Capung Jarum atau damselfly. Foto: Mongabay Indonesia |
Dua peneliti muda SMA Negeri 3 Denpasar meneliti keragaman Capung Jarum di kawasan persawahan Kota Denpasar, Bali. Mereka meyakini, capung adalah bioindikator atau bisa memprediksi kualitas lingkungan sekitarnya.
Ni Putu Diva Iswarani (17) dan Ni Made Yani Savitri Devi (17) mengajukan judul Identifikasi Keragaman Morfologi dan Keragaman Sekuens Genetik Capung Jarum (Zygoptera) di Areal Persawahan Kota Denpasar dalam Kompetisi Penelitian Siswa Indonesia 2020 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Penelitian keragaman Capung Jarum (Zygoptera) ini dilakukan di tiga titik kawasan persawahan, yaitu Kecamatan Denpasar Timur, Denpasar Utara, dan Denpasar Selatan.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui keragaman morfologis Capung Jarum yang berada di kawasan persawahan kota Denpasar. Berikutnya, untuk mengetahui keragaman sekuens genetik Capung Jarum. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode observasi dan metode sequencing.
Metode observasi dilakukan untuk mengidentifikasi secara morfologi Capung Jarum dan metode sequencing dilakukan untuk mengidentifikasi genetik Capung Jarum. Observasi dilakukan selama 2 bulan di masa pandemi COVID-19 ini.
Hasil penelitian ini adalah dari sembilan sampel Capung Jarum yang diambil, terdapat 5 keragaman morfologis yang ditemukan di daerah Denpasar Timur, Denpasar Selatan, dan Denpasar Utara.
Pada daerah Denpasar Timur ditemukan dua keragaman morfologi Capung Jarum dengan dua ekor spesies Ischnura senegalensis jantan, dan satu ekor spesies Pseudagrion rubrichebs jantan. Pada daerah Denpasar selatan ditemukan dua keragaman morfologi Capung Jarum dengan dua ekor spesies Ischnura senegalensis jantan dan satu ekor spesies Ischnura senegalensis betina.
Sementara di Denpasar utara ditemukan dua keragaman morfologis Capung Jarum dengan satu ekor spesies Agriocnemis femina jantan dan dua ekor spesies Agriocnemis femina betina.
Keragaman sekuens genetik Capung Jarum yang berada di kawasan persawahan kota Denpasar belum dapat disimpulkan karena belum dilakukan uji sekuens genetik dengan pertimbangan sampel telah dapat diidentifikasi secara morfologis. Kedua, kondisi pandemic COVID-19 menyulitkan proses pengujian sekuens genetik.
Kesimpulannya, keragaman jenis dimungkinkan karena perbedaan habitat. Di kondisi perairan baik atau lebih bersih, ditemukan lebih banyak spesies. Misalnya pada lahan sawah sedikit air menggenang dan irigasi. Mereka hidup di tanaman padi.
Sementara di lingkungan sawah kering, dengan kemungkinan pencemaran limbah terutama di Denpasar selatan, keragamannya lebih sedikit. “Capung tak akan hidup di sungai tanpa tumbuhan dan tercemar limbah,” jelas Devi, salah satu peneliti.
Penelitian sederhana ini bermula dari melihat capung di rumahnya yang hanya nampak sedikit dan kurang beragam. “Kami main di jogging track sawah, penasaran berapa banyak jenis capung di Denpasar,” lanjutnya.
Dari penelitian ini, ia mengaku muncul kesadaran baru. “Berubah banget, ternyata tahu manfaat lain capung. Bisa jadi bioindikator bersih atau kotor. Lebih menghargai lingkungan,” imbuh anggota kelompok jurnalistik SMAN 3 Denpasar Madyapadma ini.
Ia sendiri jarang melihat capung jarum, selama penelitian ini baru bisa fokus Denpasar karena pandemi agar tak terlalu jauh dari rumahnya yang dekat persawahan.
Kajian Ilmiah
Sejumlah petani yang ditemui di persawahan juga meyakini capung sebagai pertanda kualitas air di saluran irigasi subaknya. Misalnya di kawasan subak di kaki Gunung Batukaru, Tabanan, masih mudah ditemukan capung jarum di saluran air.
Dikutip dari sebuah liputan mendalam berjudul the last dragon fly
Buku Naga Terbang Wendit (2013) menyebut capung merupakan serangga terbang pertama di dunia. Dia muncul sejak zaman karbon atau antara 360 – 290 juta tahun lalu. Capung merupakan serangga akuatik. Hidupnya bergantung pada kualitas air.
Setiap capung mengalami tiga fase utama dalam hidup yaitu telur, nimfa, dan capung dewasa. Istilahnya, metamorfosis tidak sempurna. Dalam keseluruhan fase tersebut, dua fase di antaranya mengharuskan mereka hidup di dalam air yaitu ketika menjadi telur dan nimfa.
Seekor nimfa bisa hidup di air dalam kurun waktu berbeda-beda. Ada yang hidup beberapa bulan. Ada pula yang hidup empat sampai lima tahun di air. Namun, umur capung dewasa rata-rata hanya sampai empat bulan. Karena daur hidupnya bergantung air, maka capung selalu tinggal di dekat perairan atau sumber air.
Di beberapa komunitas, capung menjadi penanda ada tidaknya air. Laode Maniala dalam tulisan Capung dalam Masyarakat Sulawesi Tenggara (2011) menuliskan bahwa capung bisa menjadi sumber air dan kesuburan tanah.
Capung juga bisa menjadi pertanda cuaca. Jika banyak capung beterbangan, maka pertanda akan segera turun hujan.
Sebagian besar capung hanya akan tinggal di lingkungan bersih. Karena itu mereka pun bisa menjadi indikator kualitas air. Jika air sudah tercemar bahan beracun, capung tidak akan ada di sana. Ketika kondisi perairan tercemar, maka siklus hidup capung terganggu. Populasinya pun akan menurun. Begitu pula jika air sudah mengalami perubahan suhu atau kualitasnya.
Tak hanya menjadi penanda gejala alam, capung juga disebut memiliki nilai budaya bagi beberapa kelompok masyarakat. Di Jawa Timur, misalnya, capung bisa menjadi obat bagi anak-anak yang masih suka ngompol. Diyakini si anak akan berhenti mengompol jika capung menggigit pusarnya.
Demikian juga di Bali, anak kecil yang sering kencing atau istilah lokalnya anyang-anyangan, juga dicarikan capung untuk gigit pusar. Namun saat ini sangat sulit ditemui lagi kebiasaan masa lalu ini.
Artikel itu menyatakan tradisi pengobatan dengan capung itu tetap menunjukkan bahwa capung adalah sesuatu yang akrab bagi sebagian budaya di Indonesia. Saat ini, ada sekitar 6.000 jenis capung di seluruh dunia. Indonesia memiliki sekitar 750 jenis atau 12,5 persen dari total jenis capung di seluruh dunia.
Data lain menyebut, jumlah spesies capung di Indonesia mencapai 900 jenis, atau sekitar 15 persen dari 5.680 jenis capung dunia. Jenis capung Indonesia hanya kalah oleh Brazil. Di komunitas-komunitas lokal, serangga ini disebut sesuai bahasa lokal masing-masing, seperti ginjeng, kinjeng, dan lain-lain.
Tak hanya di Indonesia, kedekatan capung dengan tradisi itu juga terjadi di Jepang. Akitsushima, salah satu nama tua Jepang, berarti Dragonfly Island. Hal ini karena bentuk Negara Jepang sekilas menyerupai bentuk capung. Di negara ini, capung pernah pula menjadi penunjuk sisa-sisa kehidupan setelah bom atom meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki.
Karena kedekatannya dengan air, maka capung juga bisa menjadi penanda kualitas lingkungan termasuk perubahan iklim. Keduanya sudah jelas sangat berhubungan. Sayangnya, sekali lagi sejauh yang bisa saya kumpulkan, belum ada riset tentang topik tersebut di Indonesia.
Riset tentang dampak perubahan iklim terhadap capung di dunia pun masih sangat terbatas. Salah satunya Jurnal BioRisk 5 edisi khusus pada 2010 yang membahas topik tersebut. Jurnal ini menyampaikan laporan peneliti Eropa, Afrika, dan Amerika tentang bagaimana dampak perubahan iklim di beberapa negara.
Kesimpulan para peneliti tersebut: capung memang bisa menjadi indikator dampak perubahan iklim. Jeffrey A. McNeely dalam pengantar jurnal menyatakan, capung bisa menjadi alat untuk memantau perubahan iklim dengan relatif mudah karena beberapa alasan.
Capung mudah diidentifikasi, mereka sangat sensitif terhadap perubahan termasuk iklim, tiap spesies memiliki distribusi berbeda-beda, dan mereka berkembang biak relatif cepat.
Josef Settele dalam jurnal yang sama menyatakan perubahan iklim termasuk salah satu dari empat penyebab utama berkurangnya keragaman capung. Tiga penyebab lain adalah penggunaan bahan kimia, invasi biologis, dan hilangnya penyerbuk. Hanya penyebab terakhir yang bukan sebagai penyebab langsung.
Sumber: Mongabay/Luh De Suryani
0 Komentar