Foto julang sulawesi yang menjadi juara Kategori Jurnalis. Foto: Basrul Idrus |
Untuk mendokumentasikan satwa liar di alam, butuh kesabaran, perencanaan matang dan kekuatan fisik beserta mental yang kuat. Informasi yang akurat harus dikumpulkan sebelum melakukan perjalanan untuk memotret satwa di alam liar.
Memotret satwa liar juga harus memperhatikan etika, dengan tidak menggaggu bahkan menyakiti satwa tersebut. Patut diperhatikan, memotret satwa liar tidak bisa dilakukan sembarangan. Termasuk publikasi, harus dengan pertimbangan matang. Jangan sampai karya untuk kampanye penyelamatan tersebut dijadikan referensi pemburu gelap untuk memburu satwa liar.
Mendokumentasikan kehidupan satwa liar dalam foto, bukan perkara mudah. Butuh kesabaran, perencanaan matang, dan tentunya harus dibarengi kekuatan fisik dan mental yang kuat.
Empat fotografer yang terpilih sebagai Pemenang Kompetisi Fotografi Hari Konservasi Kehidupan Liar 2020, yang dilaksanakan Yayasan KEHATI bersama Mongabay Indonesia, menceritakan susah senangnya mereka memotret satwa liar di habitat alaminya. Obrolan ringan tersebut terekam dalam acara Bincang Alam Mongabay Indonesia, Jumat [11/12/2020].
Foto rangkong badak yang menjadi juara Kategori Umum. Foto: Bonfilio Yosafat Budi Hartono |
Bonfilio Yosafat Budi Hartono, juara Kategori Umum dengan foto rangkong badak [Buceros rhinoceros] mengatakan, selain mendokumentasikan satwa liar, dia juga sering mengambil gambar kehidupan masyarakat yang hidup di pinggir hutan, atau masyarakat adat.
Baca Juga: Mengenal Ekidna, Mamalia Keramat Asal Papua
“Foto rangkong badak ini saya dokumentasikan di Pulau Kalimantan. Saya sangat beruntung, bisa mendapatkannya dengan bagus,” sebut pria yang kerap disapa Bonbon.
Belum lagi, tambah dia, lokasi pemotretan yang cukup jauh sehingga membutuhkan perencanaan. Harus banyak informasi yang dikumpulkan sebelum berangkat ke tujuan.
Basrul Idrus, juara Kategori Jurnalis, yang berkerja sebagai jurnalis di Sulawesi Tengah dengan gambar julang sulawesi atau burung alo [Rhyticeros cassidix], mengatakan, tantangan utama memotret kehidupan satwa liar adalah peralatan yang cukup menguras kantong.
“Cuaca juga harus menjadi perhatian, karena jika tidak diperhitungkan maka agenda pemotretan akan kacau,” tuturnya.
Foto elang terbang di daerah Paralayang, juara Favorit Kategori Umum. Foto: Khaleb Yordan |
Juara Favorit Kategori Umum, Khaleb Yordan berhasil mengambil gambar elang saat terbang di Paralayang. Dia mengatakan, mendokumentasikan satwa liar, khususnya burung juga sangat sulit. Salah satunya adalah fotografer harus selalu siap karena burung bisa terbang tanpa bisa diprediksi.
“Jika telah terbang, kemungkinan untuk ditemukan kembali sangat sulit,” ujarnya.
Biasanya, tambah Khaleb, untuk memancing agar burung bisa diambil gambar, digunakan bunyi-bunyian. Namun, tidak bisa dipakai sembarangan, karena dapat mengganggu burung.
“Itu ada etikanya. Menghidupkan suara atau bunyi-bunyian tidak bisa dilakukan terus menerus. Ketika burung tengah bersarang, tentunya sangat mengganggu atau bisa saja akibat suara tersebut sang burung akan diserang predator lain,” ujarnya.
Baca Juga: Anggrek Jadi Bunga Populer Kala Pandemi
Baiknya, bunyi-bunyian disingkirkan karena menganggu dan mengancam. “Alangkah indahnya bila kita hendak motret, cari saja burung di tempat dia makan atau lainnya,” katanya.
Foto siamang yang menjadi juara Favorit Kategori Jurnalis. Foto: Damai Oktafianus |
Juara Favorit Kategori Jurnalis, Damai Oktafianus yang berasal dari Sumatera Utara dengan foto siamang mengatakan, memotret satwa liar juga butuh keberuntungan. Bisa saja dicari berhari, tapi satwa itu tidak ditemukan. Atau, saat sedang tidak dicari justru terlihat dengan sendirinya.
“Jadi kesabaran untuk terus mencari sangat menentukan.”
Namun, sambung Damai, yang harus diperhatikan bersama adalah di beberapa tempat, karena banyak wisatawan yang datang, sejumlah orang memanfaatkan kondisi itu untuk mengambil keuntungan, dengan memanggil satwa tersebut. Termasuk dengan memberi makan atau memancing dengan suara-suara tertentu.
“Hal ini sangat berpengaruh terharap pola hidup satwa liar itu. Seperti yang terjadi di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus [KHDTK] Aek Nauli, berlokasi di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara. Untuk menyenangkan pengunjung, pawang memanggil siamang dengan memberi makan atau membunyikan suara agar siamang turun dan bisa dilihat pengunjung sekaligus dipotret,” ujarnya.
Damai juga menyebutkan, untuk melakukan pengambilan gambar di alam atau hutan, persiapan cukup matang adalah hal sangat penting.
“Masuk hutan tidak bisa dilakukan sembarangan. Tanpa informasi yang lengkap, bisa mencelakai diri sendiri atau mengganggu satwa,” sambungnya.
Patut diperhatikan, memotret satwa liar tidak bisa dilakukan sembarangan. Termasuk publikasi, harus dengan pertimbangan matang karena bisa berdampak serius pada keberadaan satwa liar dilindungi di habitat alaminya.
Saat ini, pemburu juga memanfaatkan media termasuk media sosial, untuk mencari lokasi satwa liar yang dilindungi dan terancam punah. Jika lokasinya dijelaskan detil di keterangan foto, maka bisa mengundang pemburu untuk menangkap, bahkan membunuh satwa tersebut.
“Fotografi bisa menjadi alat untuk mengkampanyekan penyelamatan satwa liar terancam punah. Tapi juga sebaliknya, dapat menjadi bahan referensi pemburu,” ujarnya.
Sumber: Mongabay/Junaidi Hanafiah
0 Komentar