Ilustrasi tenaga medis. Foto: Shutterstock |
Pada abad ke-7, Sri Jayanasa, Raja Kedatuan Sriwijaya, sudah berpesan kepada manusia agar terhindar dari berbagai penyakit. Apa wasiatnya? Manusia harus memperlakukan alam untuk kebaikan semua makhluk hidup.
“Memperlakukan alam untuk kebaikan semua makhluk hidup, saya pahami sebagai upaya menjaga keseimbangan alam. Jika sebaliknya atau bertentangan dengan hal tersebut, manusia pun akan hidup menderita dengan berbagai penyakit atau hidup tidak bahagia,” kata Dr. Yenrizal Tarmizi, pakar komunikasi dari UIN Raden Fatah Palembang, melalui Mongabay Indonesia, Kamis [09/4/2020].
Penulis buku Nilai-Nilai Lingkungan Hidup Pada Prasasti Talang Tuwo ini menjelaskan, jika alam yang disimbolkan [Taman Sriksetra] tidak digunakan untuk kebaikan semua makhluk hidup, bukan hanya penyakit, manusia juga akan menghadapi malapetaka, tersiksa tidak bisa tidur, dan cepat tua.
Berikut kutipan dari Prasasti Talang Tuwo tersebut, “… Semoga mereka tidak terkena malapetaka, tidak tersiksa karena tidak bisa tidur. Apapun yang mereka perbuat, semoga semua planet dan bintang menguntungkan mereka, dan semoga mereka terhindar dari penyakit dan ketuaan selama menjalankan usaha mereka.”
Sementara, pesan agar menjaga alam terbaca dari pembukaan prasasti tersebut, “… Semoga yang ditanam di sini, pohon kelapa, pinang, aren, sagu, dan bermacam pohon, buahnya dapat dimakan, demikian pula aur, buluh, betung, dan sebagainya; dan semoga juga tanaman-tanaman lainnya dengan bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya, dan semua amal yang saya berikan, dapat digunakan untuk kebaikan semua makhluk, yang dapat pindah tempat dan yang tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan.”
“Yang digarisbawahi itu ‘untuk kebaikan semua makhluk’ dan ‘kebahagiaan’,” kata Yenrizal.
Trenggiling, satwa liar pemakan serangga yang tidak pernah berhenti diburu untuk diperdagangkan secara ilegal. Foto: Rhett Butler/Mongabay |
Tanaman bagi kesehatan
Yenrizal juga membaca jika berbagai tanaman yang disebut dalam Prasasti Talang Tuwo seperti kelapa, pinang, aren, sagu, dan bambu, juga memiliki manfaat bagi kesehatan.
Buah kelapa, misalnya, menghasilkan minyak yang sangat sehat bagi tubuh manusia. Virgin coconut oil [VCO] mampu mencegah berbagai penyakit, membunuh bakteri dan virus, juga mencerdaskan otak
Buah pinang juga memiliki fungsi yang sama bagi kesehatan, seperti mencegah kerusakan gigi hingga penyakit skizofrenia. Rebung bambu, selain memberikan kesehatan bagi tubuh manusia juga meningkatkan kekebalan tubuh sehingga terhindari dari berbagai penyakit.
“Besarnya peranan dan fungsi tanaman yang disebutkan Raja Sriwijaya bagi kesehatan manusia, hingga hari ini masih ditemukan berbagai kuliner yang berbahan dari tanaman tersebut. Meskipun akhirnya, muncul juga berbagai bahan makanan baru yang tidak sehat, menggantikannya,” kata Yenrizal.
Baca Juga: Pandemi Tak Menghentikan Upaya Penyelamatan Orang Utan di Kalimantan Barat
Inti dari pesan Raja Sriwijaya tersebut, kata Yenrizal, manusia harus menjaga Bumi dari kerusakan, sehingga manusia hidup sehat dan berusia panjang. “Mungkin virus COVID-19, dan viru sebelumnya, menghasilkan manusia yang lebih kuat imunnya terhadap berbagai penyakit. Tapi, manusia-manusia yang tetap hidup bukan berarti aman dari berbagai penyakit atau serangan virus baru jika Bumi terus dirusak,” kata Yenrizal.
“Solusinya, seperti yang dikatakan Raja Sriwijaya jika alam ini digunakan untuk kebaikan semua makhluk hidup. Lingkungan yang baik, lestari, jelas menghasilkan pangan yang sehat atau berkualitas,” jelasnya.
Kelelawar, satwa yang diduga awal pembawa virus corona yang harus disertai penelitian mendalam. Foto: Rhett Butler/Mongabay |
Penyakit karena masalah lingkungan
Hubungan antara penyakit dengan lingkungan dinyatakan Sugiyono Saputra, PhD, peneliti mikrobiologi dari LIPI.
“Sebagian besar penyakit timbul karena masalah lingkungan. Kemudian, 60 persen penyakit infeksi merupakan penyakit zoonosis atau berasal dari hewan dan lebih dari dua per tiga berasal dari satwa liar,” kata Sugiyono saat diwawancarai, Kamis [09/4/2020].
Kalau kita berpikir asal-usulnya, kenapa ini bisa terjadi penularan dari satwa liar tersebut ke manusia? Atau kenapa patogen yang seharusnya ada pada satwa liar bisa berpindah ke manusia? Artinya pasti ada sesuatu yang “melanggar perbatasan” dan apa penyebab sebenarnya?
Baca Juga: Melihat Kearifan Adat dan Agama Berkolaborasi Jaga Bumi
“Berdasarkan hasil analisis berbagai penelitian, sejumlah penyakit baru yang muncul ternyata dikontribusikan oleh aktivitas yang dilakukan manusia itu sendiri terhadap alam, terutama perambahan ke kawasan liar seperti hutan dan perubahan dalam demografi manusia,” jelasnya.
Contohnya, Lyme disease di Amerika Serikat timbul karena berkurangnya habitat satwa liar akibat fragmentasi hutan. Berkurangnya populasi predator seperti serigala, rubah, dan elang ternyata membuat populasi tikus meningkat tajam, yang merupakan reservoir bakteri penyebab penyakit Lyme. Penyebarannya ke manusia dilakukan melalui kutu.
Indonesia kaya akan bumbu rempah yang dapat dimanfaatkan untuk kesehatan tubuh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia |
Suatu studi di Amazon menunjukkan, peningkatan deforestasi sekitar 4 persen ternyata meningkatkan kejadian malaria hampir 50 persen, karena nyamuk yang menularkan penyakitnya dapat berkembang baik di daerah yang terdeforestasi tersebut. Kemudian, kejadian penyakit yang disebabkan Hendra virus di Australia ternyata diakibatkan suburbanisasi, dimana habitat manusia yang kian mendekat dengan habitat satwa liar yang pada akhirnya memikat kelelawar penghuni hutan berekspansi ke perumahan penduduk.
“Terkait COVID-19, memang butuh kajian yang mendalam lagi untuk menyimpulkan apa sebenarnya yang memicu kemunculan penyakit tersebut. Untuk sementara ini, COVID-19 memang disebabkan SARS-CoV-2, virus ini diduga kuat berasal dari kelelawar dan atau trenggiling. Trenggiling merupakan salah satu komoditas yang banyak diperjualbelikan [secara ilegal] sebagai obat dan bisa jadi ini berkontribusi pada tumpahnya virus ke populasi manusia,” ujarnya.
Banyak perilaku ataupun aktivitas manusia lainnya yang menjadi pemicu timbulnya penyakit infeksi baru yang bersumber dari satwa liar. “Prosesnya bisa saja terjadi perlahan, yang merupakan akumulasi berbagai pemicu. Yang jelas, ketika pemicu-pemicu tersebut masih masif dilakukan, potensi kemunculan penyakit baru tetap ada,” paparnya.
Jahe merah yang mempunyai khasiat luar biasa untuk kesehatan tubuh kita sekaligus potensial penangkal virus corona. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia |
COVID-19 bukan pandemi terakhir
Dikutip dari Kompas, Dr. Enric Sala, ahli ekologi kelautan yang tergabung dalam Campaign for Nature National Geographic, menyatakan jika manusia terus merusak alam liar, maka wabah virus COVID-19 bukan yang terakhir menjadi pandemi, yang dihadapi manusia.
“Saya benar-benar yakin bahwa akan ada lebih banyak penyakit seperti ini di masa depan jika manusia terus menghancurkan alam, menggunduli hutan, menangkap binatang liar menjadikannya peliharaan, makanan, atau obat-obatan,” kata Sala seperti dikutip dari Independent, Jumat [20/3/2020], yang dikutip Kompas.
David Quammen, penulis buku Spillover: Animal Infections and the Next Human Pandemic, dalam berita yang sama mengatakan, “Ketika kita menghancurkan hutan tropis, menggantikannya dengan desa, pertambangan, membunuh atau menangkap hewan liar untuk dimakan, kita membuka diri terhadap virus-virus itu,” tandasnya.
Sumber: Mongabay/Taufik Wijaya
0 Komentar