Penyemprotan disinfektan di ruang utama masjid Istiqlal Jakarta. Foto: Antara |
Virus Corona seperti sekat pemisah. Memisahkan semua orang yang berkasih sayang, baik keluarga maupun teman. Hingga adanya beberapa larangan untuk menghindari penyebaran lebih banyak secara masif.
Adanya larangan berkerumun di tempat-tempat umum, mengurangi kontak fikis antar manusia. Termasuk menghindari penyebaran juga, orang-orang yang datang dari luar kota atau luar negeri harus mengisolasi diri untuk memastikan dirinya aman dari virus. Dan hal ini dirasakan oleh semua kalangan. tak pandang bulu.
Semua kejadian ini terakumulasi menjadi sebuah keresahan yang berusaha mencari jalan keluar, mencari solusi. menghantarkan kepada titik renung paling dalam, yang akhirnya ingin dibagikan.
Kisahnya dimulai dengan seorang santri Lampung yang pulang dari pesantrennya di Lamongan. Seperti yang sudah-sudah, Ia harus mengikuti prosedur masyarakat lingkungannya dan menjadi orang dalam pantauan (ODP).
Termasuk mengharuskannya untuk mengisolasi diri selama 14 hari di sebuah gubuk (1X3 meter), di pekarangan kebun samping rumah.
Hal itu harus ia lalui dalam kesendirian untuk antisipasi. Sebab ia tidak mengetahui apakah dirinya terkena virus atau melekat padanya, sehingga ia menjadi pembawa virus. Santri itu bernama Ujang.
Berdekatan tapi tak dapat bersentuhan dan berpelukan melepas rindu atas sekian lama tak bersua. Hal inilah yang dirasakan oleh Ujang, ketika pulang dari kota tempat ia menuntut ilmu dan sampai dirumah.
Walau hari-hari masih bisa tebar senyum dan merasakan berbagai perhatian. Tetap terasa ada yang kurang. Kekurangan itulah yang selalu mengganjal di hati.Tapi apalah daya tiada yang bisa menolong, bahkan sedekat keluargapun tak bisa.
Ada kekosongan dan tak ada yang bisa memenuhi kekosongan tersebut, kecuali hanya meminta dan berpegang erat pada sang pencipta manusia untuk menentramkan hati.
Wiranto melakukan isolasi mandiri di gubuk kecil daerah Batang, Jawa Tengah. Berolahraga demi menjaga kebugaran. Foto: Antara |
Sebab seperti ada pembatas yang menjulang tinggi yang memisahkan anggota keluarga untuk meleburkan cintanya.
Itu adalah makhluk Allah yang sangat kecil tapi merisaukan manusia seluruh dunia. Perih memang dirasa, panas menyengat ke dalam dada, pada tiap-tiap detikan yang terus bergulir dalam kehidupan Ujang.
Amarah pun sering merasuk ke dalam dadanya tak terima atas ketetapan Tuhan.
Amarah karena kecewa hanyalah menambah kerusakan. Sebab ia diciptakan Allah bukan untuk sembarangan.
Amarah Allah ciptakan untuk diletakkan pada hal yang benar dan tepat. Ia tidak boleh disalahgunakan di tengah orang beriman, terlebih dengan kelaurga.
Ia hanya boleh untuk mencegah kemungkaran, menghancurkan lawan agamanya, orang kafir, atau orang yang beriman tapi munafik menjadi kroni-kroni kekafiran.
Menghela nafas Ujang dalam-dalam untuk menenggelamkan amarah sedalam-dalamnya. Jangan sampai raut amarah terpancar dari wajahnya terbaca oleh keluarga tercintanya.
Ini bukanlah salah Ujang, bukan pula salah karib-kerabat Ujang, akan tetapi ini merupakan kesalahan sikap hati yang salah memahami.
Ini hanya sebuah simulasi kecil yang Allah gambarkan akan terjadi pada hari kebangkitan, hari kiamat yang sangat seram mencekam.
Bahwa ada kedekatanatas dasar cinta di dunia, atau atas dasar sealiran darah keluarga pun, tak dapat bersatu, bersua, saling menolong memberi syafaat.
Sebab ada pemisah yang sangat besar memisahkan yang saling berkasih sayang untuk menolong saudaranya. Itu adalah kekafiran.
Tiada guna anak keturunan tak dapat menolong orang tuanya, tiada sanggup orang tua menolong anaknya hanya karena kekafiran.
Telah Allah sampaikan dalam Al-Quran kisah-kisah para Nabi yang memberi Isyarat bahwa ada keluarga yang tak dapat bersua kelak di akhirat.
Seperti Nabi Nuh sebagai bapak tak dapatlah ia kelak bersua dengan kan’an anaknya dan istrinya yang membangkan ketika di dunia. Begitupula Ibrahim sebagai anak tak bisa menolong ayahnya Azar sebab kekafiran. Dan juga Luth dengan istrinya yang tiada patuh menurutinya.
Ujang teringat sebuah ayat dalam surat ad-Dukhan yang berbicara perihal ini yang pernah ia pelajari semasa di pesantren:
إِنَّ يَوْمَ الْفَصْلِ مِيقَاتُهُمْ أَجْمَعِينَ
"Sesungguhnya hari keputusan (hari kiamat) itu adalah waktu yang dijanjikan bagi mereka semuanya."
Ayat ini berbicara akan kebenaran Yaumul Fashl (hari keputusan), yang dijanjikan bagi semua manusia. Imam al-Qurthubi menjelaskan dalam Tafsirnya Al-Jami' li Ahkamil Quran,"Disebut hari keputusan, sebab pada hari itu Allah memisahkan antar makhluk-Nya."
Kemudian, dilanjutkan "Yakni waktu yang diciptakan untuk memisahkan antara orang baik dengan orang buruk. Sebagian masuk kedalam surga dan sebagian masuk kedalam tempat yang menyengsarakan. Dan ini merupakan salah satu bentuk peringatan dan ancaman." Lebih jelas dilanjutkan melalui ayat selanjutnya.
يَوْمَ لا يُغْنِي مَوْلًى عَنْ مَوْلًى شَيْئاً وَلا هُمْ يُنْصَرُونَ )41
"Yakni, hari tiada berguna karib kerabat atas karibnya sedikitpun, dan mereka tidak dapat menolong."
إِلَّا مَن رَّحِمَ اللَّهُ إِنَّهُ هُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ
Pelaksanaan sholat Jum'at dengan protokol kesehatan yang ketat |
Hanya satu kunci yang dapat menolong dan menjadi senjata Ampuh di Hari Kebangkitan, yakni keimanan. Itulah yang dipegang erat oleh Ujang dalam doanya dan dalam ikhtiyar hayatnya. Untuk mengingatkan anggota kelurganya yang sekian lama berjuang membersarkannya.
Sebab hanya dengan kunci inilah semua orang bisa berharap dan berjuang memohon kepada Rabbnya. Agar bisa berkumpul bersua dalam tempat yang membahagiakan.
Bersama sanak saudara, para sahabat, dan semua orang-orang yang dicintai. Kalimat Agung itu adalah dua Kalimat Suci. Hidup atas keagungannya dan menutup hayat dengan keagungannya. (Agil Kirana, di ruangan tersembunyi)
0 Komentar