Source: Mongabay.com |
Saat ini dunia tengah dilanda krisis akibat Pandemi
COVID-19. Pandemi telah mengakibatkan ratusan ribu orang meninggal dunia.
Jutaan orang kehilangan pekerjaan, potensi krisis ekonomi terutama pangan dalam
skala global.
Kemajuan pembangunan yang selama ini digembar-gemborkan
ternyata tidak berkutik berhadapan dengan COVID-19.
Pembangunan ala kapitalisme yang mengagungkan pertumbuhan
dan mengabaikan daya dukung daya tampung alam ternyata gagal untuk memastikan
kehidupan umat manusia jauh dari sergapan krisis akibat pandemi COVID-19.
WALHI NTT meyakini bahwa COVID-19 adalah akibat dari krisis
ekologis yang parah di bumi. Krisis karena pembangunan dunia yang mengabaikan
ekologi dan daya dukung lingkungan.
Demikian juga di NTT. Menurut WALHI NTT, pembangunan yang
abai pada lingkungan hidup dalam jangka panjang telah mengakibatkan berbagai
krisis terjadi di NTT.
Krisis Konsumsi dan Produksi
Source: Mongabay.com |
Direktur Eksekutif WALHI NTT, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi
kepada Mongabay Indonesia, Rabu (22/4/2020) membeberkan berbagai krisis yang
terjadi di NTT akibat eksploitasi sumber daya alam dan pengabaian kearifan
lokal di NTT.
Pertama soal krisis sektor konsumsi dan produksi. Krisis
sektor produksi konsumsi rumah tangga saat ini sebut Umbu Wulang, data
menunjukkan bahwa NTT adalah salah satu provinsi dengan impor sektor konsumsi
tertinggi di Indonesia. Pangan, sandang dan papan mayoritas impor.
Krisis pangan lokal
kata dia, bisa dilihat dimana saat ini ketergantungan pada pangan impor
membuat NTT krisis sorgum, jewawut, putak, jeruk timor dan pangan lokal lain.
“Dalam beberapa tahun
terakhir NTT mengalami krisis air, baik itu krisis air konsumsi maupun untuk
produksi pertanian. Saat ini NTT masih mengandalkan impor untuk kebutuhan
energi listrik di NTT. Misalnya impor batubara dari Kalimantan. Sebagai
catatan, batubara termasuk dalam energi kotor, artinya NTT juga krisis energi
ramah lingkungan,” tuturnya.
Terkait krisis agraria, dia mencontohkan maraknya alih
fungsi tanah pertanian ke non pertanian, alih fungsi kawasan pesisir dan
kawasan Karst. Contoh lainnya, meningkatnya konflik agraria di NTT.
Krisis Sumber Daya Alam
Source: Mongabay.com |
WALHI NTT juga menyoroti
krisis hutan. Data BNPB pada tahun 2019, sebut Umbu Wulang, NTT
menduduki peringkat pertama kebakaran hutan terluas di Indonesia yakni 71.712
hektar.
Hal ini menurutnya belum ditambah lagi dengan alih fungsi
kawasan hutan menjadi kawasan perkebunan monokultur, pertambangan, pariwisata
dan tambak garam.
Sektor kemaritiman juga terjadi krisis. Seperti pembangunan
kesejahteraan dan ramah lingkungan berbasis maritim di NTT masih minim. Nelayan
NTT, lanjutnya, masih banyak hidup dalam kondisi miskin.
“Masih maraknya pengeboman ikan atau perusakan ekosistem
laut. Penangkapan penyu yang dilindungi serta maraknya pengurangan wilayah
kelola nelayan,” tegasnya.
Soal krisis perlindungan ekosistem khas, keanekaragaman
hayati dan satwa langka NTT Umbu Wulang mencontohkan masih ada pencurian
komodo. Terancam punahnya satwa rusa timor, tikus besar flores (Papagomys
armandvillei), kura-kura leher ular rote dan kuda sumba.
Selain itu menurutnya, terjadi pengabaian terhadap
keanekaragaman cendana, gaharu, lontar dan gewang. Pengabaian terhadap
ekosistem sabana, eksploitasi marmer timor dan mangan.
Terkait krisis lingkungan akibat pertambangan WALHI NTT
memyebutkan selama 15 tahun terakhir, izin pertambangan minerba di NTT
meningkat tajam. Baru pada 2019 kata Umbu Wulang, pemerintah provinsi melakukan
moratorium tambang.
“Sayangnya moratorium hanya berlaku satu tahun dan bersifat
administratif. Padahal praktek pertambangan di NTT telah memberikan bukti lebih
banyak krisis yang timbul,” ungkapnya.
Krisis lingkungan hidup pun terjadi seperti adanya lubang
tambang, rusaknya ekosistem karst, jatuhnya korban jiwa karena minimnya
keselamatan kerja, hingga konflik horisontal dan vertikal yang sering terjadi
di daerah pertambangan minerba di NTT.
Soal krisis lingkungan akibat sampah, dia menjelaskan, tahun
2018, NTT menjadi provinsi tertinggi yang menyumbangkan daftar kabupaten/kota
terkotor di Indonesia yakni 4 kabupaten/kota.
Tanam Jagung Panen Sapi
Source: Mongabay.com |
Provinsi NTT juga sedang mengalami krisis keadilan,
kemanusiaan dan kesehatan. Kemiskinan di NTT berdasarkan data resmi masih
berada diatas 20 persen. Per September 2019, angka kemiskinan NTT sebesar
1.129.460 jiwa.
Saat ini, sektor pariwisata NTT sebut Umbu Wulang, masih
dikuasai oleh industri berbasis pemodal besar tanpa ada kebijakan nyata
memprioritas pariwisata kerakyatan. Privatisasi kawasan pesisir oleh industri
pariwisata berbasis invesor pun terus meningkat.
Selain itu, NTT juga dilanda wabah belalang yang rutin
melanda setiap tahun di pulau Sumba. Berikutnya ribuan babi mati di NTT akibat
wabah flu babi.
“Provinsi NTT juga
saat ini terpapar Covid 19 dan sedang berjuang mengatasi wabah ini,” jelasnya.
Menanggapi hal itu, Wakil Gubernur NTT Josef Nae Soi saat
ditanyai Mongabay Indonesia, Sabtu (2/5/2020) mengatakan pemerintah sedang
fokus menangatasi penyebaran COVID-19.
Dampak Corona membuat orang kehilangan nafkah dan mata
pencaharian dimana petani dan nelayan sedang mengalami permasalahan terkait
hasil pertanian dan perikanan yang tidak terjual akibat menurunnya daya beli.
“Nelayan mempunyai ikan tetapi tidak punya beras sehingga
pemerintah membeli ikan dari nelayan dan memberinya beras sementara ikannya
diambil dan diberikan kepada petani. Pemerintah harus memfasilitasi hal ini,”
ungkapnya.
Dengan begitu, sebut Josef, petani dan nelayan bisa
bertahan. NTT juga, katanya, sedang mengalami gagal panen dan kemarau
panjang. Apalagi sekarang masyarakat di
minta berada di rumah.
Sehingga masyarakat rentan kehilangan nafkah dan mata pencaharian. Oleh karena itu
Pemprov NTT meminta agar pemerintah pusat segera mengucurkan bantuan kepada
masyarakat termasuk kartu pra kerja.
“Kalau dikatakan lambat, memang saya harus akui di Indonesia
koordinasinya sangat lambat. Kita memang harus jujur mengatakan demikian,”
tuturnya.
Pemerintah sudah membuat perencanaan ke depan, urai Josef,
dengan metode “tanam jagung panen sapi”. Petani difasilitasi pengolahan lahan,
benih, pupuk dan obat. Petani didampingi tenaga teknis sehingga hasil panen
jagung 5 ton/ha.
Sebagian hasil panen disimpan untuk dikonsumsi dan sebagian
lagi dijual untuk dibelikan sapi. Program ini sedang berjalan di 4 kabupaten di
Pulau Timor dan 3 di Pulau Sumba.
“Apabila tidak ada hal-hal yang sangat luar biasa maka
masyarakat bisa melakukan aktifitas seperti biasa dengan tetap sesuai protap
COVID-19,” ungkapnya.
Bantuan dari pusat memang banyak, ungkap Josef, tetapi belum
diterima provinsi sehingga ia telah meminta agar staf di provinsi segera turun
ke kabupaten dan kota untuk segera menangani ini.
“Kita harus mulai menanam jagung dan memelihara ternak
sebanyak mungkin sehingga saat wabah penyakit menyerang, kita tidak tergantung
kepada pemerintah pusat,” pungkasnya.
Sumber: Mongabay Indonesia
0 Komentar