Tenun Ikat Sintang, Kain Khas Kalimantan Yang Hanya Boleh Dikerjakan Oleh Perempuan

Perempuan sedang melakukan salah satu proses membuat tenun ikat Sintang. Foto: GNFI

Indonesia memiliki beragam budaya yang hingga saat ini masih harus dilestarikan. Salah satunya pembuatan kain tenun. Pembuatan kain tenun tersebar di beberapa daerah di Indonesia, dan di setiapnya memiliki karakter berbeda-beda dan unik.

Salah satu provinsi di Indonesia, yakni Kalimantan Barat terdapat sebuah Desa di Ensaid Panjang, Kecamatan Kelam Permai, Kabupaten Sintang yang hingga saat ini masih mempertahankan tradisi turun-temurun, tinggal di rumah besar atau rumah betang. Berlatar belakang Gunung Rentap rumah Betang Ensaid Panjang berdiri kokoh. Arsitekturnya sederhana, coraknya menampilkan nuansa alam. Hampir semua bahan bangunannya berasal dari kayu yang tersedia di alamnya.

Rumah betang yang ditempati oleh 100 orang dari 22 keluarga itu berukuran 118 meter x 17 meter. Rumah panggung itu memiliki tinggi sekitar 12 meter, dengan jarak lantai kayu dari tanah sekitar dua meter. Sebagian besar masyarakat Ensaid Panjang bekerja sebagai penyadap atau penoreh karet yang milik sendiri atau bekerja sebagai pekerja pada kebun karet milik orang lain dengan sistem bagi hasil.

Pekerjaan sebagai penyadap karet ini telah dilakukan secara turun temurun yang dilakukan pada pagi hari, sedangkan untuk mengisi waktu kosong lainnya masyarakat Ensaid Panjang melakukan pekerjaan tambahan yang dapat menghasilkan uang untuk menyambung kehidupan dan menyekolahkan anak-anak.

Selain pekerjaan sebagai petani yang mengerjakan lahan di ladang maka pekerjaan tambahan yang dilakukan oleh masyarakat Ensaid menjadi buruh bangunan, buruh di perusahaan sawit, memahat, dan menenun bagi ibu-ibu. Kabupaten Sintang berjarak sekitar 320 km dari Kota Pontianak, ibu kota Kalimantan Barat. Pontianak ke Sintang bisa ditempuh dalam waktu delapan hingga 10 jam. Ada bus dan travel yang melayani rute ini.

Cuma boleh dikerjakan oleh perempuan

Menenun adalah proses pembuatan barang-barang tenun (kain) dari persilangan dua set benang dengan cara memasuk-masukkan benang pakan secara melintang pada benang-benang lungsin (benang lusi). Bagi para perempuan pengerajin tenun ikat yang ikut terlibat di dalamnya dan pandangan mitologi warga setempat bahwa adanya larangan dan pantangan yang tidak boleh dilakukan, yakni kaum laki-laki tidak boleh menenun.

Tenun Ikat Sintang harus dikerjakan dengan teliti. Foto: GNFI

Mitos yang dipercayai warga setempat yakni, laki-laki yang menenun akan mengalami kemandulan dan juga akan mengalami sakit di seluruh bagian badan. Oleh karena itu dalam mengerjakan tenun ikat dari awal hingga proses akhir, hanya dapat dilakukan oleh perempuan saja untuk pengerjaannya. Di sisi lain juga pekerjaan wanita sangat bagus, rapi dan sangat teliti untuk mengerjakan tiap helai benang yang ditenun.

Argumen tentang kemandulan yang dialami oleh kaum laki-laki inilah yang sampai saat ini masih dipercaya oleh masyarakat suku Dayak Desa di rumah betang Ensaid Panjang sebagai salah satu hukuman leluhur yang akan benar-benar terjadi dan ini merupakan hanya suatu pandangan mitologi penduduk setempat.

Pekerjaan sebagai penenun ini dilakukan oleh kurang lebih sekitar 40 orang wanita yang berusia 9-80 tahun di Rumah Betang Ensaid Panjang. Pekerjaan ini dilakukan karena harga kain tenun untuk saat ini masih sangat menjanjikan, karena harga penjualan kain tenun untuk ukuran kecil seperti syal dihargai Rp 50.000 dan kain panjang dibanderol Rp 300.000 – 600.000 bahkan jutaan rupiah. Proses pengerjaan kain tenun untuk kain yang berukuran besar akan memakan waktu sekitar 1-2 bulan bahkan bisa sampai 4 bulan.

Sumber: GNFI/Ainun Jamilah

Posting Komentar

0 Komentar