Perburuan Harimau Sumatera di Aceh Tidak Pernah Berhenti

Harimau sumatera yang setelah diburu diawetkan untuk diperjualbelikan secara ilegal. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Perburuan harimau sumatera terus terjadi di Aceh. Meskipun sejumlah pelaku telah ditangkap, hal tersebut tidak menimbulkan efek jera. Bahkan, pihak kepolisian pernah menangkap pelaku yang sama karena memperdagangkan kulit dan anggota tubuh harimau.

Pada 17 Juni 2020, Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Aceh kembali menangkap empat tersangka perdagangan harimau sumatera [Panthara tigris sumatrae] di Lhoknibong, Kecamatan Pante Bidari, Kabupaten Aceh Timur.

“Mereka ditangkap di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum [SPBU] Lhoknibong. Ada 4 orang diamankan, yaitu MR, A, MD serta SD. Untuk seorang pelaku inisial HD masuk daftar pencarian orang [DPO],” sebut Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Aceh Kombes Pol Margiyanta, baru-baru ini.

Margiyanta menjelaskan, pihaknya mendapatkan barang bukti berupa bukti kulit dan bagian tubuh harimau, serta bagian tubuh beruang madu dari para pelaku.

“Mereka ditangkap setelah personil Reskrimsus Polda Aceh mendapatkan informasi tentang perburuan dan perdagangan awetan satwa dilindungi. Saat ditangkap, mereka sedang menunggu pembeli,” ungkapnya.

Margiyanta menambahkan, dari pengakuan tersangka, mereka baru pertama kali terlibat perburuan dan perdagangan kulit harimau. Diperkirakan, harimau buruan tersebut berasal dari hutan di Kabupaten Gayo Lues, Aceh.

“Mereka menangap harimau menggunakan jerat, setelah itu harimau dibawa ke Kabupaten Aceh Timur. Saat ditangkap mereka sedang menunggu penawaran tertinggi yang rencananya akan dijual ke Medan, Sumatera Utara. Keempatnya dijerat Pasal 21 Ayat [2] jo Pasal Ayat [2] UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya,” tuturnya.

 


Harimau sumatera yang setelah diburu diawetkan untuk diperjualbelikan secara ilegal. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
 

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh, Agus Irianto mengapresiasi upaya Polda Aceh membongkar dan menangkap pelaku perburuan dan perdagangan satwa liar.

“Kami sangat berterima kasih, Polda Aceh sangat fokus dalam penindakan kejahatan satwa liar, baik perburuan maupun perdagangan,” ujarnya.

Agus mengakui, hingga saat ini perburuan satwa liar termasuk harimau sumatera masih terus terjadi di kawasan hutan Aceh. “Dengan berbagai cara, kita terus menekan agar kejahatan ini tidak lagi terjadi,” terangnya.

Kulit, taring, dan tulang-belulang harimau sumatera yang diperdagangkan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia 

Harimau sumatera dikembalikan ke habitat

Sementara itu, harimau sumatera yang ditangkap akhir Maret 2020 dengan menggunakan perangkap di Desa Jambo Dalem, Kecamatan Trumon Timur, Kabupaten Aceh Selatan, karena berkonflik dengan masyarakat, telah dilepasliarkan ke Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL].

Harimau betina tersebut dikembalikan ke habitatnya setelah tim dokter dari BKSDA Aceh dan Forum Konservasi Leuser memastikan kondisinya sehat dan layak untuk dikembalikan ke alam.

Kepala BKSDA Aceh, Agus Irianto menyatakan, harimau bernama “IDA” itu telah melalui pemeriksaan kesehatan yang ketat. Termasuk memastikan tidak menderita penyakit. “Pemeriksaan darah telah dilakukan dua kali, memastikan benar-benar sehat. Nama “IDA” diambil dari nama dusun ia diselamatkan yaitu Ie Dalim,” terangnya, 20 Juni 2020.

Agus mengatakan, tim berkoordinasi dengan lembaga terkait, termasuk pemerintah daerah saat pelepasliaran. “Tim bekerja cukup baik sejak pemasangan perangkap hingga harimau ini dilepaskan. Harimau tidak terluka sama sekali.”

Agus menambahkan, konflik harimau dengan manusia terjadi karena habitat harimau terganggu, baik karena kegiatan perambahan maupun karena perburuan. Harimau memiliki wilayah jelajah sangat luas dan akan mencari buruan yang mudah ditangkap.

Dengan semakin banyaknya hewan ternak yang dilepas begitu saja tentunya memancing kehadiran harimau. “Harimau pasti akan memangsa hewan ternak karena dapat ditangkap dengan mudah. Berbeda dengan berburu di dalam hutan yang jauh lebih sulit,” jelasnya.

Perjalanan menuju lokasi pelepasliaran harimau ‘IDA” di TNGL. Foto: Dok. BKSDA Aceh/KLHK

Kepala Seksi Konservasi Wilayah II BKSDA Aceh, Hadi Sofyan, menyatakan, harimau sumatera yang ditangkap di Desa Jambo Dalem, Kecamatan Trumon Timur, Kabupaten Aceh Selatan itu dilepaskan di hutan TNGL yang jauh dari permukiman penduduk.

“Untuk melepaskannya, tim harus naik perahu bermesin yang dilanjutkan jalan kaki. Butuh lima jam menuju lokasi,” terangnya.

Hadi mengatakan, pada Maret 2020, tim juga telah melepasliarkan harimau yang ditangkap karena berkonflik dengan masyarakat di Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam, Aceh.

“Kita berharap tidak ada lagi harimau yang harus ditangkap karena berkonflik dengan manusia. Kita juga berharap, harimau hidup aman di dalam hutan,” paparnya.

Taman Nasional Gunung Leuser dipilih sebagai lokasi pelepasliaran harimau setelah hasil survei BKSDA dan mitra menunjukkan wilayah ini layak sebagai habitat harimau, baik berupa daya dukung kawasan, jumlah populasi, maupun ketersediaan pakan.

Posting Komentar

0 Komentar