Karena menjadi salah satu gunung yang sudah buka di Jawa Tengah selain Prau, Gunung Lawu akan sangat padat pendaki ketika akhir pekan. |
Setelah sekian lama tutup,
beberapa jalur pendakian akhirnya dibuka kembali. Salah satunya adalah Gunung
Lawu. Hal ini tentu mengacu pada jumlah kasus Covid-19 di Karang Anyar yang terus menurun dan
terkontrol. Minggu lalu (06/09/2020), saya berkesempatan untuk mendaki gunung tersebut
melalui jalur Candi Cetho. Jalur terpanjang dan paling eksotik. Tentu menjadi kesempatan yang sangat luar biasa.
Apalagi, merasakan pendakian di
fase kenormalan baru seperti sekarang adalah hal baru bagi saya. Mulai dari aturannya,
gayanya, sampai pengelolaannya. Semua serba baru dan kita harus cepat
beradaptasi.
Aturan-aturan baru seperti wajib
membawa dua masker, hansanitizer, peralatan makan pribadi, harus diterapkan
dengan disiplin sebagai upaya pencegahan. Tak boleh ketinggalan.
Baca Juga: Ingin Mendaki Lawu Saat New Normal? Ini Aturannya
Namun, ada tantangan dan
pertanyaan besar yang harus dijawab bersama-sama. Apakah kita bisa
melakukannya?
Nyatanya, beradaptasi dengan
aturan dan gaya baru tersebut memanglah sulit. Dari awal saat tiba di basecamp
pendakian, kita sudah kesulitan menerapkan social distancing. Bagaimana tidak,
menjaga jarak di basecamp memang serba susah. Banyak pendaki lain yang
berkumpul, transit, dan melakukan persiapan. Belum lagi ketika ada pendaki yang
baru saja turun, mereka akan istirahat sejenak dan juga membersihkan diri lalu
makan.
Interaksi jadi tak terbendung,
kita tentu akan bertanya kepada pendaki yang baru saja turun terkait bagaimana
cuacanya, keadaan sumber air, sampai keramaian campground. Saat asik ngobrol,
tiba-tiba masker yang dipakai terasa sangat mengganggu perbincangan, akhirnya
dilepas. Seperti itu seterusnya.
Memang, seluruh pendaki
diwajibkan membawa handsanitizer. Namun saya juga tak yakin semuanya akan
disiplin dengan terus mencuci tangan setelah melakukan sentuhan. Termasuk saya,
adalah orang yang kerap lupa melakukannya.
Lalu ketika melakukan pendakian,
menggunakan masker terus menerus saat trekking juga sangat menyulitkan. Nafas
jadi sesak, rasanya engap, sulit sekali untuk mengontrol pernafasan. Padahal,
langkah dan nafas harus benar-benar singkron agar tak cepat ngos-ngosan. Jika
sesak, stamina pun jadi cepat terkuras dan langkah jadi semakin lamban.
mungkin kawan-kawan yang lain
juga sudah mafhum, jika musim kemarau seperti ini, sumber air yang ada di jalur
Candi Cetho hanya satu, yaitu di pos 3. Adapun Gupak Menjangan yang juga biasa
tersedia air sudah kering kerontang. Tak tersisa.
Konsekuensinya, semua pendaki
akan mengantri mengambil air di pos 3. Semua kelompok akan beristirahat disini,
ishoma, lalu melanjutkan pendakian. Pos 3 jadi sangat ramai. Padahal, medan pos
3 terhitung miring. Sedikit sekali area landai yang nyaman digunakan untuk
beristirahat. Disini, Pendaki tentu akan berbagi ruang.
Apakah bisa terus menjaga jarak?
Bisa, namun sangat sulit. Apalagi saat mengantri air. Area yang sempit memaksa
pendaki untuk saling merapat. Jika berjarak, tentu sangat tidak memungkinkan
karena areanya tak hanya penuh karena pendaki yang mengantri mengambil air,
namun juga sempit karena pendaki lain yang juga beristirahat di tempat yang
sama.
Kesulitan-kesulitan ini berlanjut
ketika tiba di campground. Setelah semua tenda siap, tentu dilanjutkan dengan
menyiapkan minuman dan juga makanan. Hal ini untuk memulihkan tenaga pasca trekking
dan juga menghangatkan tubuh. Wajibnya menggunakan peralatan pribadi menjadi
hal yang sangat merepotkan.
Karena mendaki adalah tentang
kelompok, maka setiap hal biasanya dilakukan secara bersama-sama. Termasuk
makan dan minum. Biasanya, pendaki makan bersama-sama dalam satu wadah. Apapun
hidangannya, baik mie instan atau bahkan nasi.
Baca Juga: Ingat, Puncak Tak Akan Pindah Kemana-mana
Minumpun demikian, saat ngopi,
biasanya pendaki menggunakan satu gelas kemudian diminum secara bergilir.
Ketika semuanya diharuskan serba pribadi, tentu mau tidak mau harus segera
beradaptasi.
Saat tubuh sudah lelah, kita
memang sangat sulit untuk tetap menjaga kedisiplinan. Semuanya jadi serba malas
dan seolah tak sempat. Protokol kesehatan jadi nampak membebani, memakai
handsanitizer, menjaga jarak, sampai makan menggunakan peralatan pribadi,
semuanya luput.
Namun, sesulit apapun penerapan protokol tersebut, kita harus tetap melakukannya dengan disiplin. Harus segera beradaptasi dengan aturan-aturan baru tersebut. Apalagi, hanya ini cara yang bisa kita lakukan bersama-sama untuk mengurangi kasus penyebaran Covid-19 dan tetap bisa mendaki gunung. Jadi, Jangan sampai muak, hal itu tak bisa menyelamatkanmu dari virus.
0 Komentar