Hidup Mati Ranger untuk Hutan Leuser

Para ranger berpatroli menyusuri hutan Leuser selama 15 sampai 23 hari setiap bulannya . Foto: Mongabay.com

Berhari menyusuri hutan tropis Kawasan Ekosistem Leuser [KEL] yang kadang menanjak, menurun, bahkan melewati rawa. Derasnya air sungai juga harus diarungi dengan beban di punggung hampir 50 kilogram. Itu semua merupakan perjaan berat.

Namun, ada sekelompok orang yang bekerja sepenuh hati melakukan tugas mulia tersebut. Mereka adalah Ranger. Satu tujuan utama mereka, menjaga hutan Leuser yang merupakan paru-paru dunia tersebut aman dari kegiatan ilegal, khususnya perburuan, perambahan dan pembalakan.

Dengan jumlah empat sampai lima orang dalam satu tim, didampingi polhut dari Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK)] Aceh atau dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh, mereka patroli selama 15 hingga 23 hari setiap bulannya.

Tidak hanya mengamankan Leuser, Ranger juga bertugas mencatat jejak, sarang, kotoran ataupun pertemuan langsung dengan satwa, selain tentunya memasang kamera jebak. Mongabay Indonesia telah dua kali mengikuti patroli yang dilakukan oleh Ranger Forum Konservasi Leuser [FKL] ini. Sebuah tantangan luar biasa.

Baca Juga: Berkemah Menyaksikan Panorama Ranukumbolo, Ingat Aturan Ini

“Ranger ada 28 tim. FKL merekrut mereka dari masyarakat setempat, baik itu warga biasa, mantan pasukan Gerakan Aceh Merdeka [GAM], maupun mantan pemburu. Masyarakat lokal harus dilibatkan menjaga hutan Leuser di Aceh luasnya mencapai 2,25 juta hektar,” terang Muhammad Isa, Direktur Forum Konservasi Leuser dalam “Bincang Alam Mongabay Indonesia”, Minggu [8 Agustus 2020].

Ranger addalah pasukan terdepan penjaga hutan Leuser dari kerusakan. tampak jerat satwa yang didapat saat patroli dilakukan di hutan Leuser. Foto: Mongabay.com

Lelaki yang kerap disapa Teungku Isa itu mengatakan, mantan pasukan GAM penting diajak bergabung karena mereka cukup lama menjadikan Leuser sebagai tempat tinggal. Mereka sangat paham akan segala kondisi hutan, mengerti arah perjalanan dan wilayah terjal.

“Yang membedakan mantan GAM dan pemburu hanya tujuan hidup mereka. GAM urusan idiologi, sementara pemburu karena kebutuhan hidup, tinggal bagaimana memberikan pemahaman saja agar sama-sama menjaga Leuser.”

Ranger mengumpulkan semua data dalam Smart Patrol atau patroli pintar. Aplikasi ini juga dikembangkan berdasarkan pengalaman praktis. Dirancang untuk membantu mengelola kawasan hutan sebagai bentuk aksi konservasi. “Ketika patroli hutan yang dilakukan semua lembaga digabungkan, akan menjadi data yang bisa dimanfaatkan oleh pemerintah atau pihak terkait, terlebih untuk penegakan hukum,” jelasnya.

Baca Juga: Penjaga Bumi dari Lampung Barat

Ranger FKL telah menggunakan Smart Patrol sejak 2015, hasilnya akurat karena datanya cukup lengkap. Aplikasi ini juga menghasilkan output berupa peta, grafik, dan tabel.

“Kami telah mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi, dan melaporkan hasil kegiatan pengelolaan di lapangan. Leuser harus kita jaga karena jutaan orang menggantungkan hidup dari hutan luar biasa ini, khususnya sebagai sumber air,” ungkapnya.

Cerita Ranger

Dahlawi yang menjadi Ranger sejak 1998 mengatakan, pekerjaan yang ia lakukan ini sungguh penuh tantangan. “Meski bahaya mengintai dan nyawa terancam, kami harus menjaga Leuser, yang telah diwariskan nenek moyang kami.”

Menjadi ranger untuk menjaga ekosistem hutan menjadi tugas yang sangat mulia. Foto: Mongabay.com

Dia tidak dapat menahan air mata, menceritakan pengalaman pahitnya saat berpatroli di Leuser 2012 silam. Seorang Ranger yang cukup berpengalaman dan dianggap sebagai guru, meninggal di pangkuannya.

“Saat patroli memasuki hari  ke lima, kami berada di daerah Bengkung. Siang itu, tiba-tiba Cek Tamrin sesak nafas. Kami putuskan membangun tenda dan beristirahat, karena ia tidak sanggup berjalan. Sedih, malamnya beliau meninggal.”

Dahlawi menambahkan, karena mereka hanya empat orang, tidak mungkin membawa jenazah pulang saat itu juga. Akhirnya, ia mencari bantuan agar almarhum bisa diangkut.

“Saya berjalan sejak malam beliau meninggal dan baru tiba ke permukiman penduduk besok siangnya. Jangan tanya bagaimana saya bisa berjalan secepat itu, dan jangan tanya berapa bungkus rokok saya habiskan malam itu juga,” kenangnya.

Baca Juga: Kisah Mistis Beberapa Gunung Yang Dipercaya Masyarakat

Dahlawi yang merupakan putra asli Trumon, Kabupaten Aceh Selatan, mengaku sangat sedih dengan kondisi KEL saat ini, termasuk Taman Nasional Gunung Leuser.

Menjadi ranger harus siap dengan berbagai tantangan dan rintangan. Foto: Mongabay.com

“Hutan dirambah akibatnya banjir dan tanah longsor datang. Konflik manusia dengan satwa liar juga terjadi karena habitat satwa liar dirusak. Kami, para Ranger terus berpatroli, menjaga satwa tidak diburu dan hutan tidak dirusak,” tutur ayah tiga anak.

Lain halnya dengan Hendra Saputra yang bergabung menjadi Ranger pada 2008. Sebelumnya, dia merupakan salah satu pimpinan pasukan GAM di Kabupaten Aceh Tenggara. Istrinya juga pasukan GAM, pernikahan mereka dilangsungkan di hutan.

Setiap bulan, Hendra bersama tim Ranger menyusuri hutan Bengkung yang membatasi TNGL dengan hutan lindung. Kawasan ini sangat penting untuk diselamatkan karena lintasan satwa yang berpindah dari Suaka Margasatwa Rawa Singkil ke Taman Nasional Gunung Leuser. Kedua kawasan konservasi ini dihubungkan koridor satwa Trumon dan hutan Soraya.

“Saat berpatroli, semua kejadian tidak pernah kami lewatkan.”

Dia mengatakan, menjaga Leuser dan seluruh isinya bukan hal gampang. Tim patroli bisa terluka atau bahkan kehilangan nyawa jika tidak hati-hati.

“Kami tidak tahu di mana pemburu memasang perangkap. Yang paling berbahaya adalah perangkap gajah, ada yang beracun dan ada yang dipasang di atas pohon. Pemburu pun, sering membawa senjata dengan peluru kaliber 5,5 mm.”

Baca Juga: Melihat Harmoni Gajah di Taman Nasional Way Kambas

Hendra juga mengenang mantan komandannya saat di GAM, Salman Panuri atau Ucil, yang menghembus napas terakhir saat berpatroli di hutan Leuser, pada 10 Mei 2018 silam.

“Salman bergabung menjadi Ranger setelah konflik bersenjata di Aceh berakhir. Dia berpatroli melalui Aceh Tenggara. Namun, ganasnya arus Sungai Bengkung telah merenggut nyawanya. Dia sangat berkomitmen Leuser yang pernah sama-sama kami jadikan sebagai rumah,” tutur Hendra.

Penjaga Leuser

Ranger adalah bagian tidak terpisahkan dari KEL, wilayah penting dengan keanekaragaman hayati tinggi. Harimau, gajah, orangutan dan badak sumatera hidup di sini.

KEL disahkan 1995 melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 227/Kpts-11/1995 yang  diperkuat oleh Keputusan Presiden Nomor: 33 tahun 1998. Terbentuknya Unit Manajemen Leuser sebagai lembaga yang bekerja di Leuser, turut berpengaruh pada pembentukan Ranger alias penjaga hutan, yang mulai direkrut sejak 1998. Namun, pada 2005 hingga 2007, Yayasan Leuser International [YLI] mengambil alih keberadaan Ranger di KEL.

Jerat dari pemburu harus terus dibongkar agar tidak mengganggu ekosistem hutan. Foto: Mongabay.com

Ranger kembali beralih lembaga pada 2007, di bawah Badan Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser [BPKEL] yang dibentuk Pemerintah Aceh pada 2006. Namun, BPKEL tidak bertahan lama, pada tahun 2012, terjadi pergantian Gubernur, Irwandi Yusuf harus menyerahkan kepemimpinannya kepada Zaini Abdullah.

Tidak lama setelah Zaini Abdullah menjabat, BPKEL dibubarkan. Sejumlah staf berpencar, namun Ranger yang masih patroli di hutan tidak mengetahui perubahan tersebut.

“Tidak lama setelah BPKEL dibubarkan, beberapa mantan staf membentuk Forum Konservasi Leuser [FKL], untuk menjaga eksistensi Ranger. Mereka mendukung rencana pembentukan lembaga non pemerintah tersebut, meski awalnya Ranger berpatroli dengan biaya sendiri,” tutur Rudi Putra, mantan Direktur FKL yang kini menjadi pembina, beberapa waktu lalu.

Rudi menambahkan, Ranger bekerja sama dengan masyarakat menjaga KEL, juga membantu kepolisian dan polisi hutan melakukan penegakan hukum.

Sumber: Mongabay/Junaidi Hanafiah

Posting Komentar

0 Komentar