Beberapa waktu lalu (Mei-Juni 2020) media memberitakan ada dua ekor anak harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dilaporkan telah masuk perangkap yang dibuat Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Resor Solok.
Upaya ini dilakukan bersama antara BKSDA bersama warga Kenagarian Gantung Ciri, Kecamatan Kubung Kabupaten Solok, Sumatera Barat.
Kedua ekor harimau ini berjenis kelamin jantan dan betina. Diduga induknya masih berkeliaran sampai saat ini. Keberadaan mereka selama ini membuat resah warga, khususnya warga setempat yang beraktivitas ladang di perbatasan kawasan konservasi Suaka Margasatwa Barisan.
Sebelum penangkapan dua anak harimau itu, warga melaporkan ada tiga ekor harimau yang disebut telah menghadang warga Desa Jorong Pinang Sinawa, Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok, saat mereka pulang dari berladang. Tiga ekor harimau itu, terdiri dari satu induk dan dua anaknya.
Induk harimau itu dilaporkan warga kakinya terluka. Ditengarai harimau itu ada di ladang setelah memakan babi hutan yang sering djumpai di dekat ladang masyarakat.
“Harimau itu berada di perbatasan atau di dalam kawasan warga, sehingga harus dilakukan penghaluan ke lokasi SM (Suaka Margasatwa) atau kawasan konservasi,” menyitir pernyataan dari Kepala BKSDA Resor Solok, Afrilius dalam berita media (07/05).
Dugaan saya, -meski telah dihalau dengan kondisi kaki terluka tersebut, tampaknya di kemudian hari harimau tersebut akan tetap berkeliaran di dekat daerah perladangan masyarakat. Tak tertutup kemungkinan, ia bakal mengincar hewan ternak warga, alih-alih memilih berburu hewan liar di dalam hutan.
Dalam kronologis kasus ini, jika dipelajari lebih dalam, akan mengemuka masalah yang lebih besar. Pertanyaannya apa yang menjadi akar masalah sehingga kerap terjadi perjumpaan dan konflik manusia dengan satwa liar? Apakah upaya penangkapan adalah tindakan yang tepat?
Baca juga: Papua, Pulau Dengan Spesies Tumbuhan Paling Banyak di Dunia
Anak harimau sumatera yang tertangkap di Nagari Gantung Ciri, Kabupaten Solok Sumatera Barat. Dok: BKSDA Sumbar/Tim Evakuasi Harimau Sumatera |
Mencari Akar Konflik Masalah
Mengacu kepada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.48 /Menhut-II/2008 tentang Pedoman penanggulangan konflik antara manusia dan satwa liar menyebutkan bahwa konflik manusia dan satwa liar didefinisikan sebagai segala interaksi antara manusia dan satwa liar yang mengakibatkan efek negatif kepada kehidupan sosial manusia, ekonomi, kebudayaan, dan pada konservasi satwa liar dan atau pada lingkungannya.
Untuk menyelesaikannya, maka perlu penanggulangan konflik manusia – satwa liar yang utuh.
Upaya ini berarti pemangku kepentingan harus mencari solusi win-win, yaitu menjaga keselamatan dan meminimalisir resiko kerugian manusia, sekaligus tidak mengorbankan keselamatan satwa liar dan kelestarianya. Solusi yang diambil pun tak hanya berorientasi jangka pendek (temporary solution), tapi juga harus berdimensi jangka panjang.
Bila kita cermati dari data awal yang terungkap di media massa ada beberapa hal yang harus dicermati.
Pertama, bahwa ada aktivitas perladangan masyarakat yang berada di sekitar dan telah masuk dalam kawasan konservasi Suaka Margasatwa Barisan yang memang merupakan habitat harimau sumatera.
Jika ini benar, maka fakta ini sangat penting dan tidak bisa diabaikan begitu saja. Perlu didalami lagi, sudah seberapa luas kawasan hutan konservasi tersebut berubah menjadi ladang masyarakat?
Sudah barang tentu, pengurangan luas areal akan makin berpengaruh pada gangguan bagi habitat harimau.
Kedua, pada awal kejadian disebut ada masyarakat yang dihadang tiga ekor harimau yang diduga kuat dua ekor anak, dan satu ekor induknya yang mengalami luka di kaki akibat jerat. Bila benar demikian, maka dapat disimpulkan bahwa di areal tersebut telah terjadi aktivitas perburuan ilegal hewan dilindungi.
Berdasarkan data Population Viability Analysis (PVA), populasi harimau sumatera diyakini tidak lebih dari 600 individu saja di alam. Selain faktor ancaman semakin berkurangnya habitat, aktivitas perburuan menjadi faktor utama terus tergerusnya populasi satwa ini.
Menurut Kholis dkk dalam tulisannya di Mongabay (02/09/2020), fragmentasi habitat, perburuan, dan keberadaan ternak yang dikandangkan di pinggiran hutan merupakan pemicu terjadinya konflik antara manusia dengan satwa liar predator.
Saya kira prasyarat kondisional serupa, terjadi pada kasus konflik antara manusia dengan harimau sebagaimana yang terjadi di Nagari Gantung Ciri.
Dengan demikian jelas kemungkinannya bahwa bukan harimaulah yang pada awalnya mengusik kehidupan manusia. Sebaliknya, faktor pemicu adalah aktifitas manusia yang masuk dan mengganggu habitat harimau. Terlebih, aktifitas perburuan ilegal menggunakan jerat telah menyebabkan luka yang dialami oleh induk harimau.
Baca juga: Hidup Mati Ranger Untuk Hutan Leuser
Harimau Batua saat ditemukan kena jerat kawat pemburu di kawasan hutan TNBBS, Kabupaten Lampung Barat, Lampung, 2 Juli 2019. Foto: BKSDA Bengkulu-Lampung/WCS IP |
Dalam dua tahun belakangan ini, KLHK bersama Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dharmasraya – Yayasan ARSARI Djojohadikusumo (PR-HSD Yayasan ARSARI) telah berhasil menyelamatkan, mengobati dan merawat, lalu melakukan pelepasanliaran harimau ke habitat alam liarnya. Diantaranya harimau Bonita, Atan Bintang dan Bujang Ribut.
Namun berapa banyak harimau terjerat yang tak teridentifikasi? Yang kemudian dibunuh dan dijual organ-organnya di pasar gelap oleh pemburu?
Sudah barang tentu kita berharap pihak BKSDA dan pihak-pihak terkait lainnya turut memperhatikan berbagai faktor yang mengemuka di atas.
Selanjutnya, perlu kajian mendalam guna melanjutkan langkah-langkah dalam penanganan konflik manusia dengan harimau sumatera. Dalam kasus penegakan hukum, ia tak hanya berhenti pada upaya penangkapan, namun juga melibatkan upaya preventif pelibatan warga masyarakat agar peduli kepada eksistensi harimau.
Mengacu kepada pedoman Permenhut, prinsipnya tidak ada solusi tunggal dalam penanganan konflik antara manusia dan satwa liar.
Penanganan dan tindakan penanggulangannya merupakan sesuatu yang kompleks karena menuntut rangkaian kombinasi berbagai solusi potensial yang tergabung dalam sebuah proses penanggulangan konflik yang komprehensif.
Satwa liar seperti harimau memiliki daerah jelajah yang sangat luas. Upaya penanggulangan konflik yang komprehensif mestinya juga harus masuk dalam faktor penilaian yang menyeluruh dari riset tentang daerah jelajahnya (home range based mitigation) dan pola perilaku harimau.
Upaya pengamanan kawasan konservasi dari aktivitas perambahan, serta penguatan penegakan hukum atas perburuan ilegal harimau, harus terus simultan dilakukan oleh aparat.
Kita berharap konflik ini dapat segera tertanggulangi dan harimau dapat tetap lestari di alam.
Referensi:
Dwi Rizki, Tinggal 600 Ekor, Perburuan Masif hingga Jerat di Lantai Hutan Gerus Populasi Harimau Sumatera. Tribunnews.com, 14 April 2020
Munawar Kholis, Hariyo T Wibisono dan Erwin Wilianto, Konflik Manusia dengan Macan Tutul Jawa Belum Berakhir, Mongabay, 2 September 2020
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 48 /Menhut-II/2008 tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Antara Manusia Dan Satwa Liar
Revi Azwar, Cerita Penangkapan Harimau Sumatera Putra dan Putri Singgulung di Nagari Gantung Ciri, Solok, Sumbar, Tribunnews.com, 30 Juni 2020
Tri Asmaini, Harimau Sumatera kembali tertangkap di Nagari Gantung Ciri Solok, Antaranews, 28 Juni 2020
Sumber: Mongabay/Zenwen Pador
0 Komentar