Jejak Sampah di Destinasi Wisata Sembalun

 

Tumpukan sampah di kebun bambu, tak jauh dari rumah adat dan Bukit Selong. Saat akhir pekan tempat ini ramai dikunjungi oleh wisatawan. Foto: Mongabay.com

Sembalun jadi destinasi paling populer di Lombok. Setiap akhir pekan ramai kawasan ini dikunjungi wisatawan lokal, nusantara, sampai mancanegara. Kehadiran wisatawan ini mendatangkan berkah bagi pengelola wisata, juga membawa masalah baru yakni, tumpukan sampah.

Sampah-sampah menumpuk, sebagian terbungkus karung, dibuang sembarangan di lahan-lahan pertanian, hutan bambu, tebing sampai ke sungai. Tumpukan sampah ini bersumber dari masyarakat Sembalun, maupun wisatawan.

Pada 10 Agustus 2020, Kelompok Perempuan Sembalun Belajar (KPSB) mengundang seluruh kepala desa di kecamatan Sembalun, Camat Sembalun, KPH Rinjani Timur, Taman Nasional Gunung Rinjani, Dinas LHK NTB. Para perempuan ini menuntut para pemimpin dan penanggungjawab kawasan wisata Sembalun mencarikan solusi atas sampah di sana.

Sunardi, Kepala Desa Sembalun Bumbung, mengakui masalah sampah sudah darurat. Selama ini, pemerintah desa rutin gotong royong membersihkan sampah. Pemerintah desa juga pernah membuat program 3R (reduce, reuse, rescycle) tetapi tak berjalan efektif.

Kala mengunjungi Lembah Sembalun, mata akan dimanjakan puncak Gunung Rinjani, Bukit Pergasingan, Bukit Anak Dara, Bukit Nanggi, dan Bukit Sempana. Di lembah-lembah, berada di kaki gugusan bukit itu berjejer rapi lahan pertanian ditanami sayur mayur. Ada kol, seledri, kentang, tomat, cabai, paprika, bawang dan berjagai jenis lain.

Baca Juga: Gedung Pencakar Langit Sebagai Tanda Bahaya Lingkungan Hidup

Kalau mendaki ke bukit-bukit itu, peladangan bak permadani beraneka warna dari daun aneka jenis tanaman. Di dataran lebih tinggi dan kering, deretan pohon bambu jadi pemadangan tak kalah indah. Bambu memagari lahan pertanian di sepanjang jalur menuju Bukit Selong dan rumah adat Sembalun. Bambu di Sembalun, sudah menyerupai hutan. Rimbun.

Pada 2015, Lombok mendapat gelar sebagai destinasi World Best Halal Tourism dan World Best Halal Honeymoon dalam ajang The World Halal Travel Summit/Eshibition di Uni Emirad Arab. Salah satu destinasi andalan adalah Lembah Sembalun, LombokTimur.

Pada 2016, dalam kompetisi Pariwisata Halal Tingkat Nasional, lag-lagi Lembah Sembalun masuk nominasi sebagai top lima finalis. Pada 2019, kembali Lombok sebagai destinasi wisata halal terbaik dunia versi Global Muslim Travel Index (GMTI) oleh lembaga pemeringkat Mastercard-Crescent Rating.

Berbagai penghargaan ini membuat nama Sembalun jadi destinasi paling populer. Setiap akhir pekan ramai dikunjungi wisatawan lokal, nusantara, sampai mancanegara.

Pada Juli-Agustus ini, suhu di Sembalun di bawah 20 derajat celsius. Dingin sampai menusuk tulang. Siang hari pun udara terasa dingin. Kalau berjalan kaki tak akan keluar keringat. Saya memutuskan menjelajahi Sembalun dengan berjalan kaki. Bersama aktivis perempuan Sembalun, Baiq Sri Mulya dan beberapa anak sekolah kami menelusuri “halaman belakang” Sembalun.

“Halaman belakang” ini adalah bagian belakang dari tempat-tempat yang terkenal di Sembalun. Kalau selama ini foto ladang Sembalun ibarat permadani, halaman belakang itu melihat lebih dekat. Kalau hutan bambu Sembalun sering jadi latar berpose, halaman belakang itu bagian hutan bambu di bagian dalam, bukan jalur wisatawan.

Awal Agustus, pertama kami lewati adalah jalur pendakian ke Bukit Pergasingan. Bukit dengan ketinggian 1.700 mdpl ini salah satu paling populer di kalangan pendaki. Pergasingan jadi alternatif pendakian Rinjani.

Bukit yang jadi kewenangan KPH Rinjani Timur, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) NTB ini selalu ramai pada akhir pekan. Dengan perjalanan dua jam, pendaki bisa menikmati pemandangan seindah mendaki Rinjani.

Di gerbang tiket pun pemandangan cukup asri. Pengelola selalu membersihkan jalur. Sampah mulai terlihat ketika melewati rumah penduduk. Beberapa drainase di depan rumah, tidak berair dan sampah plastik. Berbagai merek makan ringan bercampur plastik bening.

Warga mencuci peralatan dapur di aliran sungai yang penuh sampah plastik. Foto: Mongabay.com

Sampah

Setelah melewati permukiman, kami memasuki areal persawahan. Ladang sayur mayur yang ketika dilihat dari Puncak Pergasingan seperti permadani. Warna-warni dari berbagai warna tanaman. Di sinilah potret “halaman belakang” Sembalun mulai terkuak.

Kalau di permukiman sampah masih terlihat bercecer, di sini sampah mulai bertumpuk dalam bungkusan karung. Sampah dibuang begitu saja di pematang lahan tani yang dekat aliran sungai. Sampah terbungkus karung ditumpuk begitu saja di saluran. Di beberapa titik, tumpukan sampah itu membendung aliran saluran drainase yang debitnya kecil.

Baca Juga: Kemerdekaan Indonesia dan Upaya Memerdekakan Hutan

“Sampah dari masyarakat Sembalun sendiri, sampah dari wisatawan, termasuk juga sampah dari hotel-hotel,’’ kata Baiq Sri Mulya.

Sri Mulya meyelesaikan magister bidang lingkungan di Australia, kini menginisasi Kelompok Perempuan Sembalun Belajar. Komunitas perempuan yang berani menyuarakan kondisi krisis lingkungan di Sembalun.

Kami menemukan karung sampah yang sudah sobek. Isi sampah itu terlihat, ada popok. Tampak popok terkumpul banyak ketika karung penuh dibuang ke saluran irigasi.

Karung lain berisi bungkus mie instan, makan ringan (snack), sampo, sabun, dan beberapa plastik tanpa merek. Di saluran lain, sebuah kasur dibuang begitu saja di sungai. Padahal, air sungai itu masih tampak jernih.

Kami menelusuri pematang lahan tani. Di salah satu sudut pertemuan ladang cukup luas jadi tempat tumpukan sampah. Plastik mulsa, untuk menutupi tanahsaat menanam sayuran yang sudah tak terpakai ditumpuk begitu saja di pematang yang lebih luas. Di bagian lain, plastik mulsa dibuang di saluran irigasi.

“Setiap tahun berton-ton plastik mulsa dibawa ke Sembalun, setelah dipakai dibuang di sini. Diperkirakan tahun ini ada 3.000 ton plastik mulsa,’’ kata Mulya.

Selain tumpukan sampah plastik mulsa, di lahan pertanian yang menjadi ikon pariwisata Sembalun itu bertebaran juga plastik makanan ringan. Ada juga botol sisa bahan kimia.

Plastik bungkus pupuk, botol obat-obatan untuk tanaman, botol insektisida, dan berbagi merek obat-obatan pertanian. Selain ditumpuk begitu saja di pematang, sebagian dibuang ke saluran irigasi.

Kami melanjutkan perjalanan ke jalur yang biasa dilewati untuk pendakian ke Bukit Anak Dara. Jalur ini bukan semata jalur wisatawan, juga warga ke ladang, dan kebun. Jalur ini lebih kering, berbukit, dan banyak bambu.

Dari kejauhan deretan bambu terlihat indah, begitu mendekat, di rumpun bambu itu bertumpuk karung. Lagi-lagi, berisi sampah. Sampah plastik menutupi bibit bambu (rebung). Sampah plastik ibarat ornamen tambahan di rumpun bambu itu.

Menuju perumahan adat Sembalun, yang satu kompleks dengan Bukit Selong, bambu adalah pemandangan utama. Rumpun bambu di sini terkenal karena masyarakat memberikan “sarung.” Setiap rumpun bambu diberi pagar pembatas, dari bambu juga.

Bambu sangat tertata rapi dengan pemberian pagar. Tidak seperti kebun bambu biasa, di Sembalun tertata. Setiap rumpun saling berhadapan dan membentuk lorong.

Rumpun bambu juga menjadi hiasan di pinggir jalan, antara satu rumpun dengan rumpun lain menyatu bagian pucuk. Bagi pejalan yang melewati jalur ini akan terlindungi dari panas.

Pemandangan indah itu hanya di jalur yang dilewati wisatawan. Begitu masuk ke bagian lebih dalam, tumpukan sampah menghalangi jalan. Bukan lagi sampah plastik dalam karung, tetapi sampah plastik dan organik bercecer. Kebun bambu jadi lokasi pembuangan sampah. Layaknya tempat pembuangan akhir (TPA).

Sungai yang melintas di dekat bambu itu juga penuh tumpukan sampah plastik. Sampah plastik membentuk timbunan, seperti gunung. Di atas timbunan itu sapi milik warga mengais makanan. Tampak perut sapi-sapi buncit. Tidak jarang sapi memakan plastik dan sisa sampah organik.

Kalau haus, sapi-sapi itu tidak perlu berjalan jauh, atau pemilik repot menyiapkan air. Mereka tinggal minum di aliran sungai, yang saat sama dimanfaatkan warga setempat. Warga masih mencuci pakaian, peralatan rumah tangga di aliran sungai itu. Air jernih, menyedihkan banyak sampah.

Baca Juga: Hidup Mati Ranger Untuk Hutan Leuser

Di jalur pendakian Bukit Inspirasi, termasuk jalur pendakian Rinjani, tidak luput dari tumpukan sampah. Sampah-sampah di dalam karung lalu ditinggalkan begitu saja di pinggir jalan. Sebagian karung tampak baru, sebagian sudah lapuk dengan isi utuh. Sandal dengan tulisan nama hotel pun ada di dalam tumpukan karung itu. Pegiat sosial Qudus menunjukkan paving blok yang dibuat dari sampah plastik. Dia pernah gagal panen karena sawahnya dipenuhi sampah plastik dan popok.Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

Ciptakan bencana

Abdul Qudus, pegiat literasi di Lombok. Dia masih ingat peristiwa memilukan itu. Qudus tanam kol dan siap panen. Calon pembeli sudah ada. Dua hari sebelum panen hujan turun berturut-turut. Qudus agak cemas, jangan sampai air irigasi masuk ke kebunnya. Dia tahu banyak saluran irigasi mampet karena sampah.

Qudus membuang jauh-jauh pikiran itu. Dia berpikir, petani lain akan membuka saluran kalau tersumbat sampah. Hingga pada hari H panen, Qudus membawa perlengkapan untuk panen.

Sesampai di kebun Qudus langsung tercengang. Dia melihat hamparan tanaman kol berwarna putih. Sebagian besar kol tertutupi popok bekas. Lutut Quduslemas. Qudus menitikkan air mata.

“Rusak semua. Sudah tercemari oleh popok,’’ katanya.

Kol gagal panen, Qudus harus membersihkan ladang dari sampah plastik. Sebagian besar popok. Ketika hujan lebat, karung yang sudah lapuk terhambur. Isinya keluar, itulah yang masuk ke ladang Qudus.

Pengalaman buruk itu pula yang jadi motivasi Qudus dan teman-teman mengolah sampah plastik di Sembalun. Dia mengolah sampah plastik jadi paving blok. Bukan untuk bisnis, mereka ingin mengurangi tumpukan sampah.

Qudus tahu, kalau metode pembakaran untuk menghasilkan paving blok itu tidak baik, tetapi dalam kondisi krisis perlu aksi nyata. Sampah yang dibuang sembarangan sudah mengkhawatirkan.

Qudus mengantar kami ke lokasi pembuangan sampah, di salah satu rumpun bambu. Dia bilang, sebulan lalu sudah pernah dibersihkan. Dia mengambil sampah plastik dan jadikan paving blok. Tak perlu waktu lama, kembali penuh dengan tumpukan sampah.

Dalam lima tahun terakhir wisatawan yang berkunjung ke Sembalun meningkat pesat, paling banyak lokal. Mereka tidak mendaki, tetapi liburan menikmati keindahan alam Sembalun.

Mereka datang memetik stroberi, sekadar berfoto, menginap di homestay. Ada juga wisatawan mendaki bukit-bukit di Sembalun. Di akhir pekan, bisa mencapai ribuan.

“Kemana sampah mereka?” tanya Qudus.

Selain sampah dari masyarakat Sembalun, sampah dari wisatawan juga menambah beban. Kabupaten Lombok Timur memiliki TPA di Ijobalit. Perlu waktu 1.5 jam dari Sembalun.

Dengan jalan curam, perlu waktu lebih lama. Tak ada armada pengangkutan sampah dari Sembalun ke TPA. Desa-desa di Sembalun, termasuk Kecamatan Sembalun, belum memiliki TPS. Akhirnya, sampah-sampah itu dibuang ke tempat yang kira-kira luput dari pandangan mata.

“Area kuburan pun jadi lokasi pembuangan sampah,’’ kata Qudus.

Perputaran uang dari wisata di Sembalun, cukup besar, bisa ratusan juta rupiah di akhir pekan saja. Qudus juga meminta para pelaku wisata ikut bertanggungjawab. Sampah dari tamu mereka harus ada solusi. Bukan malah ikut membuang sembarangan.

Baca Juga: Kisah Mistis Beberapa Gunung Yang Dipercaya Masyarakat

Hotel, homestay, restoran, pengelola pendakian, termasuk juga Balai Taman Nasional Gunung Rinjani, KPH Rinjani Timur harus ikut bertanggungjawab terhadap sampah. Mereka mendapatkan manfaat dari kehadiran wisatawan, tetapi tidak ada solusi atas sampah wisatawan.

Sampah hanya dibersihkan dari halaman mereka, tetapi buang ke “halaman belakang” Sembalun.

“Jangan hanya pikirkan uang,” kata Qudus.

Kelompok perempuan tagih janji pemimpin

Pada 10 Agustus 2020, Kelompok Perempuan Sembalun Belajar (KPSB) mengundang seluruh kepala desa di kecamatan Sembalun, Camat Sembalun, KPH Rinjani Timur, Taman Nasional Gunung Rinjani, Dinas LHK NTB.

Para perempuan ini menuntut para pemimpin dan penanggungjawab kawasan wisata Sembalun mencarikan solusi atas sampah di sana.

Hadiana, perwakilan perempuan dari Desa Sembalun Bumbung mengatakan, popok jadi masalah besar di Sembalun. Popok, katanya, pasti dari rumah tangga. Selama ini, yang sering disalahkan ada ibu-ibu rumah tangga. Mereka dianggap membuang popok sembarangan.

Ibu-ibu yang membuang popok di sembarang tempat itu karena tak tersedia tempat pembuangan sementara. Selain itu, tidak ada petugas kebersihan di Sembalun.

“Setiap sungai pasti ada sampah. Popok yang tidak bisa kami atasi,’’ katanya.

Sitradewi dari Desa Sembalun bilang, pemerintah dan pengelola wisata di Sembalun, jangan hanya saling menyalahkan. “Harus ada solusi.” Dia meminta, ada pelatihan pengolahan sampah, baik organik dan plastik.

“Ibu-ibu perlu dilatih mengolah sampah,’’ katanya.

Sunardi, Kepala Desa Sembalun Bumbung, mengakui masalah sampah sudah darurat. Selama ini, pemerintah desa rutin gotong royong membersihkan sampah. Pemerintah desa juga pernah membuat program 3R (reduce, reuse, rescycle) tetapi tak berjalan efektif.

“Setiap Rabu, gotong royong, tapi tidak menyelesaikan masalah.”

Sunardi bilang, selama tiga tahun menjabat kepala desa tidak mampu menyelesaikan masalah sampah. Sampah di Sembalun Bumbung, bukan semata dari warga desa, juga wisatawan.

Dia menunjuk Pusuk Sembalun. Di kawasan milik KPH Rinjani Timur dan dipungut retribusi Dinas Pariwisata Lombok Timur itu penuh tumpukan sampah. Sampah dari pengunjung dibuang begitu saja di tebing, saluran, dan pinggir jalan.

Kadang sampah dikumpulkan dalam kantong plastik, lagi-lagi dibuang ke saluran dan tebing.

“Ketika hujan, sampah itu dibawa turun ke Bumbung,’’ katanya.

Saat ini, Pemerintah Desa Sembalun Bumbung menganggarkan pembelian tungku pembakaran sampah. Dia mengakui ada dampak dari pembakaran itu, tetapi setidaknya bisa cepat mengurangi tumpukan sampah sambil terus mencari alternatif mengatasi sampah dalam jangka panjang.

Lalu Kanahan, Kepala Desa Sajang, juga mengeluhkan sampah. Di Desa Sajang beban ganda, selain tak ada tempat pengolahan sampah, juga krisis air bersih.

Setelah gempa 2018, banyak sumber mata air hilang. Akhirnya, Sajang mengambil air dari Sembalun.

Madani Mukarom, Kepala Dinas LHK NTB bilang, persoalan sampah di Sembalun tidak bisa selesai oleh satu pihak saja. Masyarakat, pemerintah desa, termasuk pengelola wisata juga harus bekerja sama mengatasi persoalan sampah.

Dinas LHK NTB memberikan dukungan fasilitas pengolahan sampah, tetapi ada keterbatasan. Dia berharap, pemerintah desa, terutama pengelola wisata ambil bagian dalam mengatasi masalah sampah.

Sejak Sembalun populer menjadi destinasi wisata, harus diakui ada peningkatan kesejahteraan. Meski begitu, dampak ikutan seperti sampah harus dipikirkan. “Harus jadi prioritas.”

Dedy Asryady, Kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani bilang, sampah di Rinjani jadi sorotan luas. Sebagai tujuan wisata favorit, Rinjani selalu jadi perhatian publik. Balai TNGR sebagai pengelola mengajak kelompok masyarakat untuk membantu mengatasi sampah. Secara rutin mereka membersihkan sampah dari gunung, dan mengontrol sampah yang dibawa naik dan bawa turun. Hanya, setelah sampah itu terkumpul di Kantor Balai TNGR kesulitan juga untuk mengolah.

“Harus dikelola dari hulu sampai hilir. Kami nanti kerjasama dengan satu kelompok untuk bawa turun sampah dari gunung, dan satu kelompok yang akan mengolah setelah dibawa turun.”

Sumber: Mongabay/Fathul Rakhman

Posting Komentar

0 Komentar