Pengibaran bendera merah putih terpanjang di puncak Gunung Sindoro. Foto: Pinterest.com/altasl |
“Bulan Agustus sangat erat dengan rasa nasionalisme. Masyarakat Indonesia akan berada dalam euphoria kemerdekaan, bendera merah putih berkibar tinggi menjulang, upacara dilakukan untuk mengingat dan menghormati effort para pejuang. Tapi, apakah upacara harus dilakukan di gunung?“
17 Agustus menjadi hari yang sangat sakral bagi Indonesia. Sebab di hari kemerdekaan dan pembebasan ini, seluruh lapisan masyarakat akan melakukan kegiatan mengibarkan bendera merah putih baik melalui upacara formal ataupun non formal.
Hal ini juga berlaku untuk orang yang gemar melakukan kegiatan outdoor(luar ruang). Biasanya, mereka akan memperingati 17 agustus dengan melakukan upacara di gunung. Menjelang tanggal 17, gunung-gunung mainstream seperti Semeru, Rinjani, Lawu, Prau, Merbabu, Gede dan yang lainnya akan penuh oleh pendaki.
Tidak ada yang salah dari memperingati hari merdeka dengan melakukan upacara di gunung, apalagi jika kegiatan tersebut juga membawa misi konservasi, tentu sangat bagus untuk dilakukan. Mirisnya, beberapa orang mendaki dan mengibarkan bendera di puncak gunung hanya demi memenuhi keinginan untuk mengabadikan momen, sebatas berburu foto bertema kemerdekaan dan mengunggahnya ke media sosial tanpa menilik jauh arti dan tujuan dari mendaki gunung yang sebenarnya. Apalagi menghayati prosesi pengibaran bendera sebagai wujud nasionalisme. Jauh dari semua itu.
Baca Juga: Agustusan di Gunung, Ini Tipsnya
Sebenarnya, prosesi mengibarkan bendera tak harus dilakukan di puncak gunung. Banyak tempat yang bisa dijadikan alternatif. Namun, jika kawan-kawan sudah berniat untuk tetap merayakan kemerdekaan di puncak gunung, maka pastikan untuk tetap aman dan tidak melakukan hal-hal negatif.
Boleh dilakukan, bukan berarti kegiatan ini tak memiliki resiko.. Pendakian massal 17 Agustus saat ini, sangat rentan dengan kemungkinan kerusakan lingkungan dan keselamatan jiwa.
Berbagai resiko tak terduga juga sangat mungkin terjadi. Apalagi, saat ini pendaki dituntut untuk terus memperhatikan protokol kesehatan mendaki saat pandemi. Hal yang menjadikan situasi makin tak menentu, menambah kemungkinan munculnya masalah baru yang seharusnya dapat diminimalisir.
Kepadatan Jalur & Campground
Karena banyak pendaki yang akan menyambangi puncak pada 17 Agustus, Jalur dan Campground akan menjadi sangat padat. Bahkan akan jauh lebih padat dari apa yang kita bayangkan. Di beberapa titik jalur pendakian akan terjadi antrian, parahnya antrian tersebut biasa terjadi di tanjakan-tanjakan dimana pendaki harus beristirahat dan mengatur nafas.
Selain itu, campground akan sangat penuh. Akan sangat sulit mencari tempat yang strategis untuk mendirikan tenda. Jadi kita harus sangat cermat untuk mencari tempat camp yang tak diterpa angin secara langsung atau paling tidak permukaannya datar.
Baca Juga: Simak Protokol Pendakian New Normal Versi Federasi Mountaineering Indonesia (FMI)
Dibalik ramainya jalur dan campground, kita harus tetap menjaga jarak aman agar terhindar dari potensi penyebaran virus.
Banyaknya Pencemaran dan Vandalisme
Human destruction menjadi salah satu ancaman terbesar kerusakan alam yang terjadi di gunung sejauh ini. Semakin banyak pendaki yang melakukan kegiatan secara massal, maka resiko pencemaran dan vandalisme akan semakin besar. Banyaknya sampah, rusaknya jalur, memetik bunga edelweiss, sampai mencoret-coret fasilitas menjadi resiko yang akan terjadi.
Hal ini tentu sangat erat hubungannya dengan kesadaran masing-masing individu. Setiap pendaki memang harus memiliki pengetahuan dasar mengenai konservasi agar muncul kepedulian lingkungan yang tinggi. Sebab, Kerusakan yang terjadi di banyak gunung dilakukan oleh oknum-oknum tak bertanggung-jawab.
Resiko ini tentu sangat mungkin untuk diminimalisir. Maka, setiap kita adalah orang baik yang akan terus menjaga ekosistem hutan dan menghindari terjadinya pencemaran. Saat kita melakukan kegiatan secara massal di gunung, etika lingkungan merupakan hal yang harus dijunjung tinggi setiap individu, dimanapun dan kapanpun.
Dirgahayu Indonesia.
0 Komentar