Menahan Diri dari Tuduhan Tanpa Bukti

Banyak diantara kita sangat mudah untuk menghakimi dan memberikan tuduhan tanpa mau memastikan kebenarannya. Foto: Cerpen Koran Minggu 


Lisan pada satu sisi sangat mudah menyayat hati. Seperti pedang tajam yang harus digunakan dengan kedewasaan.
Sebab lisan sangat riskan tuk disalahgunakan. Hingga banyak pihak bisa terlukai olehnya.

Lisan memang beresiko besar jika tidak tepat digunakan. Namun di balik itu, terdapat mashlahat agung yang bisa didapat. Lisan bisa membuai saudara untuk tetap dalam kedamaian. Bisa juga seperti sihir dengan lambaian bayani, yang dapat mengubah pandangan. Pandangan yang sempit menjadi lapang.

Hati yang tersayat takkan pernah hilang bekasnya. Walau sudah terlihat sembuh, tapi luka yang dalam itu takkan terlupakan. Rasa sakit yang pernah ditelan, terus terpatri dalam memori. Enggan sekali tuk terulang.

Baca Juga: Idul Adha: Refleksi Untuk Melepas Dengan Ikhlas

Sebuah fenomena yang sering terjadi dalam masyarakat adalah perihal fitnah. Yakni tuduhan satu pihak pada pihak tertentu, tanpa adanya bukti yang dibenarkan (hoax).

Fitnah diibaratkan seperti anak panah yang melesat dari jarak jauh, tertuju pada seseorang. Hingga yang tertuduh terkoyak hatinya tak berdaya.

Bahkan anak panah itu berasap nikmat menggoda. Mengajak orang lain termakan kabar tuk turut serta menyalakan api fitnah. Api yang akan membakar hangus yang tertuduh.

Begitu kejam hal ini pernah terjadi pada salah seorang Istri Nabi Muhammad. Yakni Sayyidah Aisyah. Tuduhan berbuat keji dengan salah seorang shahabat Shafwan bin Mu'athal.

Sebagai sapu perjalanan, yang kewajibannya menyelamatkan pasukan yang tertinggal robongan. Terlebih ini adalah istri baginda.

Si penyulut api fitnah itu adalah Abdullah bin Ubay bin Salul salah seorang pemuka munafiqin. Hembusan fitnahnya membuat yang tertuduh serta keluargnya tercoreng merah wajahnya dihadapan masyarakat.

Baca Juga: Melihat Sisi Teologis Covid-19

Dan tak sedikit masyarakat yang termakanan isu tersebut. Serta banyak pula yang tak menyadari telah turut membantuk memanasi kabar fitnah. Hingga sebulan lamanya negri itu aneh dengan adanya desas-desus yang tak menentu.

Hingga Allah turunkan sebuah ayat sebagai penentu kebenaran. Yakni dalam surat an-Nisa: 4.

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاء فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَداً وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

"Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka cambuk-lah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali cambukan, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik."

Aturan ini merupakan sebuah norma yang bernilai tinggi dalam tatanan masyarakat. Sebab Fitnah itu menyulut api dalam kerukunan dan kedamaian. Hanya karena lambaian daging tak bertulang ini, bisa memecah belah masyarakat.


Sedari itu, termasuk etika muslim adalah menjaga harta dan martabat satu sama lain. Menyayangi saudara seiman sebagaimana menyayangi diri sendiri. Begitulah Nabi mengajarkan.

Dan Al-Quran sangat mengancam adanya tuduhan tanpa bukti. Terlebih perkara besar seperti zina yang dapat menjatuhkan martabat seseorang.

Baca Juga: Agar Tetap Sehat Saat Banjir Daging Idul Adha

Hal ini yang melatar belakangi disebut sebagai surat An-Nur yang berarti cahaya. Syaikh Ali Ash-Shabuni berpendapat, "Disebut dengan (An-Nur) sebab akan adanya cahaya yang memancar."

Lebih lanjut, "Melalui penetapat hukum-hukum, dan etika-etika islami (dalam bermasyarakat) sebagai bentuk pemeliharaan jalur nasab, dan kehormatan (Manusia). Dan semua ini merupakan bagian dari cahaya Allah yang disebarkan diantara makhluk-Nya. Melalui perantara para Nabi dan Rasul."

Secara ringkas, bahwa Allah hendak memancarkan cahayanya di tengah masyarakat dengan berlakunya hukum-hukum dan etika.

Salah satunya yakni, adanya larangan qadzaf (tuduhan zina tanpa bukti 4 orang saksi). Sebab hal ini merupakan wahyu atau cahaya yang hendak dibumikan.

Selaras dengan hal ini, shahabat Umar bin Khattab menulis pesan untuk penduduk Kufah, "Ajarilah sanak keturunan kalian pada surat an-Nur." (Tafsir Ayat al- Ahkam mina al-Quran: Beirut, Dar ash-Shabuni, 2008 M. Jilid: II, Hal: 4)


Asap yang Menohok


Bara api kecil dalam sekam.

Gundukan sekam tutupi bara kecil itu.

Dengan hembusan perlahan.

Bara kecil itu terus menjalar dengan pasti.

                Hembusan perlahan itu tak terasa.

                Hasilkan luapan asap yang besar.

                Hingga disadari oleh pemilik pekarangan.

                Sangat tajam asap itu tertuju padanya.

Bara api itu adalah fitnah.

Hembusan perlahan itu dari lisan.

Lisan yang mengeluarkan berita menohok.

Menyebar keseluruh penjuru.

                Semakin lama makin memanas.

                Kabar itu makin merah membara.

                Seluruh manusia telah termakan kabar.

                Menyudutkan orang yang dituduh.

Si tengik terus menghembus bara api.

Asapnya terus menyebar penuhi indra penciuman.

Menebar tuduhan kepada pemilik pekarangan.

Hingga ia melemas memakan asap.

                Asap yang menyesakkan dada.

                Datang bertubi-tubi padanya.

                Dari tiap-tiap mulut yang terbawa asap fitnah.

                Dirinya makin tak menentu arah dan pasrah.

Tapi kebenaran tetap keharuman

Hembusan fitnah tetap kebusukan.

Hingga Tuhan tentukan kemenangan.

Dan kebusukan terungkap dengan tragisnya.

            Malu dengan diri sendiri.

            Malu dengan Hujaman anak panah, yang berbalik menusuk diri.

Malu dengan keluarga.

Lebih-lebih malu pada Sang Kuasa.

Solokuro, Jatim, 26 Juli 2020

Posting Komentar

0 Komentar