Melestarikan Tradisi Tenun Ikat Sumba

Kain tenun ikat khas Sumba dengan berbagai motif dijemur disisi rumah adat. Foto: Shutterstock

Selain terkenal dengan panorama yang memukai dan alam yang masih lestari, Pulau Sumba yang terletak di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), ternyata memiliki warisan leluhur yang patut kita jaga, yakni kain tenun ikat Sumba.

Kain tenun ikat Sumba adalah salah satu bentuk dari kekayaan budaya yang dimiliki oleh Provinsi NTT. Tenun ikat ini merupakan kain nusantara nan eksotis yang diciptakan oleh para seniman tenun (artisan) dari Sumba Timur. Kain tenun ikat Sumba bukanlah kain yang bisa dikerjakan secara sembarangan, yang mengerjakannya pun bukanlah sembarang orang.

Jenis dan corak kain tenun ikat Sumba sudah lama populer karena keunikan cara pembuatannya serta bahan yang digunakan. Motif dan proses pembuatan kain tenun ikat Sumba memerlukan waktu relatif lama, yakni empat hingga enam bulan untuk sehelai kain tenun berukuran lebar.

Daya pikat tenun ikat tradisional itu memang sudah kadung populer sejak berabad-abad lalu, dan tradisinya sebagian masih dijaga oleh para wanita Sumba. Mereka menangani seluruh proses tenun ikat mulai dari memilih motif, mempersiapkan bahan-bahan (benang, pewarna), proses penenunan, hingga pada akhirnya menghasilkan selembar kain.

Upaya menjaga kelestarian nilai kain tenun ikat Sumba

Salah satu upaya yang dilakukan untuk menjaga kelestarian tenun adat ini dilakukan oleh Yayasan Sekar Kawung. Tujuan utama yayasan ini adalah untuk menguatkan akar budaya tekstil di desa Lambanapu dan Mauliru di Sumba Timur, merestorasi lingkungan hidup dengan tanaman-tanaman serat dan pewarna alam, serta membangun fondasi ekonomi berkelanjutan di desa-desa itu dengan menjadikan budaya tenun sebagai poros utamanya.

''Mahalnya tenun ikat Sumba selain dinilai dari pemrosesan yang cukup lama, juga terkait soal nilai dan budaya leluhur tenun ikat itu sendiri. Memang, harganya mahal, tapi kain tenun ikat Sumba nyatanya punya pasar tersendiri,'' jelas Chandra Kirana, Ketua Yayasan Sekar Kawung, dalam diskusi online ''Merawat Alam, Merawat Warisan'', Selasa (22/9/2020).

Ia menjelaskan, di Desa Lambanapu terdapat banyak sekali tanaman kapas yang merupakan bahan dasar kain. Masyarakat yang bekerja sebagai penenun, menggunakan kapas yang akan dipintal menjadi benang. Mereka menanam pohon kapas di sekitar halaman rumah, dekat dengan persawahan atau ladang.

Namun sekarang, Ibu Kirana--sapaan kami kepadanya--menjelaskan bahwa semakin sedikit yang bisa memintal benang dari kapas ini. Mungkin karena proses membuatnya lama dan semakin jarang yang bisa memintal.

''Itu yang kita upayakan agar mereka para wanita muda terus menjaga makna tenun ikat Sumba agar tak lari dari ruhnya. Karena salah satu ruh dari tenun ikat Sumba adalah soal proses pembuatan dan nilai budayanya,'' jelasnya.

Ia juga menyebut bahwa memang ada kendala soal tradisi tenun-menenun ini. Hadirnya kain tenun ikat yang berbahan dasar sintetis yang dijual di beberapa kota di wilayah Sumba, juga nyatanya cukup mendegradasi semangat para wanita-wanita muda Sumba untuk menjaga nilai-nilai leluhur ini.

Namun sekali lagi Ibu Kirana meyakinkan mereka bahwa nilai kain tenun Sumba yang orisinal tak dapat tergantikan oleh apapun, karenanya perlu upaya yang besar untuk menyedarkan masyarakat untuk menjaga warisan budaya tersebut.

Saat ditanyakan soal campur tangan pemerintah daerah untuk menjaga nilai budaya ini, Ibu Kirana menjelaskan dengan berat hati bahwa belum ada sepenuhnya campur tangan pemerintah maupun pihak terkait soal pemberdayaan masyarakat atas budaya kain tenun ikat Sumba.

Hal lain yang menjadi sorotan Yayasan sekar Kawung soal kain tenun ikat Sumba adalah proses pewarnaan yang menggunakan pewarna alami dari pohon atau tanaman yang boleh terbilang cukup langka saat ini dan pohon yang memiliki serat untuk mengikat bahan dasar kain.

Sebut saja beberapa pohon penghasil serat untuk yang tahan kekeringan, seperti Randu Alas (Bombax ceiba), Widuri (Calotropis gigantea), dan Gewang (Corypha gebanga).

Baca Juga: Rammang-Rammang, Keajaiban Alam Pegunungan Kapur Purba Terbesar Ketiga Dunia

Pohon Gewang, seperti dijelaskan Ibu Kirana merupakan pohon yang hanya berbuah atau berbunga sekali seumur hidupnya, kemudian mati. Tumbuhan sejenis palem ini, juga dikenal dengan namanama lain di pelbagai daerah, seperti Gabang (Dayak Ngaju), Pucuk (Betawi), Pocok (Madura), Ibus (Sasak), dan Silar (Minahasa).

Gewang tumbuh menyebar di dataran rendah hingga ketinggian sekitar 300 mdpl. Mampu beradaptasi dan toleran dengan lahan dan iklim kering, seperti halnya di wilayah NTT. Namun syangnya di NTT pohon Gewang saat ini sudah sangat langka.

Ibu Kirana mengatakan bahwa apa yang ia lakukan saat ini adalah bentuk dorongan moral untuk menjaga kekayaan alam dan warisan budaya Indonesia. Sosok yang merupakan seorang konsultan itu juga mengaku kerap melakukan pendanaan mandiri untuk menjelajah beberapa wilayah di Indonesia.

Namun ia juga menyebut ada beberapa pihak yang baik hati yang memberikan dukungan pendanaan atas program maupun kegiatan yang dilakukan Yayasan Sekar Kawung.

Proses penenunan yang memakan waktu cukup lama

Yang menarik, satu lembar kain tenun ikat Sumba memerlukan 42 langkah. Persiapan dan proses pembuatan yang cukup lama itu membuat harga kain tenun menjadi relatif mahal. Lain itu, mahalnya harga kain tenun ikat Sumba juga dipengaruhi juga oleh jumlah orang yang bekerja.


Pekerjaan dimulai dari proses lamihi, yakni proses memisahkan biji dari kapas hingga proses warirumata atau proses penuntasan. Seperti yang dibeberkan Ibu Kirana saat diwawancarai, Sabtu (26/9), beberapa pemrosesan dari awal hingga akhir kain tenun ikat Sumba, antara lain;

Pemintalan benang

Yang pertama tentunya proses pemintalan benang dari pohon kapas. Benang ini yang kemudian dijadikan bahan dasar kain tenun ikat Sumba. Proses ini dikenal dengan nama ''Pahudur''. Kapas asli Sumba juga dikenal dengan sebutan ''Kamba humba'' oleh masyarakat sekitar. Untuk memintalnya, mereka membutuhkan tempurung kelapa dan kin.

Seorang wanita Sumba sedang memintal benang dari kapas. Foto: Yayasan Sekar Kawung

Menggambar motif kain

Selanjutnya sebelum melakukan proses tenun, juga dibuatkan gambar motif tenun dengan menggunakan pensil. Soal waktu menggambar motif, lamanya tergantung rumit dan tidaknya motif yang bakal digambar. Motif ini rata-rata akan diselesaikan dalam kurun sepekan.

Menggambar motif tenun ikat Sumba. Foto: Yayasan Sekar Kawung

Membuat ikatan kain

Selanjutnya ada proses mengikat kain sebelum ditenun. Lamanya mengikat kain tergantung motif yang bakal dibuat. Untuk menjaga ikatan agar tak lepas, lazimnya mereka biasa mengikat dengan tali rafia. Para wanita sumba melakukan ikatan kain secara berkelompok, mereka biasanya menyiapkan sirih pinang sebagai camilan saat melakukan ikatan kain.

Sayangnya, menurut Ibu Kirana, proses ini rentan akan kotoran yang menempel pada kain itu saat diikat, karena para wanita Sumba melakukannya hanya beralaskan tikar. Perlu diupayakan ada tempat khusus yang bersih agar kemurnian dan kebersihan kain terjaga.

Ibu-ibu sedang membuat pola ikatan tenun. Foto: Yayasan Sekar Kawung

''Kami masih melihat mereka melakukan proses ikat kain pada sembarang tempat, terkadang lalu lalang hewan-hewan seperti babi dan anjing, yang tentu saja tempat itu bisa mengotori kain yang sedang dilakukan proses ikatan,'' bebernya.

Menyiapkan pewarna alami

Kemudian proses yang tak kalah penting adalah menyiapkan pewarna alami untuk kain tenun ikat Sumba. Pewarna alami berasal dari beberapa tanaman, sebut saja pohon Mengkudu yang diambil akarnya untuk menciptakan warna merah, dan pohon Nlla yang bisa menghasilkan warna biru alami.

Akar Kombu (Megkudu) yang sudah ditumbuk dicampur dengan daun Loba yang kering, lalu keduanya campur dan dimasukkan ke dalam air. Hasil endapan air tadi kemudian digunakan untuk merendam kain yang akan diwarnai warna merah selama sehari semalam.

Baca Juga: Memicu Adrenalin Dengan Ekstrimnya Arung Jeram di Lampung

Masyarakat juga memanfaatkan kulit pohon dan bunga yang ada di desa itu untuk membuat warna alami kuning kusam pada kain. Kulit pohon akan ditumbuk halus dan dicampur dengan Kemiri yang sudah ditumbuk halus, kemudian diberi air. Lalu kain kemudian dimasukkan dan direndam selama sehari semalam, baru kemudian dijemur.

Kemudian untuk membuat warna biru, pohon Nila yang terdiri atas batang dan daun direndam, lalu air hasil rendaman itu diendapkan hingga menghasilkan warna biru legam. Poses pewarnaan kain untuk warna ini juga sama, yakni direndam selama sehari semalam.

Berbagai bahan baku tenun ikat khas sumba. Foto: Yayasan Sekar Kawung

Masyarakat juga membuat stok pewarna alami ini dan disimpan dalam perkakas yang mereka sebut Indigo. Ibu Kirana menjelaskan bahwa saat ini masyarakat Sumba sudah lebih banyak menyiapkan stok pewarna buatan.

''Hal itu mungkin saja banyak sekali kain yang akan dilakukan pewarnaan. Dan dari kabar yang saya peroleh terakhir, mereka mulai menerima banyak sekali pesanan,'' ungkapnya bangga.

Sumber: GNFI/Mustafa Iman

Posting Komentar

0 Komentar