Dari awal, manusia memang sangat dekat dengan sebuah perjalanan. Foto: Mongabay.com |
Safar atau bepergian adalah hal yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Saat seseorang mengadakan perjalanan, banyak hal yang bisa ia dapatkan bahkan ia akan mendapati perbuatan yang memudahkan dalam bertindak, terkhusus dalam hal ibadah. Berbeda dengan mereka yang tidak melakukan perjalanan atau hanya diam tanpa mengenal dunia luar. Ketika dibahasakan dengan trend bahasa masa kini, safar bisa disebut juga dengan travelling, kebanyakan dari kalangan muda zaman sekarang yang mempopulerkannya.
Trend wisatawan muslim di seluruh dunia meningkat setiap tahun. Dikutip dari Detik, menurut Global Muslim Travel Index (GMTI) yang diluncurkan oleh Mastercard and Crescent Rating menyebutkan bahwa pada tahun 2017 ada 131 juta wisatawan muslim di seluruh dunia, naik 10 juta dari tahun sebelumnya 2016 yang mencatat ada 121 juta wisatawan muslim di seluruh dunia. Dan diperkirakan akan meningkat hingga 156 juta wisatawan muslim di tahun 2020.
Baca Juga: Menahan Diri Dari Tuduhan Tanpa Bukti
Melihat peningkatan angka wisatawan muslim di seluruh dunia membuktikan bahwa kaum muslimin semakin banyak yang membutuhkan panduan dalam bersafar, perihal tentang hukum-hukum dan tata cara beribadah yang terkait dengan musafir dan traveller.
Maka safar bagi seorang muslim akan terus ada selama syari’at haji, umrah, silaturahmi, jihad, dan menuntut ilmu, masih ada. Atau bahkan melakukan perjalanan untuk mentadaburi ciptaan Allah Ta’ala berupa alam semesta. hal tersebut akan terus berlangsung (mungkin) hingga akhir dari usia dunia ini. Allah Ta’ala berfirman;
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
“Dialah (Allah) yang menjadikan bumi itu mudah bagi kalian, maka berjalanlah disegala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya, dan hanya kepada-Nya-lah kembali (setelah kematian)” (QS. Al-Mulk: 15).
Ibnu Katsir menerangkan ayat di atas, “Maka bersafarlah kalian kemanapun kalian inginkan dari penjuru bumi, dan kelilingilah berbagai wilayah di bumi ini. Ketahuilah sesungguhnya di dalam penghasilan dan perniagaan serta usaha yang kalian lakukan tidaklah bisa terjadi kecuali Allah lah yang memudahkannya, karna Allah Ta’ala berkata, “Dan makanlah dari rizki-Nya (Allah)”. Sedangkan kata “مَنَاكِبِهَا” menurut Ibnu Abbas dan Qotadah adalah pegunungan.
Baca Juga: Refleksi Untuk Melepas Dengan Ikhlas
Ketika kita mencoba untuk melakukan perjalanan di atas bumi ini, maka akan banyak pelajaran dan hikmah yang dapat kita ambil. Karena kita berkenalan dengan orang yang baru, memahami adat istiadatnya, mendapatkan kosakata baru, yang sebelumnya tidak diketahui, memanjakan mata dengan melihat keindahan alam, menambah pengalaman dan cakrawala, serta yang lebih penting adalah menambahkan rasa syukur kepada Sang Pencipta alam semesta yaitu Allah Ta’ala, bahkan Allah berfirman di dalam Al-Qur’an:
قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلُ كَانَ أَكْثَرُهُمْ مُشْرِكِينَ
“Katakanlah: “Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang terdahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan Allah Ta’ala”. (QS. Ar-Ruum: 42).
Perintah untuk melakukan perjalanan di bumi dari ayat di atas, menurut imam as-Sa’di yaitu perjalanan dari segi jasmani yaitu badan, dan perjalanan dari segi rohani yaitu hati, karena dengan keduanya kita melihat serta merenungi akibat dan balasan yang menimpa orang-orang terdahulu. Supaya kita dapat mengambil pelajaran dan memperbaiki diri dalam hal mengabdi kepada Allah Ta’ala.
Pada hakikatnya hidup adalah sebuah safar seorang manusia yang dimulai dari titik start kelahirannya dan berakhir hingga kematian sebagai garis finishnya. Contoh kecil dari sebuah perjalanan di dunia adalah sekelompok anak muda yang mengisi liburannya, dengan melakukan camping selama 4 hari, atau bahasa trennya “nge kem” di puncak gunung. perjalanannya dimulai dari Lampung menuju Jawa Tengah. Tentunya mereka memerlukan bekal yang cukup, untuk memenuhi kebutuhannya selama 4 hari.
Sama halnya dengan kehidupan manusia, ia membutuhkan bekal yang banyak untuk perjalanannya yang panjang di akhirat. sedangkan momentum manusia untuk mengumpulkan bekal yang banyak adalah semasa hidupnya di dunia.
Ibnu Umar radhiyaAllahu ‘anhuma pernah bercerita:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: أَخَذَ رَسُولُ اللهِ ﷺ بِمَنْكِبَيَّ فَقَالَ: "كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرِ سَبِيْلٍ" وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يَقُولُ: "اِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَاِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ. وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَ مِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ (رواه البخاري).
“Dari Ibnu ‘Umar radhiyAllahu ‘anhuma berkata: Rasulullah ﷺ meraih kedua pundakku, kemudian beliau bersabda, “Jadilah kamu di dunia seakan-akan orang yang asing atau pejalan”, dan Ibnu Umar radhiyaAllahu ‘anhuma berkata, ‘Apabila kamu mendapati waktu sore maka jangan menunggu pagi hari, dan jika kamu mendapati waktu pagi, maka janganlah kamu mununggu waktu sore. Gunakan dengan sebaik mungkin kesehatanmu sebelum sakitmu, dan masa hidupmu sebelum ajalmu datang” (HR. Al-Bukhari).
Dari hadits di atas dapat kita ambil pelajaran, bahwa hidup di dunia itu seperti orang yang sedang melakukan traveling, orang yang melakukan perjalanan jauh. Karena orang yang bepergian pasti tidak menetap disuatu tempat. Orang yang bepergian adakalanya ia berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dan ada kalanya ia kembali lagi ke tempat asalnya. Ini menunjukan bahwa setelah kehidupan di dunia masih ada kehidupan lagi, yang lebih kekal dan abadi. Di dalamnya adalah proses dan penentuan di mana kita akan tinggal, di neraka kah, atau di surga kah?
Baca Juga: Melihat Sisi Teologis Covid-19
Pelajaran lain yang dapat kita ambil adalah dunia sebagai tempat berbekal dan berbenah, untuk menghadapi kehidupan di akhirat, maka dari itu gunakan waktu sebaik mungkin ketika kita hidup di dunia untuk beribadah kepada Allah Ta’ala dengan mengumpulkan amal dan bekal yang banyak.
Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah pernah berkata, “Seharusnya manusia itu menjadikan harta benda, seperti keledai yang ia jadikan tunggangan, dan seperti wc yang ia gunakan untuk memenuhi kebutuhannya”. Namun, banyak manusia yang terlena oleh dunia dan seisinya, karena menjadikannya sebagai orientasi dan tujuan hidup.
Oleh karena itu persiapkan bekal yang cukup, bahkan banyak, untuk menempuh perjalanan yang lebih lama daripada perjalanan hidup kita di dunia, karena dunia hanya sandiwara belaka. Dan salah satu bekal yang dapat kita raih adalah ibadah dikala travelling, karena banyak dari kalangan umat Islam yang belum mengetahui tata cara beribadah dikala safar, di antaranya bagaimana tata cara shalat ketika bersafar, kemudahan apa saja yang didapatkan dan hal-hal apa saja yang dibolehkan ketika ia menjadi musafir.
Referensi:
- Isma'il bin Umar bin Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Adzim, (Dar Thayyibah), Vol. 8, hal. 179-180
- Abdurrahman bin Nasir bin As-sa'di, Taisiru Al-karimi Ar-rahman fi Tafsiri Kalami Al-Mannan, (Beirut: Muasasah Ar-risalah), hlm. 643.
- Muhammad Shalih Al-Utsaimin, Syarh Al-Arba'in An-Nawawi, (Saudi: Dar Ats-Tsurayya)
0 Komentar