Sekilas, Ekidna mirip dengan landak. Foto: Pixabay.com |
Sekilas hewan ini seperti landak dengan tubuh berduri mirip landak dengan moncong yang lebih panjang dibandingkan landak. Kalau sedang merasa terancam, justru hewan ini lebih mirip trenggiling karena cara berlindungnya yang menggelungkan tubuhnya hingga membentuk mirip bola. Duri-duri yang berada di tubuhknya akan berdiri tegak untuk melindungi diri dari para pemangsa.
Nama hewan ini adalah ekidna (atau echidna dalam ejaan bahasa Inggris). Keunikan yang selalu menjadi pusat perhatian pada ekidna adalah dia termasuk mamalia yang berkembang biak dengan cara bertelur, atau biasa yang disebut monotremata. Bahkan sebagai mamalia, dia tidak punya puting susu layaknya mamalia pada umumnya.
Ekidna betina akan menelurkan sebutir telur berbulu dengan cangkang yang lunak. Tidak seperti mamalia lainnya, ekidna betina justru akan mengerami telurnya sendiri di dalam kantung tubuhnya. Hanya butuh waktu sepuluh hari hingga akhirnya bayi ekidna keluar dari telur.
Karena induk ekidna tidak memiliki puting susu, bayi ekidna akan menghisap susu dari pori-pori kelenjar susu dan akan tetap tinggal di dalam kantung induknya selama 45-55 hari.
Terkesan aneh dan unik, ekidna memang salah satu hewan endemik Papua yang tidak terlalu banyak diketahui. Bahkan keberadaannya sering dikatakan misterius karena sudah jarang terlihat.
Diketahui, terdapat empat spesies ekidna di dunia yang sudah teridentifikasi dan masih hidup hingga sekarang. Sebarannya ada di Papua, Papua Nugini, dan Australia. Keempat spesies itu adalah satu spesies ekidna moncong pendek dari genus Tachyglossus dan tiga spesies ekidna moncong panjang dari gedus Zaglossus.
Sedangkan spesies yang menjadi hewan endemik di Papua adalah spesies ekidna moncong panjang barat dengan nama Zaglossus bruijni. Lebih tepatnya, ekidna jenis ini terlihat di Semenanjung Vogelkop, Provinsi Papua Barat, atau di ujung barat Pulau New Guinea. Bisa ditemui pula di Pulau Batanta dan Waigeo, serta di Cagar Alam Pegunungan Cyclops, Jayapura. Beberapa di antaranya diketahui dan ditemukan juga di Taman Nasional Lorentz Acha Anis Sokoy, Wamena, Jayawijaya.
Setelah diteliti, diduga ekidna merupakan hasil evolusi dari leluhur mamalia bertelur (monotremata) selama periode Paleogen yaitu sekitar 65,5 hingga 23 juta tahun yang lalu.
Baca Juga: Mengetahui Perubahan Iklim Melalui Japung Jarum
Untuk diketahui monotremata sendiri merupakan klan mamalia purba yang saat ini masih hidup di bumi. Dan ekidna moncong panjang barat merupakan jenis monotremata terbesar di dunia ketimbang monotremata lainnya yang ada di bumi, yaitu ekidna spesies berparuh pendek dan platipus berparuh pendek.
Secara morfologi, ekidna dewasa memiliki panjang tubuh antara 30-55 cm dengan panjang ekor antara 7-9 cm dan berat tubuh antara 3-6 kg. Hewan endemik Papua ini merupakan hewan nokturnal (aktif pada malam hari) dan memiliki sifat hidup menyendiri atau soliter.
Ekidna memiliki lengan yang kuat dan pendek yang dilengkapi dengan lima buah cakar tajam di setiap lengannya. Ini berfungsi untuk menggali tanah untuk menemukan hewan seperti rayap, serangga, cacing tanah, dan semut sebagai makanannya.
Lembaga International Union for Conservation of Nature (IUCN), sebenarnya sudah memasukkan hewan ini ke dalam spesies yang terancam punah. Namun, Indonesia sendiri belum mengkategorikan ekidna sebagai hewan terancam punah. Salah satu alasannya, penelitian dan perlindungan sulit dilakukan karena ekidna sangat jarang ditemukan. Butuh usaha lebih untuk bisa menemukan makhluk yang kerap disebut landak semut ini.
Salah seorang peneliti dari Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manokwari, Freddy Jontara Hutapea, pernah memberikan informasi seputar ekidna dalam buletin Tritonis tahun 2018 lalu.
Dari pemaparannya, hewan ekidna sebenarnya cukup dekat dengan masyarakat Papua hingga akhirnya efek bumerang itu terjadi, yaitu mengakibatkan ekidna terancam punah. Freddy menjelaskan, bahwa ekidna moncong panjang khas Papua ini pernah dimanfaatkan sebagai bahan pangan warga lokal Papua. Menurut mereka, daging ekidna sangat lezat.
Baca Juga: Sampah Plastik Ancam Ekosistem Laut Makassar
Berbeda hanya di Dormena, ekidna yang ‘’dimanfaatkan’’ atau disimbolkan sebagai bentuk perdamaian antara dua pihak yang berkonflik. Lalu di Wambena, perburuan ekidna justru dijadikan hukuman. Maksudnya, bagi siapapun yang bersalah, maka salah satu opsi hukumannya adalah dengan mencari dan menemukan ekidna. Padahal ekidna merupakan hewan yang sulit ditangkap.
Bagi warga kampung Ormu Wari, Distrik Raveni Rara, Jayapura, ekidna justru disebut sebagai hewan ‘’keramat’’. Konon, anjing paling jago berburu saja akan takut jika bertemu dengan ekidna. Itulah sebabnya warga lokal setempat menyebutnya dengan hewan keramat yang kedudukannya di hutan dihormati layaknya raja.
Apalagi ekidna kini dipercaya masih hidup di Pegunungan Cyclops, dan ada beberapa tempat yang tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang alias tempat keramat. Di tempat keramat yang ada di kawasan Cyclops itu seseorang dilarang untuk bersuara terlalu keras atau menciptakan suasana yang gaduh.
Di tempat itu pula masyarakat lokal percaya akan aturan untuk tidak berburu dan berkebun. Jika selama ini ekidna masih sulit ditemui dan dipercaya spesiesnya masih hidup, maka mereka percaya bahwa ekidna adalah salah satu makhluk ‘’pilihan’’ yang hidup di tempat sakral yang tidak bisa sembarang orang masuk.
Sumber: GNFI/Dini Nurhadi
0 Komentar