Indonesia memiliki kekayaan alam bawah laut yang luar biasa. Foto: Mongabay Indonesia |
Program Indonesian Coral Reefs Garden (ICRG) atau sering disebut “Taman Laut Indonesia” merupakan suatu program pemerintah untuk mendukung konservasi dan restorasi ekosistem terumbu karang. Tak hanya aspek konservasi, program ini sekaligus diharapkan dapat mendorong pemulihan ekonomi masyarakat akibat pandemi COVID-19 lewat pelibatan masyarakat di lokasi kegiatan.
Sebagai tahap awal, Program ICRG akan melakukan penanaman terumbu seluas sekitar 50 hektar yang akan melibatkan tenaga kerja hingga 11.000 tenaga kerja. Sebagian besar mereka akan direkrut dari masyarakat lokal sekitar proyek.
Program pemerintah ini sebenarnya sudah direncanakan cukup lama oleh [Alm.] Dr. Aryo Hanggono, mantan Dirjen Pengelolaan Ruang Laut (PRL), Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui pendanaan dari Kemenko Kemaritiman dan Investasi.
Berdasarkan hasil survey kelayakan, lokasi akan dilakukan di pesisir pantai Bali, dengan pemilihan metode artificial substrate. Lokasi yang telah disurvei dan direncanakan sebagai coral garden, diantaranya adalah Pantai Pandawa, Buleleng, Nusa Dua, dan Serangan.
Para peneliti yang dilibatkan dalam program ini, diantaranya berasal dari P2O-LIPI (Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI), PURISKAN-KKP (Pusat Riset Perikanan), dan beberapa universitas yang ada di Bali. Dari BPSPL (Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut) tim dipimpin oleh Permana Yudiarso, S.T., M.T beserta staf yang berkantor di Bali untuk memastikan kegiatan tahap awal ini dapat berjalan lancar.
Salah satu patung di spot penyelaman Tulamben, Bali Utara yang menjadi destinasi wisata selam. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia |
Tentang Substrat Buatan
Artificial substrate (substrat buatan) disesuaikan dengan kondisi lingkungan. Apabila kondisi perairan berombak dan berarus kuat, maka substrat buatan yang direkomendasikan adalah model yang kuat dan kokoh menancap ke substrat dasar. Desain bagian kakinya agak runcing sehingga bisa masuk sekitar 50 cm ke dasar perairan.
Meskipun ada ombak dan arus, model substrat buatan ini tahan apalagi ada beban koloni karang dan substrat karang yang ditempatkan pada desain rak besi dan spider. Keunggulan lain, model ini dapat ditempatkan pada dasar perairan yang memiliki kemiringan tertentu. Namun bahan rak meja dan spider ini terbuat dari besi bukannya tidak memiliki kekurangan terkait daya tahannya.
Pengalaman penelitian penulis di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta, bahan ini dapat bertahan hingga 8-10 tahun, setelahnya bagian rak tersebut akan patah dan jatuh kedasar perairan.
Apabila karang sudah tumbuh dan berkembang, maka karang yang jatuh itu sebenarnya dapat menyatu dengan substrat dasar yang alami, sehingga media substrat buatan berupa rak meja tidak dibutuhkan lagi. Hal lain, model ini butuh perawatan intensif agar biota penganggu tidak dapat tumbuh dengan mudah dan menempel pada awal transplantasi, terutama model rak besi yang menggunakan waring.
Namun saat ini teknologi metode rak sudah makin berkembang sehingga dapat meminimalkan dampak penempelan biota penganggu. Terkait metode spider, -hasil diskusi dengan salah seorang pengguna di Bali, pembuatan spider sudah diantisipasi dengan melapisi besi dengan bahan anti karat khusus, sehingga media ini dapat diprediksi akan berdaya tahan lebih lama dibandingkan dengan besi yang hanya dicat biasa.
Selain model rak dan spider, pemilihan model substrat buatan lain yang cocok untuk lokasi perairan yang bersubstrat pasir dan di daerah reef flat yaitu patung, bio-reeflek, bio-rock, fish dome dan roti buaya.
Model ini dapat menciptakan habitat baru bagi karang yang sebelumnya memiliki dasar pasir yang tidak memungkinkan karang bisa menempel di daerah tersebut. Ditambah lagi, model ini memiliki daya tahan yang tak terbatas karena terbuat dari bahan padat seperti semen dengan desain yang kokoh.
Apabila karang yang ditransplantasikan mengalami kematian, maka karang dapat tumbuh kembali dari larva alam karena substratnya tersedia dan cocok sebagai media penempelan.
Untuk tujuan wisata, pemilihan model bio-rock, patung, bioreeflek, fish dome dan roti buaya akan dapat memperindah dasar perairan dengan desain yang menarik yang kedepannya bisa dijadikan destinasi wisata penyelaman. Tentu saja, metode yang dipilih harus disesuaikan dengan daya tahan dan kekokohannya.
Karang polip besar (Cynarina lacrymalis) dimakan oleh ikan kepe-kepe (Chaetodon octofasciatus). Foto: Ofri Johan |
Identifikasi Ikan Pemakan Polip Karang
Pemilihan pelbagai model ini secara tentunya dicocokkan kondisi perairan pada beberapa lokasi yang sudah disurvei oleh tim P2O-LIPI (Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI), PURISKAN (Pusat Riset Perikanan-KKP), PURISKEL (Pusat Riset Kalautan-KKP) dan institusi lainnya yang terlibat.
Disamping itu pemilihan jenis karang untuk tujuan transplantasi harus dicocokan dengan kondisi lingkungan.
Apabila perairannya keruh, berpasir (silt/sand) disarankan agar menghindari penggunaan jenis karang Acropora berupa karang bercabang ataupun karang berbentuk pertumbuhan lainnya seperti CF (Coral Folious). Sebaiknya karang yang digunakan pada perairan seperti ini karang dari kelompok non Acropora.
Pemilihan jenis karang pun harus dicocokkan dengan keberadaan ikan pemakan polip karang yang ada di lokasi.
Dengan mengintroduksi karang yang tidak ada di lokasi, maka akan berbahaya apabila ada jenis ikan seperti ikan kepe-kepe (Chaetodontidae), wrasse (Labridae), trigger (Balistidae) dan damsel fish (Pomacentridae).
Sama seperti beberapa jenis ikan lain, ikan kepe-kepe akan memakan karang yang bertentakel dan alga yang ada di polip karang. Jenis karang baru di sebuah lokasi, akan menarik perhatian dan keingintahuan ikan, meski mereka hanya sekedar mendatangi, mematuk-matuk karang, dan kemudian pergi meninggalkannya.
Bagi ikan yang memang doyan memakan polip karang, maka karang akan menjadi mangsa hingga tentakel karang tersebut habis. Akibatnya, yang terjadi karang tersebut mengalami stress dan mati pada akhirnya.
Penulis memiliki pengalaman dimana karang yang ditransplantasikan di perairan Pulau Panggan, Kepulauan Seribu Jakarta, dimakan oleh ikan. Kejadian ini terjadi di karang yang telah ditransplantasikan, dimana jenis karang ini baru dan sebelumnya tidak ada di lokasi tersebut.
Kejadian yang sama juga terjadi pada lokasi Goba Pulau Pari, dimana pemilihan lokasi sebagai pembanding dengan 2 lokasi lainnya yaitu di Leeward (bagian Selatan Pulau Pari) dan Windward (Bagian Utara Pulau Pari). Ikan yang mematuk karang ini bisa dari kelompok wrasse dan ikan damsel.
Sedangkan ikan trigger biasanya memakan karang yang kokoh sudah lama keberadaannya disuatu lokasi untuk mengasah gigi ikan tersebut dan merupakan penyumbang pasir putih pada lokasi-lokasi yang pantainya indah dan putih bersih.
Dalam survey lokasi ICRG yang dilakukan ini, maka tim telah mengidentifikasikan dan mengelompokkan jenis-jenis ikan pemakan polip karang, sehingga akan diketahui pelbagai jenis karang yang dapat direkomendasikan penanamannya. Sekaligus menghindarkan terumbu yang ditanam dimangsa oleh ikan-ikan setempat
Sumber: Mongabay/Ofri Johan
0 Komentar