Ingat, Puncak Tak Akan Pindah Kemana-mana

Evakuasi pendaki yang kelelahan saat summit attack Rinjani. Foto: Viapendaki.com

Istilah yang sering dipakai oleh pendaki kawakan untuk menenangkan diri saat mulai kelelahan. Agar tidak mendaki dengan tergesa-gesa. Agar tidak memaksakan diri saat sudah kelelahan, saat tubuh sudah tak mampu, yang jika dilanjutkan justru akan membahayakan diri sendiri.

Mendaki memang termasuk dalam olahraga yang sangat berbahaya. Pasalnya, seluruh resiko cedera terdapat dalam pendakian. Bahkan, kemungkinan kematian juga sangat dekat dan kerap menghantui para pendaki.

Tersesat, kelelahan, tergelincir ke jurang, sampai hypothermia menjadi resiko mematikan bagi pendaki yang melakukan pendakian. Berbagai peristiwa buruk dan kabar duka juga sering kita dengar menyelimuti dunia pendakian kita dewasa ini.

Banyak faktor penyebabnya, namun hal yang paling sering terjadi adalah akibat kelelahan.
Beberapa waktu lalu, kita kembali dikejutkan dengan kabar duka yang datang dari Gunung Lawu. Sena Angga Adisanjaya (26), Menutup usia di Jalur pendakian Gunung Lawu via Cemoro Sewu. Survivor asal Wonoharjo tersebut, meninggal minggu dini hari 24 Agustus 2020 karena kelelahan dan kedinginan.

Kemudian yang pernah viral di media sosial dan masih kita ingat namanya hingga saat ini, Thoriq Rizki Maulidan . pendaki asal tersebut dinyatakan hilang sebelum akhirnya ditemukan sudah meregang nyawa di Gunung Piramid pada 5 Juli 2020. Setelah jenazah di autops, Bacah SMP tersebut ternyata meninggal karena kelelahan sehingga terpeleset dan tersangkut di batang pohon.

Kabar duka juga datang dari Sulawesi. Andi Muhammad Fitrah (15) Anggota Siswa Pencinta Alam (Sispala) Kalpataru, Sekolah Menengah Atas 1, Makassar meninggal dunia di kaki Gunung Kantisang. Siswa jurusan IPS tersebut, meninggal akibat kelelahan. Ia sempat mengeluh sakit dan kelelahan sebelum akhirnya kejang-kejang dan menutup usia.


Ironisnya, masih banyak lagi rentetan peristiwa sejenis yang tentu membuat dunia pendakian semakin menakutkan. Peristiwa sama yang muncul setiap tahun. Dari awal, memaksakan diri memang tidak baik dan sangat berbahaya. Dalam bidang apapun itu, apalagi pendakian.

Pendakian merupakan olahraga yang membutuhkan fisik sehat dan mental kuat. Foto: Viapendaki.com

Maka, pendakian bukanlah olahraga yang bisa dilakukan dengan sembarangan. Diperlukan pengetahuan dasar dan juga kekuatan fisik serta mental yang kuat untuk bisa mencapai puncak dan kembali dalam keadaan sehat serta utuh.

Ini sebabnya, saat lelah sudah menerpa tubuh. Kaki mulai lemas, pernafasan tidak beraturan, tubuh terasa makin berat. biasanya pendaki kawakan akan terus mengucapkan ungkapan ini baik ke diri sendiri maupun kepada rekan pendakiannya. Tujuannya satu, agar tetap mawas dan tidak memaksakan diri. Toh, puncak gunung tak akan pindak kemana-mana.

Jika Kelelahan, STOP!

Berbagai peristiwa naas di atas memiliki persamaan yang pasti, pendakian yang merenggut nyawa seseorang itu berawal dari kelelahan.

Jika tubuh sudah lelah, banyak sekali kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Pandangan kabur, halusinasi, dan badan sempoyongan menjadi salah satu faktor pendaki tergelincir ke jurang. Apalagi, jika pendaki tersebut memiliki riwayat penyakit dalam, tentu akan meningkatkan kemungkinan kambuh dan makin memburuk.


Biasanya, scenario awal dimulai ketika pendaki gengsi untuk bilang capek kepada rekannya sendiri. padahal, justru ini yang akan sangat membahayakan diri. jadi, saat melakukan pendakian jangan gengsi untuk bilang capek. Rekannya juga harus saling mengerti jika ada anggota kelompok yang sudah terlihat kelelahan.

Intinya, saat tubuh sudah kelelahan, stop. Jangan memaksakan diri, istirahat akan sangat berguna untuk tetap menjaga stamina dan juga aklimatisasi tubuh. Jika sudah tidak kuat melanjutkan pendakian, cari medan landai dan buat camp. Pendakian bisa dilanjutkan esok hari saat tubuh sudah fit kembali. Namun, kita gejalanya tidak hilang maka menghubungi ranger dan turun menjadi keputusan yang lebih baik.

Tujuannya adalah Pulang dengan Selamat

Sebenarnya, tujuan naik gunung memang untuk menuju puncak. Trekking dengan membawa beban berat rasanya akan terbayar lunas dengan mencapai titik tertinggi gunung, melihat panorama sekitar dari ketinggian.


Namun, ada hal yang lebih fundamental untuk diperhatikan dari pada sekadar mencapai puncak, ‘pulang dengan selamat dan sehat’. Hal ini justru lebih penting dibandingkan apapun. Sebab, kesempatan untuk naik gunung bisa kita rencanakan lagi, tetapi kesempatan hidup hanya kita peroleh satu kali.

Maka, kita harus sangat mengenal diri sendiri, mulai dari batas kemampuan sampai berbagai hal khusus yang dibutuhkan tubuh dalam keadaan tertentu. Jadi, saat memutuskan untuk mendaki, kita punya ukuran pasti kapan harus berhenti dan kapan harus lanjut.

Posting Komentar

0 Komentar