Gedung Pencakar Langit Sebagai Tanda Bahaya Lingkungan Hidup


 Gedung Pencakar Langit Menjejali Perkotaan. Foto:Dekoruma.com

Pembangunan selalu memberikan konsekuensi pada lingkungan. Termasuk kehadiran gedung-gedung pencakar langit yang membahayakan permukaan air tanah. Indonesia memang termasuk agresif dalam pembangunan gedung bertingkat. Pertumbuhannya yang pesat mendorong permintaan yang lebih besar akan keberadaan gedung-gedung perkantoran, mal, ataupun kawasan bisnis lainya.

Berdasarkan catatan Council on Tall Buildings and Urban Habitat (CTBUH), Indonesia menempati peringkat kedua Asia setelah Cina dengan penyelesaian pembangunan sembilan gedung.

Gedung-gedung bertingkat terus menjejali perkotaan, sehingga nyaris tak menyisakan ruang hijau. Kondisi ini paling terlihat di ibukota Jakarta. Bangunan-bangunan tinggi di Jakarta kini tak hanya ditemui di kawasan Thamrin, Sudirman dan Kuningan saja.

Di pinggiran seperti kawasan TB Simatupang, BSD, ataupun Sunter pun sudah mulai semarak oleh gedung-gedung bertingkat. Selain Jakarta, kota-kota besar Indonesia juga semakin disesaki oleh gedung bertingkat seperti Surabaya dan Yogyakarta. Di Yogyakarta, kehadiran gedung-gedung bertingkat ini bahkan sempat mendapatkan sorotan karena tingginya berbahaya. Inilah dampak yang disebabkan oleh pembangunan gedung pencakar langit:


Banjir

Maraknya gedung-gedung bertingkat itu tentu saja berdampak pada sisi lingkungan. Berdasarkan hasil penelitian di kawasan Sudirman, Thamrin, dan Kuningan, lebih dari 90 persen kavling perkantoran tanahnya diperkeras baik dengan beton maupun aspal.

Harusnya 30 persen dari bangunan itu tidak boleh diperkeras karena diperuntukkan untuk ruang terbuka hijau.Kalau semua kavling diperkeras, lalu ketika hujan turun maka airnya terbuang ke jalan sehingga tidak heran, jika Ibukota Jakarta sering banjir. Hal ini terjadi karena tidak adanya ruang resapan di sekitar bangunan perkantoran tersebut.

    
Penurunan Permukaan Tanah Di Jakarta Foto: bmkg.go.id

Penurunan Permukaan Tanah

Gedung-gedung tinggi di Jakarta juga membutuhkan air bersih, sementara pasokan air kurang. Akhirnya, para pemilik gedung bertingkat itu melakukan penyedotan air tanah secara besar-besaran tanpa pengawasan.

Akibatnya, penurunan permukaan tanah sangat tinggi. Hasil penelitian konsorsium Jakarta Coastal Defence Strategy (JCDS) menunjukkan, penurunan muka tanah Jakarta sudah terjadi sejak 1974. Pada tahun 2010 disebutkan sebanyak 40 persen wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut, seperti dikutip laman Jakarta.go.id.


Namun, yang lebih mengkhawatirkan, hasil penelitian itu menyebutkan dalam tempo 10-20 tahun ke depan, sekitar 50 persen wilayah Jakarta akan berada di bawah permukaan air laut. Data kuantitatif memaparkan sejak 1974-2010 ditemukan fakta telah terjadi penurunan permukaan tanah hingga 4,1 meter. Itu terjadi di wilayah Muara Baru, Cilincing, Jakarta Utara.

Tidak hanya itu sejumlah wilayah lainnya seperti di Cengkareng Barat mengalami penurunan 2,5 meter, Daan Mogot 1,97 meter, Ancol 1,88 meter (titik pantau di area wisata Ancol), Cempaka Mas 1,5 meter, Cikini 0,80 meter dan Cibubur 0,25 meter.

Efek Rumah Kaca

Pembangunan gedung bertingkat adalah sesuatu yang tak terhindarkan di tengah pembangunan ekonomi yang pesat. Pembangunan ini memiliki konsekuensi yang sangat berbahaya bagi lingkungan dan kehidupan. Ruang terbuka hijau menjadi sangat sedikit, menyebabkan berkurang oksigen  dan rusaknya kualitas ozon. Hal ini juga mengakibatkan sesuatu yang lebih mengerikan, yaitu efek rumah kaca, sebagian panas yang seharusnya dipantulkan oleh bumi diperangkap oleh gas-gas rumah kaca di atmosfer. Inilah sebabnya kenapa bumi semakin panas setiap tahunnya. Menjadikan krisis iklim semakin mengkhawatirkan dewasa ini.

Solusinya adalah dengan menambah ruang-ruang terbuka hijau, untuk meminimalisir dampak lingkungan yang terjadi.

Posting Komentar

0 Komentar