Hidup Bermanfaat Merupakan Tabiat Mu'min

Lebah menjadi sebuah perumpamaan seorang mu'min. Foto: Pixabay.com

Kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari hubungan antar sesama. Sama rata dalam kedudukan sebagai ciptaan-Nya. Lantas bagaimana baiknya, agar terus berjalan tanpa ada perpecahan dan clash.

Mengenai hal ini, kita bisa belajar dari alam. Mencermati sekitar, ada seekor binatang yang istimewa. Bertubuh kecil, tapi hidupnya sarat akan makna. Terkenal di telinga kita dengan nama, “lebah.”

Bila berhubungan dengan alam sekitar ia tidak memberikan dampak negatif. Ketika ia mencari makan menyerap sari bunga, ia tidak sekadar mencari keuntungan pribadi. Melainkan juga membantu proses polinasi antar bunga yang jantan dengan yang betina. Proses jatuhnya serbuk sari pada kepala putik, baik senada maupun beragam.

Hingga dapatlah terjadi penyebaran bunga secara masif. Dan menuai warna warni savana luas nan elok memanjakan mata.  Hidup indah menguntungkan pihak lain.

Pada tubuhnya memilki self defense, berupa sengatan pada ujung duburnya. Untuk perlawanan saat kehidupannya terusik. Dan ia tidak akan menyakiti kecuali disakiti terlebih dahulu.

"Asupan yang masuk akan menentukan sebuah produk." Kata-kata yang mewakili, akan sifat lebah. Sebab yang ia makan sesuatu yang baik, maka akan keluar darinya yang baik pula. Dan hal ini telah disampaikan oleh Nabi:

"Demi jiwa muhammad berada di tangan-Nya, Sungguh Sifat orang mu'min seperti seekor lebah. Ia memakan yang baik dan mengeluarkan yang baik. Bila ia berada di tangkai bunga ia tidak mematahkan dan tidak merusak." (HR. Ahmad dalam Musnadnya)

Baca Juga: Batas Waktu Peralihan Itu Bernama Kematian

Menitik beratkan pada sifat lebah memiliki manfaat untuk orang lain. Begitupun manusia, penting bagi seseorang punya peran positif dalam episode hidup manusia. Apa pun bentuknya selagi itu kebaikan, tak akan sia-sia.

Bila episode kehidupan itu tertuang melalui rangkaian kata kata, maka ia punya satu huruf di sana. Bila tertuang dalam lukisan indah pada kanvas, ia punya setitik warna di sana. Bila tertuang dalam ruang indah malam ia punya setitik cahaya turut memperindah suasana.

Perihal ini, sangat simpel Nabi mengajarkan. Melalui hadits riwayat Abu Burdah:

Sungguh Nabi telah bersabda: "Sunnah yang sangat ditekankan bagi setiap muslim, adalah shadaqah." Maka para sahabat bertanya, "Bagaimana orang yang tak mampu?" Nabi menjawab, "Berusaha dengan tangannya hingga memperoleh manfaat tuk dirinya, dan bersedekah dengan itu." Para sahabat bertanya lagi, "Jika tidak mampu?" Nabi menjawab, "Membantu orang yang butuh bantuan (teraniaya). Para sahabat bertanya lagi, "Jika tidak mampu?" Nabi menjawab, "Hendaklah ia berbuat baik dan menahan dari berbuat buruk, sebab dengan itu ia sudah bersedekah." (HR. Bukhari)

Seperti filosofi pohon kelapa, hidup seorang mu'min harus bernilai positif dari segi apapun. Foto: Pixabay.com

Syaikh Muhammad bin Ali asy-Syafi'i menjelaskan dalam Hasyiyahnya, "Yang dimaksud hadits ini, bahwa perbuatan  baik telah menduduki kedudukan shadaqah dalam pahala."

Cocos Nuchifera

Sebutir kelapa jatuh dari pohonnya.

Tercebur di sungai terbawa arus.

Hingga menepi di sebuah daratan.

Di situlah ia tumbuh dan berbuah.

            Begitu pula seorang muslim.

            Di mana pun langkah kaki terhenti.

            Senyumnya harumkan keadaan.

            Lakunya menentramkan jiwa orang.

Jiwanya yang baik.

Kokoh nan tangguh.

Dewasa lagi bijak.

Pacu jiwa lain, tuk mengikuti.

            Tangan yang Panjang.

            Bukan suka mencuri atau menzhalimi.

            Melainkan mudah ulurkan tangan.

            Sambut yang terjatuh, butuh bantuan.

Jiwanya yang subur.

Sebar banyak kebaikan.

Dari akar hingga pucuk daun,

Bermanfaat tuk keperluan manusia.

Siapa tak senang dengannya?

            Renungan suburkan iman.

            Penciptanya jauh lebih sempurna.

            Kasih sayang-Nya mengudara.

            Rata semai seluruh Alam.

Fikr Room (Al-Muhsin Metro, 24 Juni 2020)


Refrensi:

Imam Ahmad, Musnad Ahmad bin Hanbal, (Muassasah ar-Risalah: 1999 M), Jilid: 11, hal: 457.

Syaikh Muhammad bin Ali asy-Syafi'i, Hasyiyah ala Mukhtashaf  Ibnu Abi Jamrah lil-Bukhari , (Dar al-Ilm, Surabaya), hal: 89.




Posting Komentar

0 Komentar