Pelepasan tukik diharapkan menambah populasi penyu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia |
Pantai di Provinsi Aceh yang panjangnya 2.666,27 kilometer, merupakan tempat menyenangkan bagi penyu untuk bertelur. Umumnya, jenis yang sering terlihat bertelur adalah penyu lekang dan penyu belimbing.
Namun, hadirnya penyu di pantai dinantikan juga oleh sekelompok masyarakat yang hendak memburu telurnya. Pemerintah melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi menetapkan penyu sisik, penyu hijau, penyu lekang, penyu tempayan, dan penyu pipih sebagai jenis dilindungi.
Provinsi Aceh yang memiliki garis pantai sepanjang 2.666,27 kilometer, merupakan tempat ideal bagi berbagai jenis penyu untuk bertelur. Umumnya, yang sering terpantau adalah penyu lekang dan penyu belimbing.
Namun, hadirnya penyu di pantai ternyata dinantikan juga oleh sekelompok masyarakat yang hendak memburu telurnya. M. Jamil [60], masyarakat di Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, mengatakan, umumnya penyu bertelur sekitar Oktober hingga Januari. Penyu menuju pantai malam hari, saat air pasang atau surut.
“Penyu menyukai pantai tidak bertebing, pasirnya mudah digali, dan tidak banyak sampah,” ujarnya, Minggu [29/11/2020].
Jamil menuturkan, telur penyu yang diburu itu biasanya selain dikonsumsi sendiri maka dijual juga ke orang lain, termasuk rumah makan.
“Telur penyu belimbing, harganya bisa mencapai Rp5.000 per butir, sementara telur penyu lekang lebih murah karena ukurannya lebih kecil.”
Baca Juga: Mengetahui Perubahan Iklim Melalui Capung Jarum
Arifin, masyarakat Aceh Besar lainnya mengungkapkan, ada kebiasaan di masyarakat, siapapun yang ada di lokasi saat penyu bertelur, maka telurnya harus dibagi rata.
“Kadang, dalam satu sarang ada seratus butir telur. Setiap penyu, biasanya bisa tiga kali bertelur, namun jumlahnya akan terus berkurang. Misal, saat bertelur pertama, bisa mencapai 120 butir, yang ke dua sekitar 90 butir, sementara ke tiga jumlahnya 60 butir. Biasanya, penyu akan kembali bertelur setelah selang satu minggu.”
Arifin mengetahui bila pemerintah telah memasukkan penyu sebagai satwa dilindungi. Artinya, telurnya pun tidak boleh diambil atau diburu.
“Kan tidak semua sarang diambil oleh masyarakat, ada tempat-tempat yang tidak ditemukan, dan bisa menetas,” ujarnya.
Baca Juga: Ancaman Untuk Satwa Liar di Hutan Leuser Belum Berakhir
Penyu ini hendak bertelur di pantai wilayah Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
Pantai tempat bertelur
Dosen Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Widya Sari menjelaskan, pantai di Provinsi Aceh merupakan surga bagi penyu bertelur.
“Berdasarkan informasi, semua pantai di daerah paling barat Indonesia ini merupakan sarang penyu, khususnya penyu lekang dan belimbing,” tutur Widya yang fokus pada penelitian penyu di Aceh, Senin [30/11/2020].
Masalahnya, perburuan telur juga tinggi, hal ini menyebabkan penyu kesulitan berkembang biak. “Bahkan masyarakat yang terlibat dalam penyelamatan telur penyu harus berhadapan dengan masyarakat yang mengambil telur untuk dikonsumsi dan dijual.”
Memang, kata Widya, masyarakat Aceh sebelumnya mengkonsumsi telur penyu. Tapi, setiap sarang disisakan agar penyu tetap bisa bertambah.
“Setiap sarang ada 10 hingga 20 butir bahkan lebih, agar telur itu menetas dan penyu tidak punah. Namun, setelah tsunami melanda Aceh, kearifan lokal ini berubah, sudah tidak ada telur yang disisakan saat sarang ditemukan.”
Inilah telur-telur penyu yang masih diburu masyarakat di Aceh, untuk dikonsumsi dan dijual. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia |
Salah satu penyebab perburuan telur penyu masih tinggi di Aceh karena penegakan hukum belum maksimal dan dan kesadaran masyarakat masih rendah. Selain itu, perkembangbiakan penyu juga terganggu karena abrasi pantai dan pembangunan infrastruktur yang tidak memperhatikan habitat penyu.
“Abrasi pantai menyebabkan penyu tidak bisa menggali sarang untuk bertelur. Hal yang sama terjadi, saat dibangun tanggul pemecah ombak yang menghilangkan pantai, karena pantai hilang, penyu tidak memiliki tempat bertelur,” ucap Widya.
Anakan penyu yang siap dilepaskan ke laut. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia |
Kepala Balai Konservasi Sumber Alam [BKSDA] Aceh, Agus Irianto mengatakan, meskipun telur penyu berada di luar wilayah konservasi, namun tetap tidak boleh diambil, kecuali untuk kepentingan konservasi atau penyelamatan.
“Ingat, yang dilindungi bukan hanya penyu, tapi juga bagian-bagiannya termasuk telur.”
Agus mengatakan, untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat, dibutuhkan kerja sama berbagai pihak. Tujuannya, agar tidak adalagi perburuan telur untuk dikonsumsi atau diperjualbelikan.
“Kami bersama lembaga mitra terus berusaha mendekati masyarakat, hingga membentuk kelompok yang bisa menjaga telur agar tidak diambil. Tapi, ini butuh waktu.”
Sebenarnya, jika alasan kepentingan ekonomi, telur penyu yang ditetaskan juga bisa mendatangkan pendapatan untuk masyarakat.
“Seperti setelah telur menetas, di tempat-tempat wisata, anak penyu bisa dilepaskan oleh pengunjung dan setiap pengunjung diminta juga untuk membantu kelompok masyarakat yang bekerja menyelamatkan penyu,” ujarnya.
Penyu ini terpantau malam hari di pantai di Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia |
Indonesia merupakan rumah enam jenis penyu dari tujuh spesies yang ada di dunia. Mulai penyu sisik [Eretmochels imbricata], penyu hijau [Shelonia mydas], penyu lekang [Lepidochelys olivacea], penyu pipih [Natator depressus], penyu tempayan [Caretta caretta], dan penyu belimbing [Dermochelys coriacea].
Pemerintah melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi menetapkan penyu sisik, penyu hijau, penyu lekang, penyu tempayan, dan penyu pipih sebagai jenis dilindungi.
Sumber: Mongabay
0 Komentar