Source: Tamanbacaanpelangi.com |
Pernahkan Kalian mendengar
Suku Bajo atau Bajau? Bagi Kalian yang suka pelesiran, pasti mengenal
dengan suku yang biasa hidup dan tinggal di laut ini. Suku Bajo dulunya suka
berpindah-pindah tempat, karena hal itulah mereka disebut sebagai Gipsi-nya
laut.
Suku yang terkenal dengan para
penyelamnya yang handal ini, tersebar di berbagai wilayah di Asia tenggara. Ada
beberapa tempat tinggal yang sudah menjadi perkampungan masyarakat Bajo di
Nusantara, seperti di Pulau Nain (Taman Nasional Bunaken), Pulau Rajuni (TN
Takanonerate), hingga tersebar ke Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara
Timur (NTT).
Suku ini banyak menarik perhatian
para ilmuwan untuk mengungkap asal-usul, tradisi, dan perubahannya. Dahulu,
masyarakat Bajo terkenal dengan tradisi melautnya yang disebut mamia kadialo.
"Tradisi mamia kadialo
berupa pengelompokan orang ketika ikut melaut jangka waktu tertentu dan perahu
yang digunakan. Ada tiga kelompok tradisi ini: palilibu, bapongka, dan
sasakai," tulis peneliti Profesor Ramli Utina dari Universitas Negeri
Gorontalo dikutip dari Mongabay Indonesia.
Menurut Ramli, tiga kelompok
tersebut memiliki arti masing-masing. Palilibu merupakan kebiasaan melaut
menggunakan perahu soppe yang digerakkan dayung. Melaut hanya dalam satu atau
dua hari dan kembali ke permukiman menjual hasil tangkapan dan sebagian dinikmati
bersama keluarga.
Bapongka (babangi) adalah
kegiatan melaut selama beberapa minggu bahkan bulanan menggunakan perahu besar
berukuran kurang lebih 4×2 meter disebut leppa atau sopek. Kegiatan ini sering
mengikutsertakan keluarga, seperti istri dan anak-anak, bahkan ada yang
melahirkan di atas perahu.
Sedangkan, sasakai ialah
kebiasaan melaut menggunakan beberapa perahu selama beberapa bulan dengan
wilayah jelajah antar pulau. Selama kelompok menjalani mamia kadialo (melaut),
ada pantangan bagi keluarga yang ditinggal maupun mereka yang melaut.
Baca juga: Mengenal Suku Asmat: Suku Titisan Para Dewa
Pantangan yang mereka harus
hindari antara lain dilarang membuang sesuatu ke perairan laut, seperti air
cucian teripang, arang kayu atau abu dapur, puntung dan abu rokok, air cabai,
jahe dan air perasan jeruk, dan larangan mencuci alat memasak (wajan) di
perairan laut.
Air cucian maupun bahan-bahan ini
hendaknya ditampung dan dibuang di daratan. Ada pula pantangan memakan daging
penyu. Jika dilanggar bisa mendatangkan malapetaka, bencana badai, gangguan roh
jahat bahkan tidak mendapatkan hasil apa-apa di laut. Penyu dipercaya banyak
menolong manusia yang mengalami musibah, karena itu satwa ini tidak boleh dibunuh.
Masyarakat Bajo, khususnya
generasi tua, masih mempercayai gugusan karang tertentu sebagai tempat
bersemayam arwah para leluhur. Orang tua melarang anggota keluarga menangkap
ikan dan biota laut di sekitar gugusan karang, kecuali terlebih dahulu
melakukan ritual tertentu dengan menyiapkan sajian bagi leluhur.
“Berbagai pantangan itu
mengandung nilai pelestarian ekosistem perairan laut dan pesisir," ujar
Profesor Ramli.
Asal-Usul Suku Bajo
Source: Instagram/geo.rock888 |
Menurut Steven Sumolang dalam
bukunya berjudul Tradisi Melaut dan Perubahannya, Suku Bajo mempunyai hubungan
dengan Kerajaan Johor dan Kerajaan Bone, menjadi cerita pengikat kesatuan etnik
Bajo yang menyebar di kepulauan nusantara.
"Tradisi Palilibu, Bapongka,
Babangi, dan Lamma yang menangkap ikan sampai jauh dan berlama-lama akhirnya
menetap, telah menyebabkan persebaran atau diaspora orang Bajo," tulisnya.
Tradisi penangkapan ikan orang
Bajo termasuk di Nain (Pulau di Bunaken, Sulawesi Utara) telah mengalami
perubahan. Kalau dahulu mereka menangkap ikan sampai sejauh mungkin dan menetap
di daerah yang dituju (Palilibu, Bapongka, Babangi, Lamma), kini nelayan Bajo
Nain telah menetap di kampungnya.
"Menangkap ikan beberapa
hari saja di daerah operasi penangkapan, setelah itu pulang ke kampung
Nain," tulis Steven.
Bukan hanya di Indonesia, Suku
Bajo telah tersebar di lautan Malaysia, Filipina, dan Thailand. Di Indonesia,
mereka tersebar di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan wilayah Indonesia
bagian timur lainnya.
Baca juga: Mengunjungi Suku Sasak, Suku Asli Lombok
Sejarah mengatakan, suku ini
berasal dari Kepulauan Sulu di Filipina Selatan yang hidup di lautan lepas,
hingga membawa mereka masuk ke Indonesia.
Dalam seminar tentang keragaman
genetik bertema "Austronesia Diaspora" yang diadakan di Lembaga
Eijkman Jakarta, Rabu (11/3/15) lalu, Tony Rudyansjah, antropolog dari
Universitas Indonesia, mengungkapkan asal-usul suku Bajo masih jadi perdebatan.
"Bisa saja orang Bajo memang
berasal dari Barito dan bermigrasi untuk berdagang ke wilayah utara Indonesia
(Kepulauan Sulu, Filipina) hingga tersebar ke seluruh Nusantara, ujar Tony
dilansir dari National geographic Indonesia.
Sebab, masa keemasan perniagaan
di Nusantara itu sebenarnya abad ke-8, bukan abad ke-15 seperti yang sering
diduga, karena masa keemasan perdagangan itu. Maka masuk akal bila orang Bajo
pindah ke utara. Perdagangan yang maju memang ada di utara.
Berpindahnya Suku Bajo ke
berbagai tempat menyebar ke Nusantara membuat bingung ahli Linguistik Phillipe
Grange dari Prancis.
Di acara yang sama, ilmuwan yang
fasih berbahasa Indonesia ini, mengungkapkan semua itu tetap masih hipotesis.
"Saya juga agak bingung,
bagaimana bisa satu suku awalnya tinggal di satu daerah bisa tiba-tiba pindah
semua membawa anak istri hanya untuk berdagang?" ujar Grange.
Berikut ulasan dari Exploring Indonesia mengenai suku Bajo. Semoga bisa memberikan gambaran dan menambah wawasan kita mengenai kekayaan suku dan tradisi di Indonesia.
Sumber : GNFI
1 Komentar
Narasi yang baik, membacanya sambil terngiang ngiang suara penulis wkwk
BalasHapus