Melihat Laku Orang Rimba, Penjaga Hutan Nusantara

Anak perempuan Orang Rimba yang hidup di kebun sawit. Hutan mereka telah hilang... Foto: Mongabay

Perjuangan Orang Rimba mempertahankan rumahnya, yakni hutan telah berlangsung puluhan tahun di Indonesia. Sebuah buku berusaha merangkum sejumlah kisah, bertajuk Menjaga Rimba Terakhir. Kisah Masyarakat Lokal, Indigenous People, Berjibaku Menjaga Hutan karya Mardiyah Chamim.

Perkumpulan KKI Warsi merangkum kearifan lokal dan panduan hidup Orang Rimba untuk diketahui masyarakat di luar hutan sebagai refleksi. Upaya perlindungan hutan dan orangnya tak hanya lewat advokasi hukum dan kemanusiaan, juga program konservasi dan pendekatan teknologi.

“Ini cerita perjuangan, aku dulu melarang tak boleh sekolah. Kalau aku sekolah, mereka minum racun,” Gentar memulai mengisahkan memoarnya yang bertajuk “Gentar yang tak Kenal Gentar.”

Gentar Tampung, salah satu Orang Rimba di tepi Sungai Makekal membacakan kisahnya dalam buku Menjaga Rimba Terakhir. Kisah Masyarakat Lokal, Indigenous People, Berjibaku Menjaga Hutan karya Mardiyah Chamim yang diterbitkan saat pandemi SARS Cov-2 saat ini.

Awalnya pria ini membacakan beberapa kalimat dalam buku yang ia pegang. Namun, selanjutnya ia memilih menceritakannya langsung dalam pertemuan dalam jaringan (online), Grand Launching buku Menjaga Rimba Terakhir pada Rabu (28/10/2020) oleh Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi.

Gentar Tampung mengingat saat usianya belasan tahun itu, ia ingin bisa belajar dan menulis. Pada tahun 2000 tim Warsi mendatangi rombong Orang Rimba Sako Ninik Tuo di tepian Sungai Makekal, tempat tinggalnya. Mardiyah menulis, Gentar saat itu berusia 14-15 tahun. Warga menolak tawaran buat sokola karena khawatir pendidikan akan meroboh halom atau adat Orang Rimba.

Setelah berdebat dengan orangtuanya, ditemukanlah kesepakatan. Ia boleh sokola, tapi tetap di hutan. “Menjaga hutan tak semudah balik telapak tangan. Harus tahu alam untuk perlindungan kita. Dari bencana, penyakit, lainnya,” lanjut Gentar.

Ia meyakini, Orang Rimba lah yang mengatur dan menjaga rumah sendiri. Karena hutan adalah rumah dan sumber pangan, mereka menjaganya. Namun, kini makin banyak orang lain yang menghancurkan. Gentar juga merefleksikan kondisi pandemi saat ini dengan kearifan Orang Rimba. Misalnya harus keluar dari kelompok. Setelah 2 minggu, aman tak bawa penyakit baru kembali ke rumah masing-masing.

Tantangan saat ini, ada kendala pendidikan anak rimba seperti baca tulis. Ia berharap ada solusi misalnya kelas jarak jauh.

Mardiyah Chamim, penulis buku ini mengaku heran sekaligus hormat pada semangat belajar Orang Rimba dan fasilitatornya pengajarnya dari Warsi. Pendidikan ini jadi salah satu bagian dari 31 Bab, 570 halaman tentang kearifan Orang Rimba menjaga hutan dan lingkungannya.

Semangat belajar di tengah keterbatasan muncul dari kisah-kisah pengajar. Sebagian ada yang masuk sekolah formal, namun tidak punya akta kelahiran, maka dalam KK semua punya tanggal kelahiran sama. Ditulis 1 Juli, sementara tahun kelahiran dikira-kira.

“KTP mereka pohon itu,” sebutnya tentang pohon yang jadi jejak kelahiran anak Orang Rimba. Pengalaman menarik dialami Budi yang ingin daftar Taruna, dan harus ada akta kelahiran. “Kalau bapak tidak percaya, tanya pohon paling besar di hutan kami. Dia tahu kelahiran kami. Ini powerful dan mengharukan,” lanjut Mardiyah.

Kisah menjaga hutan dan melakukan perlawanan pada eksploitasi ini tak hanya Orang Rimba juga beberapa Nagari di Sumatera Barat dan Jambi. Warga difasilitasi Warsi untuk mendapat akses hutan di sekitarnya.

Kisah Ab dan Uni El di Pakan Rabaa, misalnya. Hutan mereka dirongrong tambang liar batubara dan keduanya berusaha mencegah eksavator masuk hutan, berjaga nyaris tiap hari.

Hutan menurutnya bukan sekadar kumpulan kayu. Banyak yang hidup di tepiannya dan menjaga keberhasilan rimba. “Mereka hidup di sana, DNA di hutan itu. Merekalah penduduk lokal di garis depan,” sebut Mardiyah.

Perbaikan lingkungan juga ditunjukkan sebuah Nagari. Pakan Rabaa pada 2012 mengalami banjir bandang, ratusan rumah tenggelam dan ada yang meninggal. Penduduk kemudian menghidupkan hutannya untuk mencegah banjir. Setelah itu, mata air hidup lagi, hijau kembali, dan air sungai pun mengalir lancar.

Anak-anak Orang rimba yang sedang menikmati kekayaan hutan. Foto: Mongabay

Aturan Adat

Nagari Indudur menunjukkan tradisi unik. Pasangan yang mau menikah wajib menanam pohon setengah hektar di hutan Nagari. “Pengurus akan memantau tingkat survival harus di atas 50%. Kalau di bawah itu kena sanksi adat. Sekarang jadi penghasil kemiri yang sangat potensial di Sumbar,” kisahnya.

Desa Rantau Kermas, Jambi, pun demikian. Sebuah hutan adat Karo Jayo Tuo dijaga dan menggerakkan pembangkit listrik mikro hidro 30 MW. “Listrik sebesar itu tak perlu PLN, kualitasnya lebih bagus karena PLN sering mati,” sebut Mardiyah.

“Rimbo tak jago, listrik manyalo.” Demikian motto hidup mereka.

Sementara di Simacuang, Nagari ini sukses mengembangkan pertanian organik. Pernyataan penduduk mengejutkan saat ditanya, beras dijual ke mana? “Oh ini buat kami sendiri. Kami sehat dulu.” Sisanya dijual ke konsumen tertentu karena dinilai sulit dijual di pasar, harganya lebih mahal. Pertanian organik ini menghidupkan tanah yang mati karena kimia. Sebuah bentuk kedaulatan pangan mengesankan.

Sebuah inisiatif berbasis teknologi pun diujicoba di sebuah hutan. Mardiyah menyebut Google dan Huawei mendukung implementasi teknologi di Pakan Rabaan, mengembangkan deteksi suara untuk mengidentifikasi jika ada yang menebang pohon.

“Dunia ini menghadapi kemungkinan bencana luar biasa, satu-satunya mencegah bencana itu adalah indigenous people yang menjaga hutan,” demikian terjemahan kutipan Noam Chomsky yang dikutip Mardiyah. Halnya yang diperlihatkan masyarakat adat Bolivia, Canada, Australia, dan India.

Ia berharap hutan-hutan saat ini tidak jadi rimba terakhir. Bagaimana merawat yang ada.

Robert Aritonang, Program Manager KKI Warsi memberi latar belakang menarik kenapa pihaknya membantu advokasi hak masyarakat yang mukim di hutan dan sekitarnya ini.

Adaptasi menurutnya penting di tengah tantangan mempertahankan hak masyarakat asli. Ada keterikatan intim dan substansi antara budaya orang rimba dengan hutan. “Kalau hutan tidak ada, mereka tak eksis. Seluruh aspek hidup terkait hutan itu. Itulah konservasi. Namun ini sering dibenturkan dengan kebutuhan masyarakat,” sebutnya.

Warsi telah melakukan advokasi hak dasar dan pembangunan masyarakat adat dengan membantu perlindungan lebih dari 60 ribu hektar di TNBD, dan mengembalikan hak orang rimba atas lahan dari beberapa perusahaan. Sebanyak 4 perusahaan berhasil dihentikan operasionalnya karena melakukan pelanggaran. Selain itu, mendorong 138 perhutanan sosial dengan luas 168 ribu ha di Sumbar dan Jambi.

Merespon buku ini, ia memaparkan tantangan budaya rimba dan jati diri yang hilang. Orang rimba dinilai shock budaya ketika hutan terbuka. Tahun 70-80an adalah masa HPH dan awal transmigrasi serta perkebunan pola inti plasma. Orang Rimba mengenal barang seperti senter, chainsaw (disebut sensor), dan buldozer yang dimiliki korporasi. “Kiamat sudah tiba, mereka awalnya hanya kenal kampak, beliung, lalu ada alat yang dalam satu jam bisa menebang pohon 1-2 hektar. Ini di luar akal sehat mereka,” papar Robert, seorang antropolog ini.

Tantangan meruncing saat dekade 80-90an di masa kejayaan HPH, transmigrasi, dan perkebunan sawit. Misalnya 5 juta hektar di Jambi kena konversi lahan. Orang rimba langsung tersingkir, sebagian mencari hutan lain sekitarnya. Sebagian kecil bunuh diri secara budaya, langsung mengubah kehidupan jadi orang terang atau melayu karena kesulitan.

Di sisi lain, masyarakat kurang beradaptasi, tidak disediakan mitigasi jaringan pengaman, seperti tanpa sarana kesehatan, pendidikan, dan administrasi penduduk yang menjembatani untuk mengatasi perubahan. “Dewa Gejoh punah, ini dewa gunung pemujaan pengobatan dan perlindungan. Dewa Mergo dipercaya masih ada tapi ambang kritis,” imbuhnya.

Tahun 90-an sampai reformasi adalah kejayaan kebun sawit dan hutan tanaman industri (HTI). Hutan asli yang tersisa pun dihabisi jadi HTI, ditanami akasia, dan lainnya untuk kebutuhan industri. Benteng terakhir ini disebut makin habis karena diambil, Orang Rimba jadi lebih buruk, tersingkir dan muncul pelanggaran HAM. “Dalam setahun 3-4 konflik skala kecil dan besar, penghinaan, pembakaran tempat tinggal, sampai meninggal. Hampir 20 tahun ini ada 14 Orang Rimba meninggal tidak wajar,” papar Robert.

Jika tak ada penyelamatan menurutnya bisa ada penghilangan etnis. Satu suku hilang dari sejarah sosial.


Anak-anak Orang RImba, hidup di dalam rumah mereka, di hutan. Bagaimana masa depan mereka kala hutan-hutan berubah jadi kebun kayu dan kebun sawit? Foto: Aulia Erlangga/ Warsi

Ia menunjukkan masalah-masalah warga yang diartikulasikan dalam nilai lokal. “Ndok Halom Rimba, kalau ditawarkan program, kami mau rimba. dan tanah untuk anak cucu,” sebutnya. Kawasan Bukit Duabelas diperjuangkan dan TN Bukit Tigapuluh juga sedang diperjuangkan.

Ndok makon ndok minum. Masalah krusial adalah pangan, banyak yang mengalami kesulitan. Sebelumnya tak ada suku yang punya penyakit seakut seperti malaria, hepatitis, TBC. Namun kii sangat mudah ditemukan di Orang Rimba.

Ndok cerdik, ndok dehat. Sulit adaptasi, misal pemberantasan buta huruf, sekolah formal, dll.

Selain advokasi kebijakan, juga dipaparkan solusi dalam menghadapi tantangan saat ini. Misal program dana karbon mendorong mendapatkan dana Rp1,4 milyar, ekowisata di Bujang Raba untuk melindungi hutan, dan prorgram Guardian di Pakaan Rabaa.

Selain itu ada program Pohon asuh di Hutan Adat Karo Jayo Tua, Sirukam. Warga diajak mengasuh pohon denan donasi sekitar Rp200 ribu sudah berkontribusi jaga hutan, seperti yang diikuti artis Dian Sastro. Ada juga pembangunan PLTMH untuk membangkitkan listrik.

Sebuah epilog indah menutup kisah ini. Rajo Bangoy la Tibo, artiya raja tak pernah ikut ke rimba, hanya warga atau budaknya saja. “Setiap kembali dari gunung, Raja Nangoy selalu bertanya. Apa yang kalian makan di hulu? Dijawab rakyatnya, kami makan buruk-buruk, rasanya pahit, asam. Sengaja agar raja tidak ikut ke hulu, agar wabah penyakit dan masalah tidak menimpa orang rimba,” jelas Robert. La Tibo, Orang Rimba disebut sudah ditimpa masalah itu sekarang.


Nyeruduk, orang Rimba. Foto: Suwandi

Pengurangan dampak buruk

Jasmir Jumadi dari Nagari Sirukam bagi pengalamannya tentang program Guardian dan Parimbo. Sejak 2008, ia dan rekannya jaga hutan karena illegal logging yang didalangi agen kayu. Melihat masyarakat jadi korban, pada 2012 ia bergabung Warsi menjadi tim patroli karena sering terjadi kebakaran dan pemalakan.

Guardian adalah inovasi teknologi Sensor Flow, dengan artificial intelligent. Rangkaian ponsel pintar yang telah dimodif, menggunakan baterai microphone, dan panel surya. Bisa deteksi area 1,5 km seperti suara chainsaw, pistol, dan kendaraan. Jika terdeteksi, dicek titiknya. Parimbo pun turun.

Selain itu, strategi lain adalah melibatkan tukang sensor dalam reboisasi. Ada juga buat bibit kopi, untuk membuat alternatif kerja baru. Pelaku illegal logging pun ada yang beralih usaha ke kebun kopi. Dua agen kayu juga dilibatkan jadi pengurus Guardian sehingga berhenti dalam bisnis illegal logging.

Serukam jadi contoh percontohan tata cara pemasangan alat Guardian dan patroli bersama. Mereka juga membuat kesepakatan dengan Polhut. “Ini tantangan berat dan perlu keberanian. Tim Parimbo dituntut eksis,” sebut Jasmir.

Sandra Moniaga, perempuan anggota Komnas HAM memberi apresiasi penerbitan buku ini. Ia ingat saat di sebuah hotel Orang Rimba tak mau kencing karena menganggap buang air di air bersih, mereka tidak mau ke toilet. Menurutnya jurnalis yang punya kepekaan dan kepeduliaan akan memperkaya program. “Jalan 22 hari itu sebuah kemewahan. Saya juga senang tapi mungkin cuma foto, tidak menulis seperti Mardiyah,” ia terkikik. Foto dan infografis yang menarik pun menambah kedalaman buku ini.

Sementara itu, La Ode Taufik dari Kementrian Sosial mengapresiasi KKI Warsi menjelang usia 30 tahun. Terkait identitas kependudukan, warga menurutnya harus punya KTP karena setiap penerima bantuan mengacu NIK. “Komunitas adat terpencil memang jauh dari dokumen kependudukan, tapi NIK penting dimiliki. Kalau ada penduduk tidak punya KTP, justru yang disalahkan Adminduk,” katanya.

Ia mengatakan sedang merancang program bersumber anggaran APBN, seperti bantuan fisik rumah, bibit tanaman, dan lainnya secara stimulan agar menetap. Namun untuk merumahkan menurutnya tak ujug-ujug, ada studi awal memilih area. Ia mengajak lembaga lain mengajukan program untuk mengatasi sejumlah masalah sosial.

Sumber: Mongabay/Luh De Suriyani

Posting Komentar

0 Komentar