Pengibaran Bendera 75 Meter oleh 45 Penyelam di Tulamben

17 Agustus diperingati dengan membentangkan bendera sepanjang 75 Meter oleh 45 Penyelam Tulamben. Foto: Mongabay.com

Setelah obyek wisata dibuka kembali di masa pandemi ini, Organisasi Pemandu Selam Tulamben (OPST) menyemangati diri dan antar teman dengan pengibaran bendera bawah laut, pada peringatan kemerdekaan ke-75 Republik Indonesia ini.

Sebanyak 45 penyelam pun turun kembali ke bawah laut Tulamben yang indah, temu kangen dengan satwa laut di sana, Senin (17/08/2020). Mereka adalah pemandu lokal, turis domestik, turis asing yang harus perpanjang liburannya di Bali karena pandemi, dan komunitas penyelam lainnya.

Dimulai dengan pengibaran bendera bawah laut. Nengah Putu, Ketua OPST menjadi pemimpin upacara dan dua rekannya sebagai pengerek bendera, Nyoman Suastika dan Wayan Biseh. Sebuah tali dibentuk kotak, untuk jadi pembatas arena upacara di bawah laut. Bendera berkibar mengikuti arus yang diikatkan di tiang sekitar 7 meter. Setelah bendera di puncak tiang, satu persatu penyelam mencium bendera.

Baca Juga: Kemerdekaan Indonesia dan Upaya Memerdekakan Hutan

Setelah upacara bendera usai, dilanjutkan pengibaran bendera sepanjang 75 meter yang dipegang 45 penyelam berjajar di garis pantai. Kedalaman sekitar 15 meter dan berlokasi di area aman dekat Liberty Ship-wreck, bangkai kapal perang Amerika Serikat yang terdampar di pesisir Tulamben, Kabupaten Karangasem ini.

“Kami mengibarkan bendera lagi sebagai motivasi buat diri sendiri dan pemandu selam di sini biar tidak down karena pandemi ini,” urai Suastika. Dari sekitar 100-150 penyelam per hari, kini setelah obyek wisata dibuka mulai tengah Juli lalu, kunjungan penyelaman hanya 10-20 orang.

Bendera-bendera kecil yang dibawa penyelam dalam pengibaran bendera dan pembentangan bendera 75 meter oleh 45 penyelam di Tulamben, Karangasem, Bali. Foto: OPST/Kadek Suana

Sekitar 50 anggota OPST, warga Tulamben yang terlatih sebagai pemandu selam ini pun kehilangan pekerjaan selama pandemi. Demikian juga puluhan perempuan buruh angkut alat selam seperti tabung, tukang pijat, dan toko-toko penyewaan alat selam.

Ini berdampak pada puluhan hotel dan penginapan yang tergantung pada wisata bahari seperti snorkeling dan diving. Menyelam kembali dan merayakan kemerdekaan diharapkan bisa membangkitkan semangat untuk menghadapi pandemi.

Baca Juga: Kenapa Berbondong-bondong Upacara di Gunung?

Bendera sepanjang 75 meter dijarit dari sisa kain tahun-tahun sebelumnya. OPST cukup rutin buat pengibaran bendera bawah laut. Tak hanya oleh penyelam, juga penyandang disabilitas. Tulamben adalah spot titik langganan pengibaran bendera oleh belasan difabel yang dilatih khusus oleh sejumlah relawan agar nyaman dan aman saat di bawah laut ketika anggota badan mengalami kelumpuhan.

Prosesi pengibaran bendera dibuka dengan pengibaran bendera berukuran kecil oleh penyelam. Foto: Mongabay.com

Setelah beberapa bulan steril dari aktivitas penyelaman, Suastika melihat ada perubahan kondisi bawah laut. “Terumbu karang lebih cepat tumbuh, mungkin karena tidak terganggu dan stres,” lanjut Suastika. Sementara jumlah ikan dan kepadatannya terlihat sedikit berkurang, perkiraannya karena terhentinya aktivitas pemberian makan ikan oleh penyelam tak bertanggungjawab. “Harusnya tidak boleh kasih makan, tapi pas turis ramai, masih ada yang bandel,” keluh pria yang juga Kepala Dusun Tulamben ini.

Namun, keragaman dan mudahnya melihat ikan aneka ukuran di Tulamben masih sulit tertandingi. Snorkeling sekitar 5 meter dari sempadan saja, sudah dapat pemandangan bak akuarium laut. Salah satu penyebabnya, larangan memancing atau menangkap ikan dalam jarak 100 meter dari bibir pantai.

Sulitnya adaptasi warga pesisir

Sebagai warga pesisir dan mengandalkan kehidupan di laut, tak mudah untuk beradaptasi ke aktivitas darat. Hal ini dirasakan sejumlah nelayan dan penyelam.

Bendera sepanjang 75 Meter yang di jahit oleh warga lokal sebagai bentuk optimisme dan motivasi bagi warga pesisir Tulamben. Foto: Mongabay.com

Setelah mengalami goncangan dampak erupsi Gunung Agung pada 2017-2018, pandemi inilah yang terlama, hampir 6 bulan. “Ada niat adaptasi ke pertanian, tapi susah, juga kendala lahan karena sudah milik investor,” sebut Suastika. Salah satu cara mudah menggerakkan ekonomi menurutnya adalah melaksanakan program padat karya seperti proyek infrastruktur pembuatan jalan dan perbaikan, karena bisa menyerap puluhan tenaga kerja lokal.

Para nelayan pencari ikan hias di desa tetangga juga mengatakan sangat sulit beralih pekerjaan ke darat karena seluruh tubuh sepertinya ingin di laut saja. Pekerjaan di darat dirasakan lebih berat. “Susah, tidak punya keahlian bertani, berat sekali nyangkul, pinggang sakit,” tutur Wayan Jabo, salah seorang nelayan pencari ikan hias di Tejakula, Buleleng. Sekitar 20 menit berkendara dari Tulamben.

OPST kini menginjak tahun ke-5. Kelahirannya menandai bangkitnya semangat warga lokal untuk mempelajari laut di pesisirnya, sekaligus sumber ekonomi. Karena selama ini pemandu selam didominasi orang asing atau pemandu dari luar daerah yang hanya singgah sesaat.

Nengah Putu, Ketua OPST mengisahkan, Tulamben sekitar tahun 90an, baru ada 3-4 orang pemandu selam. Dive shop masih berpusat di Sanur. Turis biasanya membawa sendiri pemandu selam dan peralatannya dari Sanur. Warga lokal ketika itu masih jadi penonton atraksi bawah laut di desanya.

Putu sendiri dididik jadi penyelam di tempat kerjanya sebuah dive shop di Sanur. “Rute menyelam turis waktu itu Sanur, Tulamben, Amed, Menjangan, Lembongan,” ujarnya. Namun ia mengakui para penyelam paling senang di Tulamben, desanya. “Arah penyelaman mudah, sejelek apa pun cuaca pasti bisa menikmati bawah lautnya,” katanya tentang stabilnya ekosistem bawah laut Tulamben.

Kini, di Tulamben menurutnya ada sekitar 30 dive shop yang mendidik puluhan pemandu selam lokal. “Memang masih banyak yang pakai pemandu bule tapi kami punya kelebihan menguasai rute bawah laut,” imbuh Putu.

Organisasi pemandu selam lokal ini dinilai Suastika dan Putu sangat penting karena selain eksis, mereka bisa lebih leluasa membuat dan mengusulkan program pelestarian bawah laut untuk menjaga aset desa dan pemerintah daerah ini. Tulamben disebut penghasil PAD Karangasem terbesar kedua setelah Pura Besakih.

Kegiatan yang dirancang adalah mendokumentasi dan memetakan site dive yang ada. Selain itu mengatur jumlah penyelam dalam satu site agar tak terlalu ramai di bawah laut, rehabilitasi karang, dan lainnya.

Kajian Cepat Kondisi Kelautan Provinsi Bali Tahun 2011 yang dilakukan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali dengan beberapa mitranya menunjukkan Karangasem memiliki wilayah laut dengan keanekaragaman hayati dan nilai konservasi yang tinggi.

Data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Karangasem tahun 2013-2014 menunjukkan sekitar 70 ribu orang wisatawan ke lokasi ini setiap tahun. Saat itu, perputaran ekonominya diperkirakan senilai USD 10 juta.

Namun risikonya, menambah tingkat tekanan pada beberapa lokasi penyelaman, misalnya Liberty Ship wreck di Tulamben. Sebuah kajian oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mengukur tingkat kerentanan dari USAT Liberty Shipwreck menunjukkan tingkat korosi yang tinggi akibat paparan udara kering yang dikeluarkan oleh para penyelam dalam jumlah yang sangat masif.

Jumlah penyelam bisa mencapai 100 hingga 150 orang setiap harinya di musim liburan (high season). Karena strategisnya bangkai kapal ini, mereka pernah mengampanyekan #SaveLibertyWreck.

Bangkai kapal perang dunia II ini dinilai makin keropos. Ada bagian yang jatuh, dan ada juga yang tertimbun oleh batu atau pasir, ada pula koral yang patah.

Kapal ini disebut kena torpedo Jepang namun tak tenggelam. Tentara Amerika ingin menarik ke pelabuhan di Singaraja di Bali Utara, namun tak berhasil. Kapal dibiarkan lalu pada 1963 Gunung Agung yang sangat dekat kawasan pesisir ini meletus, mendorong kapal sampai tenggelam di pesisir. Lokasi karam sangat mudah diakses, hanya beberapa belas meter dari pantai dan terlihat di permukaan.

Sumber: Mongabay/Luh De Suriyani

Posting Komentar

0 Komentar