Ilustrasi eksploitasi hutan yang berdampak pada kepunahan ragam hayati. Foto: Utiutari |
Exploringindonesia.com – Sejak
1964, ketika International Union for Conservation of Nature (IUCN) membuat
“daftar merah” untuk spesies terancam punah dan mulai mengumpulkan data dari
seluruh dunia, daftar tersebut telah menjadi basis data global unggulan.
Digunakan untuk memetakan spesies terancam punah dan alat penting bagi kebijakan
konservasi.
Meski begitu, dilansir dari
National Geographic, IUCN baru mampu mendata 106 ribu dari sekitar 1,5 juta
spesies hewan dan 300 ribu tanaman yang sudah diberi nama oleh para ilmuwan.
Menurut mereka, jumlah tersebut kurang dari seperempat dari total spesies yang
ada di planet ini.
Laporan PBB pada 2019 mengenai
krisis keanekaragaman hayati memperkirakan bahwa kepunahan mengancam lebih dari
satu juta spesies hewan dan tumbuhan—baik yang sudah diidentifikasi maupun
belum.
“Buktinya sangat jelas: alam
sedang memiliki masalah. Kita ada di dalamnya,” kata Sandra Diaz, salah satu
peneliti yang terlibat dalam Global Assesment Report tersebut.
Di manapun para peneliti
melakukan studi, hasilnya menunjukkan bahwa spesies di Bumi mengalami ancaman
kepunahan. Dalam dekade terakhir saja, ada dua spesies mamalia yang punah:
yakni kelelawar yang dikenal dengan nama pipistrelle Pulau Natal, dan tikus
(melodi Bramble Cay).
Catatan IUCN menunjukkan ada
lebih dari 200 spesies dan subspesies mamalia yang terancam punah. Pada
beberapa kasus, seperti badak Sumatra atau vaquita (lumba-lumba asli di Teluk
California) hanya tersisa beberapa individu. Di tempat lainnya, baiji yang juga
dikenal sebagai lumba-lumba sungai Yangtze, walau belum secara resmi dinyatakan
punah tapi kemunculannya sudah jarang terlihat.
Yang menyedihkan, apa yang
terjadi pada mamalia, berlaku juga pada hampir semua kelompok hewan lainnya
seperti reptil, amfibi, ikan, bahkan serangga.
Kehilangan habitat—yang didorong
oleh eskpansi manusia untuk pengembangan lahan perumahan, pertanian, atau
peternakan—menjadi ancaman terbesar bagi spesies, disusul oleh perburuan dan
penangkapan ilegal.
Meski habitat belum rusak
sepenuhnya, tapi itu berubah sangat banyak sehingga hewan sulit beradaptasi.
Alat-alat berat yang menebang pohon, memecah koridor migrasi; polusi menjadikan
sungai beracun; pestisida membunuh tanpa pandang bulu.
Apa yang disebutkan di atas, baru
ancaman lokal. Ada lagi ancaman global seperti perdagangan liar yang akhirnya
menyebarkan penyakit serta spesies invasif dari satu tempat ke tempat lain.
Perubahan iklim pun memengaruhi setiap spesies di Bumi—dimulai dari hewan-hewan
yang hidup di wilayah dingin atau Kutub.
Sir Robert Watson, pemimpin
Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem
Services (IPBES), menyatakan bahwa kesehatan ekosistem tempat kita dan semua
spesies lain bergantung, memburuk lebih cepat daripada sebelumnya,
"Kita sedang mengikis
fondasi ekonomi, mata pencaharian, keamanan pangan, kesehatan, dan kualitas
hidup di seluruh dunia," ungkap Watson dalam sebuah pernyataan.
Semua ancaman tersebut, langsung
atau tidak langsung, membuat spesies hewan dan tanaman sulit bertahan. Sebagian
besar dapat beradaptasi; sisanya lenyap.
Tingkat kepunahan yang
ratusan—bahkan mungkin ribuan kali lebih tinggi—membuat peneliti mengatakan
bahwa kita berada di ambang kepunahan massal keenam.
Studi terbaru yang dipublikasikan
pada Proceedings of the National Academy of Sciences mengungkapkan bahwa Bumi
saat ini memang sedang mengalami kepunahan massal keenam dengan tingkat
kehilangan satwa liar dalam jumlah banyak yang belum pernah terjadi sebelumnya
sejak musnahnya dinosaurus 66 juta tahun lalu. Dan menurut mereka, proses
kepunahan ini berlangsung semakin cepat.
Diketahui bahwa jumlah hilangnya
verterbrata yang hidup di daratan meroket dengan kecepatan tinggi. Begitu pula
ratusan spesies lain yang berada di jurang kepunahan.
Mereka menemukan bahwa setidaknya
515 spesies vertebrata darat memiliki jumlah populasi di bawah 1.000 dan bisa
saja benar-benar hilang dalam dua dekade mendatang—mayoritas hidup di wilayah
tropis dan subtropis di Amerika, Afrika, dan Asia.
Salah satu temuan studi tersebut
adalah efek domino kepunahan yang terjadi pada spesies lainnya. Para peneliti
menyebutnya “kepunahan menghasilkan kepunahan”.
Membakar hutan untuk pembukaan lahan. Foto: Greenpeace.org |
Studi tahun 2015 melaporkan bahwa
kepunahan massal keenam yang telah lama diprediksi sudah mulai terlihat.
Penyebabnya—sama seperti hasil
penelitian-penelitian sebelumnya—adalah karena tekanan manusia. Termasuk
pertumbuhan populasi, kerusakan habitat, perdagangan liar, polusi, dan
perubahan iklim akibat aktivitas manusia.
Lima peristiwa kepunahan massal
di Bumi sebelumnya disebabkan oleh kekuatan astronomis atau geologis, seperti
perubahan iklim akibat erupsi gunung berapi atau tabrakan meteor. Namun,
kepunahan massal yang terjadi saat ini hampir semuanya disebabkan oleh
aktivitas manusia.
Dalam studi tersebut, para
ilmuwan mengungkapkan bahwa kepunahan massal keenam yang sedang berlangsung
harus dianggap sebagai “ancaman lingkungan paling serius terhadap
keberlangsungan peradaban”.
“Ketika manusia memusnahkan
populasi dan spesies makhluk lain, mereka menggerogoti dan menghancurkan
ekosistem yang mendukung kehidupannya sendiri,” kata Paul Ehrlich, Bing
Professor of Population Studies, Stanford School of Humanities and Studies.
Melihat hal terseut, National
Geographic Indonesia bersama dengan United Nations Development Programme (UNDP)
akan #BerbagiCerita tentang isu lingkungan yang dapat memengaruhi kehidupan
spesies di Bumi, pada Jumat (5/6/2020).
Setiap dari kita berperan untuk
menjaga keanekaragaman hayati di Bumi agar jumlahnya tidak semakin menyusut.
0 Komentar