Mencairnya Salju Abadi Terakhir Papua

Puncak Jaya yang direkam melalui citra satelit pada 5 Desember 2017. Foto: NASA

Gletser Papua atau lapisan besar es, satu-satunya gletser tropis yang ada di Pasifik Barat yang berada di antara Pegunungan Andes, Amerika Selatan, dan Pegunungan Himalaya di Asia, akan hilang dalam kurun waktu satu dekade.

Gletser Papua yang disebut sebagai salju abadi ini akan mencair bahkan tidak lebih dari sepuluh tahun. Penyebabnya adalah pemanasan global dan dampak perubahan iklim. Sulit untuk bisa menyelamatkan atau mempertahankan gletser Papua, namun yang bisa dilakukan minimal adalah terus menerus lakukan monitoring.

KLHK menilai, mencairnya gletser Papua perlu dilakukan kajian kerentanan risiko dan dampak perubahan iklim pada ekosistem pegunungan, baik sosial maupun ekosistemnya, dengan meluaskan lagi kajian adaptasinya.

Pernah dengar salju abadi di Indonesia? Keabadian itu disematkan pada gletser atau lapisan besar es di puncak gunung dekat Pegunungan Puncak Jaya, Papua. Satu-satunya lapisan es yang dimiliki Indonesia.

Di wilayah ini terdapat puncak Carstenz, puncak gunung tertinggi di Indonesia dan masuk World Seven Summit atau tujuh puncak tertinggi dunia yang menjadi tujuan para pendaki gunung. Gletser Papua juga merupakan satu-satunya gletser tropis yang ada di Pasifik Barat, antara Pegunungan Andes, Amerika Selatan, dan Pegunungan Himalaya di Asia.

Namun dalam waktu dekat, julukan salju abadi itu akan hilang. Dari tahun ke tahun, ketebalan es di puncak Papua terus mencair. Oleh para peneliti, gletser ini diperkirakan akan mencair dan hilang tahun 2025. Bahkan, mencairnya es bisa saja lebih cepat dari yang diperkirakan.

Raden Dwi Susanto, peneliti dari University of Maryland, mengatakan hasil ekspedisi tahun 2010 ketika dilakukan pengukuran, menunjukan ketebalan lapisan es sekitar 26-30 meter di Puncak Soekarno dan Soemantri. Kecepatan pengurangan luas gletser Papua merupakan dampak pemanasan suhu global dan kondisi iklim ekstrim El Nino dan La Nina. Apalagi ketika terjadi El Nino di 2015 dan 2016 lalu, pengurangan luasan es terjadi lebih cepat.

“Suhu udara dan curah hujan sangat besar pengaruhnya. Gletser atau gunung es Papua akan menipis dan hilang, mungkin juga tidak akan sampai 10 tahun,” kata Dwi Susanto saat menjadi pembicara diskusi virtual “The Last Glacier in Papua”, yang digelar Mapala Universitas Indonesia, Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional, dan KPBB [Komite Penghapusan Bensin Bertimbel], Rabu, 10 Juni 2020.

Saat ekspedisi gletser Papua tahun 2010 itu, Dwi masih menjadi peneliti dari Columbia University. Riset itu merupakan kerja sama histori iklim [paleoklimatologi] dan lingkungan berdasarkan ice core atau inti es di Pegunungan Puncak Jaya, yang dilakukan bersama Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika [BMKG] dengan Byrd Polar and Climate Research Center [BPCRC] di The Ohio State University [OSU], dan Lamont Doherty Earth Observatory [LDEO] di Columbia University, USA, serta PT. Freeport Indonesia.

Baca Juga: Papua, Pulau Dengan Spesies Tumbuhan Paling Banyak di Dunia

Sebelum menjelaskan kondisi gletser Papua, Dwi memberikan gambaran suhu permukaan laut di dunia. Sementara, permukaan air laut Indonesia berada di kolam panas pasifik barat atau West Pacific Warm Pool [WPWP]. Dwi juga menjelaskan kondisi iklim ekstrim di Indonesia seperti El Nino dan La Nina yang bisa menyebabkan kekeringan dan kebakaran hutan serta banjir, berdampak pada pencairan gletser Papua.

“Pengurangan luas es di gletser Papua cepat sekali, terutama disebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Antara 2010 dan 2015, lapisan es yang menyambungkan dua sisi gunung, pada bagian tengahnya mulai hilang.”

Kondisi glacier di sekitar Puncak Jaya yang direkam melalui citra satelit pada 3 November 1988. Foto: NASA

Strategi mitigasi dan adaptasi

Sri Tantri Arundhati, Direktur Adaptasi Perubahan Iklim, KLHK, pada diskusi tersebut banyak menjelaskan strategi mitigasi dan adaptasi ketika gletser Papua mencair. Menurutnya, perubahan iklim adalah masalah global, walaupun sudah banyak upaya mitigasi, tetap saja suhu global akan meningkat.

Dia menjelaskan, melelehnya gletser Papua efeknya bisa banyak, naiknya permukaan air laut, sistem hidro meteorologi berubah, hingga curah hujan dan gelombang, serta dampaknya terhadap ekosistem kita. Apalagi Indonesia sebagai negara kepulauan, pasti banyak mengalami dampak, terutama terhadap kenaikan muka air laut. Iklim ekstrim akan lebih sering terjadi kalau kita tidak berupaya melakukan upaya adaptasi.

Tantri menyebut mencairnya gletser Papua memiliki dampak negatif yaitu biota ekosistem air tawar akan dipengaruhi perubahan kuantitas dan waktu limpasan air dari gletser dan pencairan salju. Air gletser turun, aliran sungai menjadi lebih bervariasi, suhu air dan stabilitas saluran secara keseluruhan meningkat, dan habitat menjadi kurang kompleks.

Gambaran gletser yang terus menipis terlihat dari foto yang diambil sejak 2010. Sumber: Jurnal PNAS, 9 Desember 2019


Walau memiliki dampak negatif, risiko dan dampak perubahan iklim pada ekosistem pegunungan tetap ada dampak positifnya. Sebut saja bermanfaat bagi beberapa spesies tanaman dan ekosistem di beberapa kawasan, meningkatnya sejumlah layanan ekosistem, seperti ada habitat baru untuk spesies tanaman endemik dan meningkatkan produktivitas tanaman. Meski demikian, perlu kajian lebih lanjut terkait gletser di Papua, baik penyebab pencairan, dampak terhadap ekosistem juga terhadap masyarakat di wilayah tersebut.

“Bila ada yang melakukan tentu sangat baik kaitannya dengan ketahanan masyarakat sekitar,” ucapnya.

Tantri menuturkan, perlu perencanaan adaptasi terintegrasi dengan pembangunan wilayah. Tujuannya, mendukung dan meningkatkan pengelolaan sumber daya air untuk berbagai sektor, baik penduduk, pertanian, energy, dan ekosistem. Juga perlu ada tata kelola pemerintahan yang efektif untuk mengurangi risiko bencana terkait iklim; tata ruang, kependudukan, hingga pengurangan kemiskinan.

“Serta perlu kerja sama antarlembaga daerah pegunungan dan daerah aliran sungai lintas batas yang berpotensi mendukung aksi adaptasi,” urainya.

Tiga mahasiswi anggota tim The Women of Indonesia’s Seven Summits Expedition Mahitala Unpar (Wissemu) saat di puncak Cartenz Pyramid, Pegunungan Jayawijaya (Indonesia) berketinggian 4.884 meter di atas permukaan laut, beberapa waktu lalu. Foto: Tim Wissemu Unpar

 Dalam diskusi, hadir juga Farida Lasida dari Mapala Universitas Indonesia, yang lebih banyak memberikan kesaksian ketika melihat kondisi lapisan gletser. Farida yang sudah menginjakkan kaki di pegunungan Elbrus [Rusia] dan Kilimanjaro [Tanzania] itu, juga menyebut penumpukan sampah di lokasi Lembah Kuning.

“Tahun 2018 saat mendaki, sampahnya banyak sekali, mulai tenda, ember, kompor minyak tanah, hingga styrofoam yang ditinggalkan begitu saja. Untungnya saya sudah dapat update bahwa teman-teman pemandu telah melakukan pembersihan menggunakan helikopter. Sampahnya diangkut menggunakan jaring,” ujarnya.

Farida juga melihat bagaimana pengaruh kegiatan pertambangan, karena gletser Papua masuk dalam kawasan Taman Nasional Lorentz, sementara area pertambangan makin meluas ke arah taman nasional.

“Ini di luar pengetahuan saya, yang sedikit sekali bagaimana dari sisi regulasinya,” terangnya.

Donaldi Permana, peneliti dari BMKG yang ikut ekspedisi tahun 2010, memberikan tanggapan. Menurutnya, pemanasan global sudah terjadi. Berdasarkan perhitungan, paling lama dalam 10 tahun ke depan atau bahkan bisa lebih cepat, gletser Papua akan hilang. Apalagi jika sering terjadi El Nino, lapisan esnya akan lebih cepat habis.

“Sulit untuk menyelamatkan atau mempertahankannya, minimal kita terus memantau. Gletser ini satu-satunya di Indonesia,” tutup Donaldi.

Sumber: Mongabay/Christopel Paino

Posting Komentar

0 Komentar