|
Dibalik kerimbunan pohon pinus, kandang-kandang berukuran 25×25 meter menjadi rumah singgah bagi puluhan primata Jawa. Mereka adalah satwa-satwa bernasib buram. Dipaksa keluar hutan akibat perburuan dan perusakan habitat. Namun di sana, mereka punya kesempatan kedua untuk kembali hidup di alam.
Ada kesamaan pada anakan owa jawa
dan lutung jawa hasil sitaan dari masyarakat saat pertama datang ke Pusat
Rehabilitasi Primata Jawa (PRPJ) The Aspinall Foundation di Ciwidey, Kabupaten
Bandung, Jawa Barat. Mereka jinak, namun cacingan.
Siang di awal Juni lalu, bayi
lutung jawa (Trachypithecus auratus), berteriak nyaring berulang kali. Lutung
bekas hasil penindakan Polda Jabar beserta BBKSDA Jabar itu ketakutan saat
Sigit Ibrahim, kepala perawat satwa PRPJ, hendak memberikan susu.
“Respon lutung ini selalu tak
nyaman terhadap laki-laki. Beda dengan perempuan. Ia tenang. Mungkin merasa
dekat dengan induknya,” kata Sigit.
Perawat medis Pusat Rehabilitasi Primata Jawa (PRPJ) The Aspinall Foundation memberikan susu bagi bayi lutung jawa (Trachypithecus auratus) di Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, belum lama ini. Foto: Mongabay Indonesia |
Ketika dievakuasi, umurnya baru
sekitar seminggu. Induknya dipastikan mati dibunuh. Jelas saja. Lutung seusia
itu, seharusnya lengket dipelukan induknya.
Tina, bayi lutung betina itu,
kini umurnya 4 bulan. Tubuhnya mungil dan kesepian. Untuk itu, Sigit menyiasati
dengan menaruh boneka di dalam kandang. Supaya ada teman, katanya.
Boneka juga disimpan di kandang
Tini dan Sabrina. Dua ekor lutung jawa betina lainnya. Ada juga, Mexi, owa jawa
(Hylobates moloch) jantan. Nasib mereka sama. Rapuh.
Sigit menyebut, metode boneka
digunakan untuk melatih daya sosial primata. Semakin mirip dengan individu,
semisal, rambut serta rupa akan lebih bagus. “Minimalnya mereka tidak murung,”
terangnya
Semula, Sigit mengaku, kerepotan
merawat bayi primata. Memang tak ada aturan baku. Namun, ia perlu memutar otak.
Memastikan metode perawatan sebisa mungkin mendekati pola asuhan induknya.
“Harus banyak penyesuaian kalau
untuk bayi,” ujar Sigit. Di kandang karantina pun suhu harus disesuaikan,
“Minimal 28 derajat selsius supaya mendekati suhu pelukan induknya.”
Kali ini, usaha Sigit membujuk
Tina minum susu tak berhasil. Ia meminta Triani (20), asisten medis Aspinall,
untuk memberikan nutrisi tersebut. Teriakan Tina seketika mereda saat Triani
datang. Dan susu pun habis diminumnya.
Sigit Ibrahim Kepala Perawat Pusat Rehabilitasi Primata Jawa (PRPJ) The Aspinall Foundation, memberikan nutrisi bagi bayi-bayi primata endemis Jawa di Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, belum lama ini. Perburuan dan perdagangan menjadi ancaman serius bagi kelesatarian hewan yang memilik peran penebar benih dan penyeimbang ekosistem ini. Foto: Mongabay Indonesia |
Demi menjaga bayi primata tetap prima. Nutrisi harus rutin diberikan tiap tiga jam dalam sehari. Uniknya, susu yang diberikan merupakan kombinasi antara susu kambing dengan air. Kandungan laktosa dalam susu kambing paling mendekati sistem pencernaannya lutung jawa.
Sejauh ini, Sigit mengatakan,
sejumlah terapi memberikan hasil positif. Indikatornya, mulai menyukai pakan
alami. Mulai tak nyaman dengan obyek lain di dekatnya.
Aspinall memfokuskan observasi
perawatan melalui tiga pola: pakan, pergerakan dan kotoran. Ketiganya dapat
menyimpulkan indeks kesehatan sekaligus sejauh mana perkembangan primata.
Hasil ekskresi satwa, misalnya.
Sangat krusial bagi proses rehabilitasi. Jika mencret atau keras. Dipastikan si
primata sedang diare atau kurang serat. Maka, terapi selanjutnya mengubah pola
pakan.
“Kami berikan rasamala sebagai
obat alami mereka,” papar Sigit. Ia memastikan tindakan medis baru dilakukan
apabila gerak-gerik satwa stagnan.
Owa jawa (Hylobates moloch) di
kandang rehabilitasi Pusat Rehabilitasi Primata Jawa (PRPJ) The Aspinall
Foundation Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Rencananya, Aspinall akan
melepasliarkan 3 owa jawa pada maret lalu tetapi tertunda karena pandemi wabah
korona.
|
Terletak di lahan seluas 12
hektar dikelilingi cekungan Gunung Tikukur, PRPJ aktif sejak delapan tahun
lalu. Nyaris semua primata hasil serahterima dan lama dipelihara dalam kondisi
sakit.
Beberapa owa jawa yang disita
mengidap diare. Kebiasaan alaminya pun berubah: tak lagi beraktivitas di atas
pohon, tetapi berjalan dengan kaki di tanah. Padahal, mereka adalah hewan
arboreal yang beraktivitas di atas kanopi pohon tinggi.
Agaknya, perdagangan ilegal memicu
kepunahan satwa penguasa ketinggian hutan-hutan Jabar itu. Apalagi, kini
trennya menyasar terhadap bayi-bayi primata.
Memperjualbelikan satu bayi sama
dengan membunuh satu keluarga primata, kata Sigit. Pantas saja, populasinya
terus menurun.
Pertengahan Juni kemarin, Aspinal
kembali menampung satu ekor surili (Presbytis comata) jantan dan lutung jawa
betina. Perkiraan usianya sekitar empat bulan. Keduanya hasil penindakan
Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum), KLHK
di Kabupaten Garut.
“Perdagangan mematikan sebaran primata
tersisa,” ungkap Sigit.
Owa jawa (Hylobates moloch) di
kandang rehabilitasi Pusat Rehabilitasi Primata Jawa (PRPJ) The Aspinall
Foundation Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Rencananya, Aspinall akan
melepasliarkan 3 owa jawa pada maret lalu tetapi tertunda karena pandemi wabah
korona.
Melepasliarkan
Sesungguhnya pelepasliaran
menjadi sinyal baik bagi pelestarian. Namun, agaknya, agenda itu kini tertunda.
Pandemi mengganggu jadwal pelepasliaran satwa, kata Sigit.
“Harusnya kami jadwalkan di
Maret, Juli dan November ada pelepasliaran untuk sepasang owa jawa, 3 lutung
jawa serta 3 surili,” papar Sigit. “Kemungkinan jadwalnya akan dikaji kembali
sembari mendalami kajian kawasan.”
Dua Blok kawasan Cagar Alam
Gunung Tilu, Kabupaten Bandung, menjadi kandidat habitat baru bagi sepasang owa
jawa, Lilo dan Jojo. Hari-hari mereka sedang penuh cinta sejak setahun lalu. Di
kandang sosialisasi, keduanya berbagi makanan dan sesekali mesra saling
mengelus rambut.
Di hutan, peran mereka vital
sebagai penyebar biji tanaman dan penyeimbang ekosistem. Barangkali, primata
juga efektif jika diperbantukan oleh pemerintah. Kebiasaannya bisa menghemat
anggaran negara untuk mereboisasi hutan yang kopong. Asalkan, mereka dijamin
hidup tenang.
Ketika banyak pohon tumbuh, peran
hutan di Gunung Tilu sebagai penyedia air, melalui 20 aliran sungai, akan terus
terjaga. Dan krisis air di Bandung. Tentulah tak perlu terjadi.
Akan tetapi, berulangnya
kejahatan satwa menjadi potret buram masa depan hutan konservasi dan lindung,
habitat primata di Jabar. Data Walhi Jabar, menyebut hutan lindung hanya
tersisa 14 persen luas Jabar atau sekitar 518.180 hektar. Padahal syarat suatu
daerah, butuh 30 persen dari luas willayahnya untuk kawasan lindung.
Perambahan hutan mempersempit
ruang hidup dan memicu fragmentasi. Menciutnya hutan sangat memengaruhi
kehidupan primata juga manusia. Kian buruknya kualitas hutan, makin kentara
dampak perubahan lingkungan.
Seyogyanya, laju deforestasi
hutan dikurangi. Mengingat, salah satu penyebab penyakit zoonosis, seperti
Covid-19 yang kini menjadi permasalahan serius. Jika hutan dieksploitasi
terus-menerus, sebenarnya manusia sedang menuai bencana. Wabah dan krisis
iklim. Agaknya, pandemi adalah alarm.
Dalam hal konservasi, Sigit
bilang, IUCN, lembaga konservasi dunia sampai bertekad ingin membantu owa jawa.
Beberapa protokol baru pun digagas. Di antaranya rapid tes satwa hingga
prosedur evakuasi.
Catatan Aspinall menunjukan,
semua primata sitaan menderita hepatitis A, B, herpes, dan simian retrovirus
(SRV). Sangat berisiko memelihara primata, “Sebaiknya lepaskan saja ke alam
liar,” ujar Sigit.
Anakan lutung jawa (Trachypithecus auratus) di kandang rehabilitasi Pusat Rehabilitasi Primata Jawa (PRPJ) Aspinall, Kabupaten Badung, Jawa Barat. Foto: Mongabay Indonesia |
Tertunda korona
Selain penundaan pelepasliaran,
Aspinall juga menunda program repatiasi 6 lutung dan 5 owa jawa. Mereka bakal
didatangkan dari The Howletts and Port Lympne Wild Animal Park, Inggris.
Program tersebut memang penting
untuk proses penjodohan. Prasyarat utama sebelum dilepasliarkan. Kira-kira
bagaimana rupa anakannya jika owa dari Garut kawin dengan owa yang lahir di Inggris?
Sigit hanya tersenyum.
Yang jelas, katanya, penjodohan
memperkuat daya tahan di alam. Adapun nanti, berganti pasangan atau beranak
pinak dengan primata liar. Itu soal lain. Maka, setelah pelepasliaran.
Pengamanan kawasan kunci kelestariannya.
Owa sudah masuk kelas satwa liar
Jawa yang terancam punah. Surili dan lutung pun begitu.
Rata-rata kera yang tinggi badan
dewasa sekitar 80 sentimeter dalam suatu kelompok keluarga monogami melahirkan
bayi setelah dikandung 220-an hari. Sampai usia 3-4 bulan, bayi owa tetap
melekat di perut induknya.
Owa, lutung dan surili lebih dari
sekadar satwa endemis Jawa. Keberadaannya mengukur sejauh mana kepedulian
manusia terhadap masa depan. Mimpi kehidupan yang lebih baik.
0 Komentar