merenggut 21 jiwa, dengan 403.405 orang terdampak. Ada sekitar 79.636 rumah rusak atau terendam banjir. Pemerintah Kalsel telah menetapkan status bencana tanggap darurat banjir 14-27 Januari 2021.
Menurut analisa Lapan, genangan tertinggi di Kabupaten Barito Kuala sekitar 60.000 hektar, Banjar 40.000 hektar, dan Tanah Laut 29.000 hektar. Kemudian, Hulu Sungai Tengah 12.000 hektar, Hulu Sungai Selatan 11.000 hektar, Tapin 11.000 hektar dan Tabalong 10.000 hektar.
Di Kota Manado, 10 kecamatan terdampak tanah longsor setelah hujan deras pada Sabtu, 16 Januari.
Di Lumajang, Jawa Timur, juga terjadi awan panas guguran Gunung Api Semeru pada 16 Januari sore. Awan panas dengan jarak luncur empat km disertai guguran lava dengan jarak luncur 500-1.000 meter dari Kawah Jinggring Seleko ke arah Besok Kobokan.
Berdasarkan hasil rekaman gempa Kementerian Emergi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) tercatat amplitude maksimum 22 milimeter dan durasi 4.278 detik.
BNPB merekomendasikan tak ada aktivitas penduduk atau wisatawan dalam radius satu km dari kawah atau puncak Semeru dan jarak empat km arah bukaan kawah di sektor selatan tenggara.
Di Yogyakarta, dan Jawa Tengah, status Merapi masih berada pasa level III, siaga. BPBD setempat, kata Jati, sudah evakuasi warga dan hewan ternak. Penambangan di alur sungai-sungai yang berhulu di Merapi juga agar setop.
Tidak boleh juga ada kegiatan wisata dan pendakian. Pemerintah Sleman, Magelang, Boyolali, dan Klaten BNPB minta menyiapkan mitigasi bencana Merapi.
“Jika terjadi perubahan aktivitas Merapi yang signifikan, status aktivitas segera ditinjau kembali, “ kata Jati.
Hutan hilang, bencana ekologis datang
Saat mengunjungi Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, pada 18 Januari lalu, Presiden Joko Widodo mengatakan, curah hujan selama 10 hari dan luapan Sungai Barito menjadi penyebab banjir.
Menurut Edo Rakhman, Koordinator Kampanye Walhi Nasional, curah hujan tak bisa jadi satu-satunya penyebab banjir dan longsor.
“Ada faktor lain yang mempengaruhi yang menyebabkan daya rusak luar biasa. Daya dukung ekosistem hutan menurun, kawasan penyangga makin berkurang, jadi faktor inilah yang menyebabkan banjir, longsor dan menimbulkan banyak korban,” katanya.
Idealnya, kata Edo, secara hidrologis hujan harus terserap ekosistem hutan agar tak semua mengalir ke laut. Seperti pengakuai KLHK, luasan kawasan hutan makin menurun.
Baca Juga: Wilayah Dasar Laut Indonesia Bertambah Luas
Tak heran tren banjir dan longsor makin naik tahun ke tahun.
Tutupan hutan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito, misal, turun 62,8%. “Artinya, data ini menganulir pernyataan bahwa curah hujan jadi penyebab banjir Kalsel.”
Kalau melihat lebih jauh, kata Edo, ada keterkaitan antara banjir, longsor, curah hujan tinggi dan krisis iklim yang notabene karena ulah manusia termasuk di Indonesia.
Untuk itu, katanya, pemerintah harus serius membangun mitigasi bencana dengan program dan kebijakan yang memasukkan adaptasi dan mitigasi dalam kebijakan setiap provinsi, terutama yang rawan bencana.
Senada Solidaritas Perempuan. Arieska Kurniawaty, Koordinator Program Sekretariat Nasional Solidaritas Perempuan mengatakan, pemerintah harus melihat akar masalah bencana ekologis ini.
“Hendaknya pemerintah melihat akar permasalahan bencana yakni kerusakan ekologis dan mengatasi penyebabnya,” kata Arieska.
SP tak sepakat pernyataan presiden soal banjir di Kalsel hanya karena curah hujan tinggi, dengan menafikan kerusakan alam dampak industri ekstraktif seperti pertambangan dan perkebunan skala besar seperti sawit.
Seperti Lapan sebutkan, katanya, hutan dan sawah makin menyempit di Kalimantan sementara perkebunan naik signifikan, Arieska bilang, kawasan hutan mesti bisa membantu mencegah erosi dan banjir.
Hutan yang beralih fungsi menjadi sawit dan pertambangan, katanya, mereduksi daya tampung dan daya dukung lingkungan hidup yang jadi akar penyebab bencana.
Selain itu, pembangunan infrastruktur masif juga memperparah kerusakan.
“Situasi ini terjadi hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Krisis iklim yang tak kunjung ditangani dengan serius juga berkontribusi signifikan terhadap tingginya frekuensi bencana di berbagai wilayah,” katanya.
Solidaritas Perempuan mendesak pemerintah menghentikan seluruh aktvitas investasi dan industri yang menyebabkan bencana ekologis yang berdampak pada masyarakat.
“Pemerintah harus memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dalam pembangunan infrastruktur dan mengkonsultasikan dengan masyarakat terutama perempuan.”
Sesuai Peraturan Kepala BNPB No 13 /2014 tentang pengarusutamaan gender dalam penanggulangan bencana, harus ada penyediaan data terpilah gender. Tujuannya, agar penanganan terhadap perempuan dalam situasi bencana dapat tepat dan menyasar kebutuhan spesifik mereka.
“Pemerintah juga harus melibatkan perempuan dalam mitigasi dan adaptasi termasuk dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebencanaan,” katanya.
SP juga mendesak, negara sensitif dan responsif gender dalam penanggulangan bencana di sejumlah wilayah di Indonesia.
Pada situasi bencana, kata Arieska, perempuan kelompok yang perlu mendapat perhatian khusus karena kondisi biologis berbeda, seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui.
Perempuan juga masih harus melakukan pekerjaan domestik yang kadang beban itu melekat pada mereka seperti merawat anak, menyediakan makanan, mencuci dan lain-lain.
Perempuan dalam kawasan bencana, katanya, juga rentan jadi korban kekerasan baik karena pandangan yang merendahkan maupun kemiskinan dampak bencana kerap mengorbankan mereka.
Catatan Solidaritas Perempuan dalam penanganan gempa, tsunami dan likuifaksi di Sulawesi Tengah 2018, perempuan dalam situasi darurat bencana mengalami kekerasan seksual, kekerasan rumah tangga. Kondisi ini menimbulkan kemiskinan yang menjerumsukan perempuan dalam pernikahan dini, termakan bujuk rayu calo untuk jadi pekerja migran bahkan jadi pekerja seks maupun korban perdagangan manusia.
“Adaptasi dengan situasi bencana jadi lebih berat bagi perempuan.”
Penanganan bencana, katanya, perlu memperhatikan kebutuhan spesifik perempuan seperti ketersediaan air bersih, kamar mandi terpisah, penampunan sementara yang aman bagi perempuan dari tindak kekerasan seksual.
Pelayanan trauma bagi bagi perempuan juga penting karena mereka kerap mengenyampingkan trauma untuk memastikan kondisi keluarga dan komunitasnya.
Sumber: Mongabay.co.id
0 Komentar